Abstrak
Fenomena
ziarah kubur yang terjadi di Indonesia menimbulkan reaksi pro dan kontra bagi
kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam penggalian
sumber hukum oleh ormas-ormas agama islam yang berkembang diIndonesia. Tujuan
penulisan ini untuk memberikan petunjuk terhadap reaksi fenomena ziarah kubur
yang menjadi isu sosial yang tak kunjung ada habisnya. Dengan menggunakan
metode studi pustaka (library research), data-data diperoleh dari sumber
utama yaitu, Al-Qur’an dan Hadis dan buku-buku studi hadis yang membahas
tentang ziarah kubur. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sumber utama yang
kuat dalam masalah ini adalah hadis nabi yang didukung al-Qur’an sebagai
penguatnya. Hadis yang menunjukan perintah ziarah kubur adalah hadis yang
diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya, dan hasil penelitian dari hadis
tersebut baik dari aspek sanad dan matan menunjukan keshahihan hadis. Sehingga
dalam realita kehidupan hadis ini bisa dikontekstualisasikan dengan kehidupan
saat ini dan tetap relevan sebagai sumber hukum yang ada. Oleh karena itu dalam
menyelesaikan masalah perbedaan pendapat tentang ziarah kubur harus dibuktikan
dengan data-data ilmiah, sehingga mampu memberikan jawaban atas keraguan
masyarakat terhadap isu yang ada.
Kata Kunci:
Ziarah Kubur, Hadis, Perbedaan Pendapat, kontekstualisasi.
A. Pendahuluan
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ziarah adalah kunjungan ke tempat yang dianggap
keramat atau mulia (makam dan lain sebagainya). Adapun bentuk kata kerjanya
yakni berziarah. Berziarah memiliki arti berkunjung ke tempat yang dianggap keramat atau mulia
(seperti makam) untuk mengirimkan do’a.[2]
Sedangkan pengertian kubur adalah lubang dalam tanah tempat menyimpan mayat,
liang lahat, tempat pemakaman jenazah.[3]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwasanya ziarah kubur adalah kunjungan seseorang pada tempat disemayamkannya orang-orang yang mulia,
atau orang yang mempunyai hubungan dekat seperti sanak saudara.
Fenomena
ziarah kubur yang terjadi saat ini, menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan masyarakat
secara luas. Ada yang berpendapat bahwasanya ziarah
kubur boleh dilakukan, adapula yang berpendapat sebaliknya. Perbedaan ini pada dasarnya akan menimbulkan sebuah keraguan dalam beragama bagi setiap muslim
yang masih awam dan ilmu pengetahuannya terbatas, sehingga sangat membutuhkan petunjuk agar tidak menimbulkan keraguan dalam
beragama.
Akibat dari
perbedaan pendapat tersebut, muncul pula adanya fanatisme
terhadap suatu kelompok tertentu. Ironisnya, terdapat beberapa golongan yang
mengkafirkan muslim lainnya hanya karena hal-hal yang sepele. Salah satunya
ziarah kubur. Padahal, hal tersebut hanya karena adanya khilafiyah dalam
memandang atau mengkaji salah satu teks hadis ziarah kubur. Munculah suatu
pertanyaan, “Mengapa pada saat ini terdapat kelompok (sebagai akibat fanatisme
terhadap suatu madzhab yang berlebihan) menginginkan Islam yang benar hanya
dari golongannya, dan mengkafirkan yang tidak sepaham dengannya?
Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memberikan
sebuah solusi yang dapat dijadikan sebagai jalan tengah agar masalah-masalah
khilafiyah tersebut dapat menghindarkan umat Islam dari musibah perpecahan
umat.
Dengan demkian, ada beberapa hal yang
difokuskan untuk membahas tulisan ini. Pertama,
yaitu, kelompok apa saja yang memakai hadis ini dan bagaimana
kontekstualisasinya? Bagaimana analisis terhadap hadis ziarah kubur bagi
laki-laki dan perempuan?.
B.
Hadis Ziarah Kubur Bagi Laki-Laki dan Perempuan.
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ
فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Abu Hurairah berkata; Nabi shallallahu
'alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang
yang berada di sekelilingnya pun ikut menangis. Kemudian beliau bersabda:
"Saya memohon izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan baginya, namun
tidak diperkenankan oleh-Nya, dan saya meminta izin untuk menziarahi kuburnya
lalu diperkenankan oleh-Nya. Karena itu, berziarahlah kubur karena ia akan
mengingatkan kalian akan kematian."
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ
الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِي زِيَارَتِهَا تَذْكِرَة
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu
Majah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يَأْذَنْ لِي
وَاسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا
الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْمَوْتَ
4. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
زَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى
وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ وَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي أَنْ
أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُ فِي أَنْ أَزُورَ
قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْمَوْتَ
5.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
ibn Hanbal
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى
وَبَكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
C. Kritik Sanad Hadis
C.1 Takhrij Hadis
1. Hadis riwayat Imam Muslim (976)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى
وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ
لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ
لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ[4]
2. Hadis riwayat Imam Abu Dawud (3235)
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا مُعَرِّفُ بْنُ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ
دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
فَإِنَّ فِي زِيَارَتِهَا تَذْكِرَةً[5]
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu
Majah (1591)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يَأْذَنْ لِي
وَاسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا
الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْمَوْتَ[6]
4. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i (2030)
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ زَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ
فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ وَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي
أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُ فِي أَنْ أَزُورَ
قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْمَوْتَ[7]
5. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn
Hanbal (9395)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الطَّنَافِسِيُّ
قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ
فَبَكَى وَبَكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ[8]
C.2 Peta Sanad (Muslim: 1622)
![]() |
![](file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image003.png)
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
bahwasanya memilki jalur sanad Rasulullah SAWàAbu Bakar Ibn Abi SyaibahàZuhair ibn
Harb, àMuhammad ibn
‘UbaidàYazid ibn
KaysanàAbu HazimàAbu Hurairah.
Adapun
analisis yang dilakukan penulis meliputi biografi masing-masing perawi,
kualitas intelektual perawi dan relasi
guru murid. Dapat dilihat pada tabel berikut:
Nama
Perawi
|
Lahir dan
Wafat
|
Guru
|
Murid
|
Kualitas
Perawi
|
Abu Bakr
ibn Abi Syaibah
Nama
Asli:
|
Lahir: -
Wafat:
235 H
|
1. Abu al-Ahwash
2. Abdullah ibn Idris
3. Muhammad ibn Ubaid
4. Hasyim
|
1. Bukhari
2. Muslim
3. Abu Dawud
4. Ibn Majah
|
1. Al-‘Ijli: Tsiqah
2. Abu Hatim: Tsiqah
3. Ahmad ibn Hanbal: Shuduq
|
Zuhair
Ibn Harb[10]
|
Lahir:
160 H
Wafat:234
H
|
1. Abdullah ibn Idris
2. Ibnu ‘Uyainah
3. Hafsh ibn Ghiyats
4. Muhammad Ibn Ubaid
|
1. Bukhari
2. Muslim
3. Abu Dawud
4. Ibn Majah
|
1. Abu Hatim: Shuduq
2. Mu’awiyah Ibn
Sholih: Tsiqah
3. An-Nasa’i: Tsiqah
|
Muhammad
ibn ‘Ubaid[11]
|
Lahir:
124 H
Wafat:204
H
|
1. Yazid ibn Kaisan
2. ‘Ubaidillah ibn
‘Umar
3. Hisyam ibn ‘Urwah
|
1. Abdullah ibn
Muhammad ibn Syaibah
2. Zuhair Ibn Harb[12]
|
1. Al-‘Ijli: Tsiqah
2. An-Nasa’i: Tsiqah
3. Ibn Sa’id: Tsiqah
|
Yazid ibn
Kaisan[13]
|
Lahir: -
Wafat: -
|
1. Abi Hazim Salman
al-Asyja’i
2. Mu’abbadun Abi
al-Azhar
|
1. Sulaiman At-Taimi
2. Muhammad ibn Juhadah
|
1. Ibn Ma’in: Tsiqah
2. An-Nasa’i: Tsiqah
3. Ahmad ibn Hanbal: Tsiqah
|
Abu Hazim
Nama
asli: Salman[15]
|
Lahir: -
Wafat: di
masa pemerintahan khalifah ‘Umar ibn Abdul ‘Aziz
|
1. Ibn ‘Umar
2. Abu Hurairah
3. Hasan
4. Husain
|
1. Yazid ibn Kaisan
2. Manshur
3. Fudhail ibn Ghazwan
|
1. Ibn Sa’ad: Tsiqah
2. Al-‘Ijli: Tsiqah
3. Ibn ‘Abdilbirr:
Tsiqah
|
C.3 I’tibar Sanad
![]() |
|||||||||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||||||
![]() |
![]() |
![]() |
|||||||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||||||
![]() |
![]() |
![]() |
|||||||||||||||||
![](file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image016.png)
![](file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image017.png)
C.4 Kesimpulan Status
Sanad
Berdasarkan data-data yang dikumpulkan, bahwa seluruh perawi tidak ada
yang berpredikat dhoif, majhul, ataupun predikat yang dapat
mengakibatkan ditolaknya perawi. Dengan demikian, dapat diketahui juga adanya
relasi antara guru dan murid sehingga dapat dipastikan sanad hadis diatas
adalah (ittishal al sanad) para perawinya kredibel (tsiqqahu al-ruwah), intelektualitas perawi
(dhabtu al-ruwah), oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis diatas memiliki kualitas shohih. Dengan demikian, hadis di atas maqbul
al-hujjah. Redaksi hadis yang semakna juga di takhrij oleh Imam Abu Dawud (3235), Imam Ibnu Majah (1591),
Imam An-Nasa’i (2030), dan Imam Ahmad ibn
Hanbal (9395).
D. Kritik Matan Hadis
1. Status Matan
Dapat ditegaskan bahwa kritik sanad hadis
diperuntukan untuk mengetahui kualitas intelektualitas perawi apakah jujur,
taqwa, kuat hapalannya dan apakah sanadnya bersambung atau tidak. Sedangkan setelah
mengetahui kualitas sanad kemudian melakukan kritik matan. Kritik matan diperlukan untuk
mengetahui apakah matan hadis yang kita teliti mengandung syadz atau illat.
Matan hadis ziarah kubur terdapat 5 macam redaksi yang serupa poin isi
teks hadis. Sedangkan untuk mengetahui matan hadis apakah ada syadz atau
illat, penulis menggunakan metode yang ditawarkan oleh Salah al-Din al-Idlibi bahwasanya beliau berpendapat matan
dikatakan shahih apabila memenuhi 4 kriteria.[16]
Yaitu :
1. Tidak bertentangan dengan petunjuk
Al-Qur’an
Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa hadis diatas berkenaan perintah untuk melakukan ziarah kubur.
Adapun perintah ziarah kubur juga dijelaskan pada Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 35 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (wasilah) dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kalian mendapat keberuntungan.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (wasilah) dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kalian mendapat keberuntungan.
Ayat pada
Al-Qur’an tersebut menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk mencari segala
cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Artinya, carilah sebab-sebab
tersebut, kerjakan sebab-sebab itu, maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah
telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu
sebab dipenuhinya permohonan hamba, padahal Allah Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa
sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan ber-tawassul
dengan para Nabi dan Wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh
Allah.[17]
Selain itu, ziarah kubur juga dijelaskan pada Al-Qur’an surat Al-Taubah ayat 84 yang berbunyi:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٍ مِّنْهُم
مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِۦٓ إِنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ
وَرَسُولِهِۦ وَمَاتُوا۟ وَهُمْ فَٰسِقُونَ
Artinya: “Dan
janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di
antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya. Sesungguhnya
mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan
fasik”.
Adapun
maksud kandungan firman Allah di atas, bahwasanya Allah melarang rasul-Nya
memintakan rahmat bagi orang munafik, baik lewat sholat bagi mayat maupun do’a,
sebagaimana juga dilarang berdiri di atas kuburannya, baik ketika memakamkan
maupun setelahnya, maka dari perjelasan tersebut, meminta rahmat dan berdiri di
atas kuburan boleh dan bahkan baik dilakukan bagi orang muslim disegala waktu,
salah satunya ketika berdiri di atas makam muslim yang telah dikuburkan setelah
beberapa tahun untuk berziarah.[18]
2. Tidak bertentangan hadis yang kuat
Sudah disampaikan oleh Imam Muslim pada
kitabnya Shahih Muslim yaitu :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ
فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ[19]
Abu Hurairah berkata; Nabi shallallahu
'alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang
yang berada di sekelilingnya pun ikut menangis. Kemudian beliau bersabda:
"Saya memohon izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan baginya, namun
tidak diperkenankan oleh-Nya, dan saya meminta izin untuk menziarahi kuburnya
lalu diperkenankan oleh-Nya. Karena itu, berziarahlah kubur karena ia akan
mengingatkan kalian akan kematian."
Selain dari Imam Muslim juga telah
dijelaskan oleh Imam Abu Dawud (3235),
Imam Ibnu Majah (1591),
Imam An-Nasa’i (2030), dan Imam Ahmad ibn
Hanbal (9395). Oleh karena itu jelas
tidak ada pertentangan antara hadis yang kuat dengan hadis pendukung.
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat,
indera dan sejarah.
Untuk mengetahui ke otentikan matan hadis
diatas ditinjau dari aspek historisitas, bahwa
dahulu Rasullullah melarang kepada umatnya untuk ziarah kubur karena
mayat-mayat mereka adalah orang-orang kafir dan penyembah berhala, padahal Islam telah memutuskan hubungan mereka dengan kesyirikan, karena kebanyakan mereka diatas makam melakukan kebatilan dan
mengeluarkan ucapan-ucapan yang dilarang oleh Islam. Selain itu, juga banyaknya orang-orang yang baru masuk
Islam. Setelah meluasnya ajaran Islam dan kukuhnya iman dihati para pengikut
Nabi maka larangan tersebut dicabut kembali, karena terdapat manfaat yang
mendidik pada ziarah kubur. Oleh karena itu Nabi memerintahkan kepada umat-Nya
untuk berziarah kubur.[20]
4. Susunan pernyataan menunjukan ciri sabda
kenabian.
Menurut Shalahuddin al-Idlibi bahwa tolok
ukur untuk mengetahui ciri-ciri sabda kenabian ada 3 kriteria, yaitu :
1. Tidak adanya riwayat-riwayat yang serampangan (mujarafah)
2. Substansi hadis tidak mengandung makna
yang rendah.
3. Redaksi bahasa hadis tidak menyerupai
perkataan ulama’.[21]
Dari 5 ragam redaksi hadis tersebut tidak terdapat satu perawi yang
dhaif ataupun majhul sehingga dinyatakan bahwa kelima hadis
tersebut dinyatakan sanadnya shahih, sedangkan konfigurasi keshahihan matan. Penulis membuktikan melalui metode Shalahuddin al-Idlibi bahwa hadis ziarah kubur tidak
bertentangan dengan 4 kriteria yang dikemukakan oleh beliau. Sehingga dengan demikian sanad dan matan hadis ziarah kubur shahih
dan maqbul hujjah.
2. Kajian Lughawi
Dilihat dari matannya, maka dapat dilihat bahwa hadis
tersebut mengindikasikan adanya kejadian yang dialami oleh sahabat Abu Hurairah
dan sahabat lain yang menyaksikan Rasulullah sedang berziarah, bahkan terkesan
Rasulullah bersama-sama para sahabat menziarahi kuburan dari Ibunda Rasulullah.
Dari kelima hadis yang dicantumkanpun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
maknanya, semuanya secara umum memiliki makna yang sama, yakni berziarahlah,
karena dengan berziarah dapat mengingatkan pada kematian.
Pen-syarah Shahih Turmudzi (Imam Hafid ibn Arabi), lahir
pada tahun 435 H, wafat pada tahun 543 H, dalam komentarnya di dalam bukunya,
beliau menulis: “Yang benar adalah bahwa Nabi membolehkan laki-laki dan
perempuan untuk ziarah kubur. Jika sebagian orang
menganggapnya makruh (bahkan haram), hal itu karena ketidakmampuan bertahan dan
kurangnya sabar dikala berada di atas kubur”.[22]
Imam Qurtubi berkata: “Nabi tidak melaknat
semua wanita yang berziarah kubur, melainkan melaknat wanita yang selalu melakukannya,
dengan sabdanya: زوّارات القبور kata زوّار
adalah Sighah Mubalagah. Abu Dawud dalam sunan-nya menukilnya dengan زائرات sebagai
ganti kata زوّارات.
Adapun laknat mungkin karena ziarah yang melampaui batas, sehingga mengabaikan
hak suami, berhias di depan banyak orang, serta tangisan yang disertai teriakan, jika dalam berziarah tidak melakukan hal-hal tersebut, maka tidak apa-apa, sebab mengingat kematian adalah baik bagi pria maupun wanita.[23]
E. Kelompok yang Memakai Hadis ini dan Kontekstualisasinya
Penjelasan tentang hadis
ziarah kubur telah disampaikan di awal pembahasan. Subtansi dasar dari ziarah
kubur sendiri adalah bertawassul dan mendoakan mayit, mengenai cara
pelaksanaanya juga terdapat perselisihan, sebagian berpendapat bahwa mendoakan
mayit tidaklah harus mengunjungi kuburan (makam), karena memanjatkan do’a boleh
dilakukan dimana saja dan kapan saja, akan tetapi hal tersebut kurang relevan
bagi manusia yang hakikatnya merupakan makhluk simbolis dan selalu ingin
membutuhkan bukti nyata. Dengan mendatangi kuburan dan memanjatkan do’a
diatasnya secara tidak langsung pasti akan merasakan interaksi batin yang lebih
kuat antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal. Dalam
konstekstualisasinya terdapat beberapa kelompok yang menggunakan hadis ini
sebagai dalil dalam melakukan amalan ziarah kubur salah satu kelompok yang
paling famliar di Indonesia adalah Kelompok Nahdliyin.
Pada
akhirnya, jika terdapat anggapan yang menyatakan bahwasanya ziarah kubur itu
tidak ada dalilnya, maka apa yang ia katakan itu tidak tepat. Dan jika terdapat
anggapan yang menyatakan bahwa ziarah kubur itu tidak ada manfaatnya, dan do’a
atau amal yang ditujukan untuk mayit itu tidak sampai, hal ini dapat dibuktikan
dengan hadis Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: 1388 yang
berbunyi:
حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ
أَخْبَرَنِي هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ
لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
Artinya: dari
'Aisyah radliallahu 'anha bahwa ada seorang laki-laki berkata, kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam:
"Ibuku meninggal dunia dengan mendadak, dan aku menduga seandainya dia
sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah dia akan memperoleh pahala jika
aku bershadaqah untuknya (atas namanya)?". Beliau menjawab: "Ya, benar".[24]
Secara matematika, untuk perihal untung- untungan, akan lebih beruntung orang yang mempercayai bahwa
do’a yang ditujukan kepada mayit akan sampai, kalaupun di akhirat nanti ternyata
tidak sampai, itupun tidak akan merugikan dirinya, bahkan tetap bermanfaat, karena
inti atau tujuan dari ziarah kubur itu sendiri adalah untuk mengingat kepada
kematian, dengan mengingat kematian, orang akan selalu berusaha untuk
mendekatkan diri kepada sang Khaliq.
Berkunjung
ke makam kelompok manusia juga menandaskan rasa terimakasih dan pernghargaan
terhadap perjuangan mereka, sekaligus dapat mengingatkan kepada generasi yang
ada, bahwasanya mereka yang menempuh jalan kebenaran dan keutamaan, dan rela mengorbankan
jiwa demi mempertahankan keyakinan dan menyebarluaskan kebebasan, tidak akan
pernah hilang dari ingatan kapanpun. Mereka tidak akan pernah menjadi usang dan
musnah bersama lewatnya zaman[25],
sesuai dengan Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 169 yang berbunyi:
وَلَا
تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ
عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Artinya: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.
Dan adapun mafhum mukhalafahnya, orang
yang tidak mempercayainya, ketika di akhirat ternyata do’a itu akan sampai
kepada mayit, betapa menyesalnya karena di dunia tidak mengamalkan salah satu
amalan yang sangat berarti untuk menambah pundi-pundi amal kelak diakhirat.
Adapun dilihat dari segi historisnya, hadis
tentang diharamkannya ziarah bagi perempuan yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud: 3236 yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ :لَعَنَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ
عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ
Artinya: Ibnu
Abbas berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat para wanita
yang menziarahi kuburan, dan orang-orang yang menjadikannya sebagai masjid dan
memberikan pelita[26]
Hadis ini telah dinasakh
oleh hadis yang telah dipaparkan di atas (HR. Muslim: 976). Dalam konsep nasikh
dan mansukh itu sendiri terdapat metode dalam memahami atau
mengamalkan teksnya, yakni al-jam’u (mengkomparasikan antara hadis yang nasakh,
dan mansukh sesuai dengan konteks masing-masing). Jadi yang dimaksud
disini adalah ketika dua hadis tersebut selama masih dapat digunakan, maka keduanya
tetap dipakai sebagai dalil atas suatu perbuatan atau amalan, tetapi harus
tetap mengacu pada konteksnya. Penjelasannya, dalil tentang dilarangnya ziarah
kubur dipakai dalam konteks bahwa ziarah kubur itu haram untuk hal-hal yang
berbau maksiat, seperti untuk mencari pesugihan, jabatan, dan lain-lain, juga
diharamkan jika ziarah kubur, peziarah meminta sesuatu, atau berdo’a kepada
pemilik makam, diikarenakan hal tersebut, sudah benar-benar kedalam perbuatan
syirik, dikarenakan memanjatkan do’a kepada selain Allah. Kemudian dalil
tentang dibolehkannya ziarah kubur dipakai dalam konteks bahwa berziarah untuk
mengingat kematian sehingga dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah, dan
berdo’a untuk keselamatan si mayit.
Dengan tetap dipakainya kedua hadis ini
sebagai dalil, semoga dapat memudahkan seseorang dalam menempatkan kontekstualisasi
teks hadis pada tempatnya, dan dapat menjadikan pelajaran bagi umat muslim agar
tidak dengan mudahnya mengkafirkan seseorang hanya karena perbedaan pemahaman
dari teks hadis.
F.
Analisis
pendekatan
Dalam memahami teks hadis diatas, penulis menggunakan
metode pendekatan historis dan sosiologis. Karena tanpa adanya kedua aspek
tersebut akan mempersulit dalam melakukan penelitian. Dalam pendekatan historis,
bahwasanya hadis ziarah kubur pada awalnya memang dilarang oleh Nabi
dikarenakan pada waktu itu adalah masa dimana awal berkembangnya dakwah Islam sehingga Nabi khawatir akan
terjadinya kemusyrikan. Akan tetapi setelah berkembangnya umat Islam dan kukuhnya
iman para pengikut Nabi, akhirnya larangan itu dicabut oleh Nabi dikarenakan
banyaknya kemanfaatan yang dapat di ambil dari ziarah kubur. Hal tersebut
jelas-jelas terdapat pada redaksi hadis ditandai dengan adanya lafadz فَزُورُوا yang mana merupakan shighat amr (perintah). Dalam kaidah ushul
fiqh pun juga dijelaskan, ketika ada suatu larangan kemudian dihapus dengan
suatu perintah, maka yang digunakan adalah lafadz yang menghapusnya.
Adapun pendekatan dari aspek sosiologis. Sadar
maupun tidak sadar, jika kita melihat realitas masyarakat, ziarah kubur membawa
kemanfaatan tersendiri. Salah satu contoh adalah berputarnya roda perkonomian
masyarakat yang berada di sekitar maqbarah para auliya’ (Wali
Songo). Hal tersebut membuktikan bahwa seorang yang sudah meninggalpun masih
dapat memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Selain dampak perekonomian
terhadap lingkungan sekitar, ziarah kubur juga memberikan kemanfaatan
tersendiri bagi pelakunya, karena dengan melaksanakan ziarah kubur akan
meningkatkan rasa hubungan batin antara pezirah dan orang yang sudah
ditinggalkan.
G.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat
dipetik dari tulisan ini adalah bahwasanya secara umum, di dalam hadis ada
hal-hal yang perlu dikaji lebih mendalam agar dalam pengamalannya dapat
digunakan sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Maksud dari pengkajian
hadis disini agar untuk memperoleh khazanah pengetahuan yang lebih luas, dan tetap
mengeksiskan hadis di zaman yang sudah modern ini tetatp relevan sebagai sumber
hukum yang ada. Dalam pelaksanaanya, dapat sesuai konteks yang dimaksud pada
hadis itu sendiri, sehingga tetap dapat menjawab persoalan umat dengan hadis,
walaupun keadaan masa kini sangat jauh keadaan pada masa Nabi. Sebab itu sebagai
seorang akademisi, penelitian terhadap hadis sepatutnya perlu menciptakan
sebuah karya penulisan dengan data-data valid dan dapat dipertanggungjawabkan,
yang mana dengannya dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat secara umum.
Adapun secara khusus hadis tentang ziarah kubur memiliki ikhtilaf, karena
disatu sisi ada hadis yang membolehkan, dan yang satu lagi tidak
memperbolehkan. Setelah dikaji kedua hadis tersebut secara umum menunjukkan
hadis yang memperbolehkan mempunyai kualitas shohih. Adapun hadis yang
tidak memperbolehkan mempunyai kualitas dhoif, selain itu matan hadis yang membolehkan ziarah kubur menunjukkan bahwa terdapat redaksi yang mana kata tersebut
menunjukkan adanya nasikh dan mansukh. Jika memang tidak dapat
dikompromikan kedua hadis tersebut, maka hadis yang menghapuslah yang digunakan
sebagai hujjah. Akan tetapi jika ditinjau kembali, ternyata keduanya
masih dapat dikompromikan, maka dengan metode al-jam’u, kedua hadis
dapat di pakai sebagai dalil sesuai dengan konteks masing-masing.
A.
Daftar
Pustaka
Abdusshomad, Muhyiddin, Fiqh
Tradisionalis: Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Surabaya:
Khalista,
2007.
Abu Abdillah
Muhammad ibn Yazid al-Qoswani, Sunan Ibn Majah Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1999.
Ismail, Abu Abdullah Muhammad bin, Shohih Bukhari, Riyadh: Baitul Afkar, 2008.
Hajar, Muhammad Al-‘Asqolani Ibn, Tahdzibu
at-Tahdzib fi Rijalil Hadis, Bairut: Daru Kitab al-‘Ilmiyah, 2004.
Hajjaj, Abi Husain Muslim Ibn, Shohih Muslim, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008.
Hanbal, Ahmad Ibn, Musnad Ahmad, Beirut: Dar al-Ihya’, 1993.
KBBI
online/daring (dalam jaringan) Kemendikbud, Kubur, diakses dari http://kbbi.web/kubur, diakses pada tanggal 30
September pukul 21.35.
KBBI
online/daring (dalam jaringan) Kemendikbud, Ziarah, diakses dari http://kbbi.web/ziarah, diakses pada tanggal
30 September pukul 21.34.
Muhammad,
Nur Hidayat, Meluruskan Vonis Wahabi, Kediri: Nasyrul Ilmi, 2002.
Mustamar, Marzuki, Dalil-dalil Praktis Amalan Nahdliyah, Surabaya:
Muara Progresif, 2014.
Romli, M. Idrus, Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi, Surabaya: Bina
ASWAJA, 2011.
Subhani, Ja’far, Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah Wali Termasuk
Ajaran Islam, terj. Zahir, Bandung: Pustaka Hidayah, 2005.
Sulaiman, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Sumbulah, Umi, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, Malang:
UIN-Malang Press, 2008.
Suryadi dan Suryadilaga, Muhammad Al-Fatih, Metodologi Penelitian Hadis,
Yogyakarta: Teras, 2009.
Syu’aib, Ahmad Ibn, Sunan an-Nasa’i, Beirut: Dar al-Fikr, 2
[1] Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Prodi Ilmu
Al-qur’an dan Tafisr tahun 2015, NIM 15530076
[2] KBBI
online/daring (dalam jaringan) Kemendikbud, “Ziarah” diakses dari http://kbbi.web/ziarah, diakses pada tanggal
30 September pukul 21.34.
[3] KBBI
online/daring (dalam jaringan) Kemendikbud, “Kubur” diakses dari http://kbbi.web/kubur, diakses pada tanggal 30
September pukul 21.35.
[4] Abi Husain Muslim ibn Hajjaj, Shohih Muslim (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), juz 2, hal. 72.
[6] Abu Abdillah
Muhammad ibn Yazid al-Qoswani, Sunan Ibn Majah (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1999), juz 2, hal. 156.
[9] Muhammad ibn
Hajar Al-‘Asqolani, Tahdzibu
at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-‘Ilmiyah, 2004), juz 3, hlm. 636.
[10] Muhammad ibn
Hajar Al-‘Asqolani, Tahdzibu
at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-‘Ilmiyah, 2004), juz 2, hlm. 492.
[11] Muhammad ibn
Hajar Al-‘Asqolani, Tahdzibu
at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-‘Ilmiyah, 2004), juz 5, hlm. 729.
[12] Muhammad ibn
Hajar Al-‘Asqolani, Tahdzibu
at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-‘Ilmiyah, 2004), juz 2, hlm. 492.
[13] Muhammad ibn
Hajar Al-‘Asqolani, Tahdzibu
at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-‘Ilmiyah, 2004), juz 7, hlm. 179.
[14] Muhammad ibn
Hajar Al-‘Asqolani, Tahdzibu
at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-‘Ilmiyah, 2004), juz 5, hlm. 729.
[15] Muhammad ibn
Hajar Al-‘Asqolani, Tahdzibu
at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-‘Ilmiyah, 2004), juz 2, hlm. 739.
[16] Suyadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi
Penelitian Hadis, (Teras: Yogyakarta, 2009), hlm. 148.
[17]Muhammad Idrus Romli, Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi (Surabaya: Bina ASWAJA, 2011),
hal. 109-110.
[18]
Syeikh Ja’far Subhani, Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah
Wali Termasuk Ajaran Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hlm. 50.
[19]
Abi Husain Muslim ibn Hajjaj, Shohih Muslim (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), juz 2, hal. 72.
[20] Syeikh Ja’far Subhani, Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah
Wali Termasuk Ajaran Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hlm. 50.
[21]
Suyadi dan
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Teras:
Yogyakarta, 2009), hlm. 148.
[22]
Syeikh Ja’far Subhani, Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah
Wali Termasuk Ajaran Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hlm. 52.
[23]
Syeikh Ja’far Subhani, Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah
Wali Termasuk Ajaran Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hlm. 53.
[25]
Syeikh Ja’far Subhani, Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah
Wali Termasuk Ajaran Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hlm. 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar