Minggu, 29 Oktober 2017

Ziarah Kubur Bagi Laki-Laki dan Perempuan

Ziarah Kubur Bagi Laki-Laki dan Perempuan
Muhammad Munif[1]
e-mail: munifmuhammad8@gmail.com,
Abstrak
Fenomena ziarah kubur yang terjadi di Indonesia menimbulkan reaksi pro dan kontra bagi kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam penggalian sumber hukum oleh ormas-ormas agama islam yang berkembang diIndonesia. Tujuan penulisan ini untuk memberikan petunjuk terhadap reaksi fenomena ziarah kubur yang menjadi isu sosial yang tak kunjung ada habisnya. Dengan menggunakan metode studi pustaka (library research), data-data diperoleh dari sumber utama yaitu, Al-Qur’an dan Hadis dan buku-buku studi hadis yang membahas tentang ziarah kubur. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sumber utama yang kuat dalam masalah ini adalah hadis nabi yang didukung al-Qur’an sebagai penguatnya. Hadis yang menunjukan perintah ziarah kubur adalah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya, dan hasil penelitian dari hadis tersebut baik dari aspek sanad dan matan menunjukan keshahihan hadis. Sehingga dalam realita kehidupan hadis ini bisa dikontekstualisasikan dengan kehidupan saat ini dan tetap relevan sebagai sumber hukum yang ada. Oleh karena itu dalam menyelesaikan masalah perbedaan pendapat tentang ziarah kubur harus dibuktikan dengan data-data ilmiah, sehingga mampu memberikan jawaban atas keraguan masyarakat terhadap isu yang ada.

Kata Kunci: Ziarah Kubur, Hadis, Perbedaan Pendapat, kontekstualisasi.






A.    Pendahuluan
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ziarah adalah kunjungan ke tempat yang dianggap keramat atau mulia (makam dan lain sebagainya). Adapun bentuk kata kerjanya yakni berziarah. Berziarah memiliki arti berkunjung  ke tempat yang dianggap keramat atau mulia (seperti makam) untuk mengirimkan do’a.[2] Sedangkan pengertian kubur adalah lubang dalam tanah tempat menyimpan mayat, liang lahat, tempat pemakaman jenazah.[3]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya ziarah kubur adalah kunjungan  seseorang  pada  tempat disemayamkannya orang-orang yang mulia, atau orang yang mempunyai hubungan dekat seperti sanak saudara.
Fenomena ziarah kubur yang terjadi saat ini, menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan masyarakat secara luas. Ada yang berpendapat bahwasanya ziarah kubur boleh dilakukan, adapula yang berpendapat sebaliknya. Perbedaan  ini pada dasarnya akan  menimbulkan  sebuah  keraguan dalam beragama bagi setiap muslim yang masih awam dan ilmu pengetahuannya terbatas, sehingga sangat membutuhkan petunjuk agar tidak menimbulkan keraguan dalam beragama.
Akibat dari  perbedaan  pendapat  tersebut, muncul pula adanya fanatisme terhadap suatu kelompok tertentu. Ironisnya, terdapat beberapa golongan yang mengkafirkan muslim lainnya hanya karena hal-hal yang sepele. Salah satunya ziarah kubur. Padahal, hal tersebut hanya karena adanya khilafiyah dalam memandang atau mengkaji salah satu teks hadis ziarah kubur. Munculah suatu pertanyaan, “Mengapa pada saat ini terdapat kelompok (sebagai akibat fanatisme terhadap suatu madzhab yang berlebihan) menginginkan Islam yang benar hanya dari golongannya, dan mengkafirkan yang tidak sepaham dengannya?
Oleh  karena itu, harus ada upaya untuk memberikan sebuah solusi yang dapat dijadikan sebagai jalan tengah agar masalah-masalah khilafiyah tersebut dapat menghindarkan umat Islam dari musibah perpecahan umat.
Dengan demkian, ada beberapa hal yang difokuskan untuk membahas  tulisan ini. Pertama, yaitu, kelompok apa saja yang memakai hadis ini dan bagaimana kontekstualisasinya? Bagaimana analisis terhadap hadis ziarah kubur bagi laki-laki dan perempuan?.

B.     Hadis Ziarah Kubur Bagi Laki-Laki dan Perempuan.
1.      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Abu Hurairah berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang yang berada di sekelilingnya pun ikut menangis. Kemudian beliau bersabda: "Saya memohon izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan baginya, namun tidak diperkenankan oleh-Nya, dan saya meminta izin untuk menziarahi kuburnya lalu diperkenankan oleh-Nya. Karena itu, berziarahlah kubur karena ia akan mengingatkan kalian akan kematian."




2.      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِي زِيَارَتِهَا تَذْكِرَة
3.      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يَأْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْمَوْتَ
4.      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ وَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْمَوْتَ
5.      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَبَكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

C.    Kritik Sanad Hadis
C.1 Takhrij Hadis
1. Hadis riwayat Imam Muslim (976)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ[4]

2. Hadis riwayat Imam Abu Dawud (3235)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا مُعَرِّفُ بْنُ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِي زِيَارَتِهَا تَذْكِرَةً[5]


3. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah (1591)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يَأْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْمَوْتَ[6]


4.      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i (2030)
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ وَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْمَوْتَ[7]
5.      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal (9395)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الطَّنَافِسِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَبَكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ[8]













C.2 Peta Sanad (Muslim: 1622)


















Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwasanya memilki jalur sanad Rasulullah SAWàAbu Bakar Ibn Abi SyaibahàZuhair ibn Harb, àMuhammad ibn ‘UbaidàYazid ibn KaysanàAbu HazimàAbu Hurairah.
Adapun analisis yang dilakukan penulis meliputi biografi masing-masing perawi, kualitas intelektual  perawi dan relasi guru murid. Dapat dilihat pada tabel berikut:

Nama Perawi
Lahir dan Wafat
Guru
Murid
Kualitas Perawi
Abu Bakr ibn Abi Syaibah

Nama Asli:
‘Abdullah ibn Muhammad Ibn Abi Syaibah [9]
Lahir: -
Wafat: 235 H
1.      Abu al-Ahwash
2.      Abdullah ibn Idris
3.      Muhammad ibn Ubaid
4.       Hasyim
1.      Bukhari
2.      Muslim
3.      Abu Dawud
4.      Ibn Majah
1.      Al-‘Ijli: Tsiqah
2.      Abu Hatim: Tsiqah
3.      Ahmad ibn Hanbal: Shuduq
Zuhair Ibn Harb[10]
Lahir: 160 H
Wafat:234 H
1.      Abdullah ibn Idris
2.      Ibnu ‘Uyainah
3.      Hafsh ibn Ghiyats
4.      Muhammad Ibn Ubaid
1.      Bukhari
2.      Muslim
3.      Abu Dawud
4.      Ibn Majah
1.      Abu Hatim: Shuduq
2.      Mu’awiyah Ibn Sholih: Tsiqah
3.      An-Nasa’i: Tsiqah

Muhammad ibn ‘Ubaid[11]
Lahir: 124 H
Wafat:204 H
1.      Yazid ibn Kaisan
2.      ‘Ubaidillah ibn ‘Umar
3.      Hisyam ibn ‘Urwah
1.      Abdullah ibn Muhammad ibn Syaibah
2.      Zuhair Ibn Harb[12]
1.      Al-‘Ijli: Tsiqah
2.      An-Nasa’i: Tsiqah
3.      Ibn Sa’id: Tsiqah

Yazid ibn Kaisan[13]
Lahir: -
Wafat: -
1.      Abi Hazim Salman al-Asyja’i
2.      Mu’abbadun Abi al-Azhar
1.      Sulaiman At-Taimi
2.      Muhammad ibn Juhadah
3.      Muhammad ibn ‘Ubaid[14]
1.      Ibn Ma’in: Tsiqah
2.      An-Nasa’i: Tsiqah
3.      Ahmad ibn Hanbal: Tsiqah
Abu Hazim

Nama asli: Salman[15]
Lahir: -
Wafat: di masa pemerintahan khalifah ‘Umar ibn Abdul ‘Aziz
1.      Ibn ‘Umar
2.      Abu Hurairah
3.      Hasan
4.      Husain
1.      Yazid ibn Kaisan
2.      Manshur
3.      Fudhail ibn Ghazwan
1.      Ibn Sa’ad: Tsiqah
2.      Al-‘Ijli: Tsiqah
3.      Ibn ‘Abdilbirr: Tsiqah







C.3 I’tibar Sanad

 

























C.4 Kesimpulan Status Sanad
            Berdasarkan data-data yang dikumpulkan, bahwa seluruh perawi tidak ada yang berpredikat dhoif, majhul, ataupun predikat yang dapat mengakibatkan ditolaknya perawi. Dengan demikian, dapat diketahui juga adanya relasi antara guru dan murid sehingga dapat dipastikan sanad hadis diatas adalah (ittishal al sanad) para perawinya kredibel (tsiqqahu al-ruwah), intelektualitas perawi (dhabtu al-ruwah), oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis diatas memiliki kualitas shohih. Dengan demikian, hadis di atas maqbul al-hujjah. Redaksi hadis yang semakna juga di takhrij oleh Imam Abu Dawud (3235), Imam Ibnu Majah (1591), Imam An-Nasa’i (2030), dan Imam Ahmad ibn Hanbal (9395).
D.    Kritik Matan Hadis
1.      Status Matan
Dapat ditegaskan bahwa kritik sanad hadis diperuntukan untuk mengetahui kualitas intelektualitas perawi apakah jujur, taqwa, kuat hapalannya dan apakah sanadnya bersambung atau tidak. Sedangkan setelah mengetahui kualitas sanad kemudian melakukan kritik matan. Kritik matan diperlukan untuk mengetahui apakah matan hadis yang kita teliti mengandung syadz atau illat.
Matan hadis ziarah kubur terdapat 5 macam redaksi yang serupa poin isi teks hadis. Sedangkan untuk mengetahui matan hadis apakah ada syadz atau illat, penulis menggunakan metode yang ditawarkan oleh Salah al-Din al-Idlibi bahwasanya beliau berpendapat matan dikatakan shahih apabila memenuhi 4 kriteria.[16] Yaitu :
1.      Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hadis diatas berkenaan perintah untuk melakukan ziarah kubur. Adapun perintah ziarah kubur juga dijelaskan pada Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 35 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (wasilah) dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kalian mendapat keberuntungan.

Ayat pada Al-Qur’an tersebut menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Artinya, carilah sebab-sebab tersebut, kerjakan sebab-sebab itu, maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba, padahal Allah Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan ber-tawassul dengan para Nabi dan Wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah.[17]
Selain itu, ziarah kubur juga dijelaskan pada Al-Qur’an surat Al-Taubah ayat 84 yang berbunyi:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِۦٓ إِنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَمَاتُوا۟ وَهُمْ فَٰسِقُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik”.
                       
Adapun maksud kandungan firman Allah di atas, bahwasanya Allah melarang rasul-Nya memintakan rahmat bagi orang munafik, baik lewat sholat bagi mayat maupun do’a, sebagaimana juga dilarang berdiri di atas kuburannya, baik ketika memakamkan maupun setelahnya, maka dari perjelasan tersebut, meminta rahmat dan berdiri di atas kuburan boleh dan bahkan baik dilakukan bagi orang muslim disegala waktu, salah satunya ketika berdiri di atas makam muslim yang telah dikuburkan setelah beberapa tahun untuk berziarah.[18]
2.      Tidak bertentangan hadis yang kuat
Sudah disampaikan oleh Imam Muslim pada kitabnya Shahih Muslim yaitu :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ[19]
Abu Hurairah berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang yang berada di sekelilingnya pun ikut menangis. Kemudian beliau bersabda: "Saya memohon izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan baginya, namun tidak diperkenankan oleh-Nya, dan saya meminta izin untuk menziarahi kuburnya lalu diperkenankan oleh-Nya. Karena itu, berziarahlah kubur karena ia akan mengingatkan kalian akan kematian."

Selain dari Imam Muslim juga telah dijelaskan oleh Imam Abu Dawud (3235), Imam Ibnu Majah (1591), Imam An-Nasa’i (2030), dan Imam Ahmad ibn Hanbal (9395). Oleh karena itu jelas tidak ada pertentangan antara hadis yang kuat dengan hadis pendukung.
3.      Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.
Untuk mengetahui ke otentikan matan hadis diatas ditinjau dari aspek historisitas, bahwa dahulu Rasullullah melarang kepada umatnya untuk ziarah kubur karena mayat-mayat mereka adalah orang-orang kafir dan penyembah berhala, padahal Islam telah memutuskan hubungan mereka dengan kesyirikan, karena kebanyakan mereka diatas makam melakukan kebatilan dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang dilarang oleh Islam. Selain itu, juga banyaknya orang-orang yang baru masuk Islam. Setelah meluasnya ajaran Islam dan kukuhnya iman dihati para pengikut Nabi maka larangan tersebut dicabut kembali, karena terdapat manfaat yang mendidik pada ziarah kubur. Oleh karena itu Nabi memerintahkan kepada umat-Nya untuk berziarah kubur.[20]
4.      Susunan pernyataan menunjukan ciri sabda kenabian.
Menurut Shalahuddin al-Idlibi bahwa tolok ukur untuk mengetahui ciri-ciri sabda kenabian ada 3 kriteria, yaitu :
1. Tidak adanya riwayat-riwayat yang serampangan (mujarafah)
2. Substansi hadis tidak mengandung makna yang rendah.
3. Redaksi bahasa hadis tidak menyerupai perkataan ulama’.[21]
Dari 5 ragam redaksi hadis tersebut tidak terdapat satu perawi yang dhaif ataupun majhul sehingga dinyatakan bahwa kelima hadis tersebut dinyatakan sanadnya shahih, sedangkan konfigurasi keshahihan matan. Penulis membuktikan melalui metode Shalahuddin al-Idlibi bahwa hadis ziarah kubur tidak bertentangan dengan 4 kriteria yang dikemukakan oleh beliau. Sehingga dengan demikian sanad dan matan hadis ziarah kubur shahih dan maqbul hujjah.

2.      Kajian Lughawi
Dilihat dari matannya, maka dapat dilihat bahwa hadis tersebut mengindikasikan adanya kejadian yang dialami oleh sahabat Abu Hurairah dan sahabat lain yang menyaksikan Rasulullah sedang berziarah, bahkan terkesan Rasulullah bersama-sama para sahabat menziarahi kuburan dari Ibunda Rasulullah. Dari kelima hadis yang dicantumkanpun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam maknanya, semuanya secara umum memiliki makna yang sama, yakni berziarahlah, karena dengan berziarah dapat mengingatkan pada kematian.
Pen-syarah Shahih Turmudzi (Imam Hafid ibn Arabi), lahir pada tahun 435 H, wafat pada tahun 543 H, dalam komentarnya di dalam bukunya, beliau menulis: “Yang benar adalah bahwa Nabi membolehkan laki-laki dan perempuan untuk ziarah kubur. Jika sebagian orang menganggapnya makruh (bahkan haram), hal itu karena ketidakmampuan bertahan dan kurangnya sabar dikala berada di atas kubur”.[22]
Imam Qurtubi berkata: “Nabi tidak melaknat semua wanita yang berziarah kubur, melainkan melaknat wanita yang selalu melakukannya, dengan sabdanya: زوّارات القبور kata زوّار adalah Sighah Mubalagah. Abu Dawud dalam sunan-nya menukilnya dengan زائرات  sebagai ganti kata زوّارات. Adapun laknat mungkin karena ziarah yang melampaui batas, sehingga mengabaikan hak suami, berhias di depan banyak orang, serta tangisan yang disertai teriakan, jika dalam berziarah tidak melakukan hal-hal tersebut, maka tidak apa-apa, sebab mengingat kematian adalah baik bagi pria maupun wanita.[23]

E.     Kelompok yang Memakai Hadis ini dan Kontekstualisasinya
Penjelasan tentang hadis ziarah kubur telah disampaikan di awal pembahasan. Subtansi dasar dari ziarah kubur sendiri adalah bertawassul dan mendoakan mayit, mengenai cara pelaksanaanya juga terdapat perselisihan, sebagian berpendapat bahwa mendoakan mayit tidaklah harus mengunjungi kuburan (makam), karena memanjatkan do’a boleh dilakukan dimana saja dan kapan saja, akan tetapi hal tersebut kurang relevan bagi manusia yang hakikatnya merupakan makhluk simbolis dan selalu ingin membutuhkan bukti nyata. Dengan mendatangi kuburan dan memanjatkan do’a diatasnya secara tidak langsung pasti akan merasakan interaksi batin yang lebih kuat antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal. Dalam konstekstualisasinya terdapat beberapa kelompok yang menggunakan hadis ini sebagai dalil dalam melakukan amalan ziarah kubur salah satu kelompok yang paling famliar di Indonesia adalah Kelompok Nahdliyin.
 Pada akhirnya, jika terdapat anggapan yang menyatakan bahwasanya ziarah kubur itu tidak ada dalilnya, maka apa yang ia katakan itu tidak tepat. Dan jika terdapat anggapan yang menyatakan bahwa ziarah kubur itu tidak ada manfaatnya, dan do’a atau amal yang ditujukan untuk mayit itu tidak sampai, hal ini dapat dibuktikan dengan hadis Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: 1388 yang berbunyi:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ أَخْبَرَنِي هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
Artinya: dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa ada seorang laki-laki berkata, kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam: "Ibuku meninggal dunia dengan mendadak, dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah dia akan memperoleh pahala jika aku bershadaqah untuknya (atas namanya)?". Beliau menjawab: "Ya, benar".[24]

Secara matematika, untuk perihal untung- untungan, akan lebih beruntung orang yang mempercayai bahwa do’a yang ditujukan kepada mayit akan sampai, kalaupun di akhirat nanti ternyata tidak sampai, itupun tidak akan merugikan dirinya, bahkan tetap bermanfaat, karena inti atau tujuan dari ziarah kubur itu sendiri adalah untuk mengingat kepada kematian, dengan mengingat kematian, orang akan selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada sang Khaliq.
Berkunjung ke makam kelompok manusia juga menandaskan rasa terimakasih dan pernghargaan terhadap perjuangan mereka, sekaligus dapat mengingatkan kepada generasi yang ada, bahwasanya mereka yang menempuh jalan kebenaran dan keutamaan, dan rela mengorbankan jiwa demi mempertahankan keyakinan dan menyebarluaskan kebebasan, tidak akan pernah hilang dari ingatan kapanpun. Mereka tidak akan pernah menjadi usang dan musnah bersama lewatnya zaman[25], sesuai dengan Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 169 yang berbunyi:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Artinya: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.

 Dan adapun mafhum mukhalafahnya, orang yang tidak mempercayainya, ketika di akhirat ternyata do’a itu akan sampai kepada mayit, betapa menyesalnya karena di dunia tidak mengamalkan salah satu amalan yang sangat berarti untuk menambah pundi-pundi amal kelak diakhirat.
Adapun dilihat dari segi historisnya, hadis tentang diharamkannya ziarah bagi perempuan yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud: 3236  yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ :لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ
Artinya: Ibnu Abbas berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat para wanita yang menziarahi kuburan, dan orang-orang yang menjadikannya sebagai masjid dan memberikan pelita[26]

Hadis ini telah dinasakh oleh hadis yang telah dipaparkan di atas (HR. Muslim: 976). Dalam konsep nasikh dan mansukh itu sendiri terdapat metode dalam memahami atau mengamalkan teksnya, yakni al-jam’u (mengkomparasikan antara hadis yang nasakh, dan mansukh sesuai dengan konteks masing-masing). Jadi yang dimaksud disini adalah ketika dua hadis tersebut selama masih dapat digunakan, maka keduanya tetap dipakai sebagai dalil atas suatu perbuatan atau amalan, tetapi harus tetap mengacu pada konteksnya. Penjelasannya, dalil tentang dilarangnya ziarah kubur dipakai dalam konteks bahwa ziarah kubur itu haram untuk hal-hal yang berbau maksiat, seperti untuk mencari pesugihan, jabatan, dan lain-lain, juga diharamkan jika ziarah kubur, peziarah meminta sesuatu, atau berdo’a kepada pemilik makam, diikarenakan hal tersebut, sudah benar-benar kedalam perbuatan syirik, dikarenakan memanjatkan do’a kepada selain Allah. Kemudian dalil tentang dibolehkannya ziarah kubur dipakai dalam konteks bahwa berziarah untuk mengingat kematian sehingga dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah, dan berdo’a untuk keselamatan si mayit.
Dengan tetap dipakainya kedua hadis ini sebagai dalil, semoga dapat memudahkan seseorang dalam menempatkan kontekstualisasi teks hadis pada tempatnya, dan dapat menjadikan pelajaran bagi umat muslim agar tidak dengan mudahnya mengkafirkan seseorang hanya karena perbedaan pemahaman dari  teks hadis.
F.     Analisis pendekatan
Dalam memahami teks hadis diatas, penulis menggunakan metode pendekatan historis dan sosiologis. Karena tanpa adanya kedua aspek tersebut akan mempersulit dalam melakukan penelitian. Dalam pendekatan historis, bahwasanya hadis ziarah kubur pada awalnya memang dilarang oleh Nabi dikarenakan pada waktu itu adalah masa dimana awal berkembangnya  dakwah Islam sehingga Nabi khawatir akan terjadinya kemusyrikan. Akan tetapi setelah berkembangnya umat Islam dan kukuhnya iman para pengikut Nabi, akhirnya larangan itu dicabut oleh Nabi dikarenakan banyaknya kemanfaatan yang dapat di ambil dari ziarah kubur. Hal tersebut jelas-jelas terdapat pada redaksi hadis ditandai dengan adanya lafadz فَزُورُوا yang mana merupakan shighat amr (perintah). Dalam kaidah ushul fiqh pun juga dijelaskan, ketika ada suatu larangan kemudian dihapus dengan suatu perintah, maka yang digunakan adalah lafadz yang menghapusnya.
Adapun pendekatan dari aspek sosiologis. Sadar maupun tidak sadar, jika kita melihat realitas masyarakat, ziarah kubur membawa kemanfaatan tersendiri. Salah satu contoh adalah berputarnya roda perkonomian masyarakat yang berada di sekitar maqbarah para auliya’ (Wali Songo). Hal tersebut membuktikan bahwa seorang yang sudah meninggalpun masih dapat memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Selain dampak perekonomian terhadap lingkungan sekitar, ziarah kubur juga memberikan kemanfaatan tersendiri bagi pelakunya, karena dengan melaksanakan ziarah kubur akan meningkatkan rasa hubungan batin antara pezirah dan orang yang sudah ditinggalkan.

G.    Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat dipetik dari tulisan ini adalah bahwasanya secara umum, di dalam hadis ada hal-hal yang perlu dikaji lebih mendalam agar dalam pengamalannya dapat digunakan sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Maksud dari pengkajian hadis disini agar untuk memperoleh khazanah pengetahuan yang lebih luas, dan tetap mengeksiskan hadis di zaman yang sudah modern ini tetatp relevan sebagai sumber hukum yang ada. Dalam pelaksanaanya, dapat sesuai konteks yang dimaksud pada hadis itu sendiri, sehingga tetap dapat menjawab persoalan umat dengan hadis, walaupun keadaan masa kini sangat jauh keadaan pada masa Nabi. Sebab itu sebagai seorang akademisi, penelitian terhadap hadis sepatutnya perlu menciptakan sebuah karya penulisan dengan data-data valid dan dapat dipertanggungjawabkan, yang mana dengannya dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat secara umum.
Adapun secara khusus hadis tentang ziarah kubur memiliki ikhtilaf, karena disatu sisi ada hadis yang membolehkan, dan yang satu lagi tidak memperbolehkan. Setelah dikaji kedua hadis tersebut secara umum menunjukkan hadis yang memperbolehkan mempunyai kualitas shohih. Adapun hadis yang tidak memperbolehkan mempunyai kualitas dhoif, selain itu matan hadis yang membolehkan ziarah kubur menunjukkan bahwa terdapat redaksi yang mana kata tersebut menunjukkan adanya nasikh dan mansukh. Jika memang tidak dapat dikompromikan kedua hadis tersebut, maka hadis yang menghapuslah yang digunakan sebagai hujjah. Akan tetapi jika ditinjau kembali, ternyata keduanya masih dapat dikompromikan, maka dengan metode al-jam’u, kedua hadis dapat di pakai sebagai dalil sesuai dengan konteks masing-masing.



A.     
Daftar Pustaka

Abdusshomad, Muhyiddin, Fiqh Tradisionalis: Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Surabaya: Khalista, 2007.
Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qoswani, Sunan Ibn Majah Riyadh: Maktabah al-Maarif, 1999.
Ismail, Abu Abdullah Muhammad bin, Shohih Bukhari, Riyadh: Baitul Afkar, 2008.
Hajar, Muhammad Al-Asqolani Ibn, Tahdzibu at-Tahdzib fi Rijalil Hadis, Bairut: Daru Kitab al-Ilmiyah, 2004.
Hajjaj, Abi Husain Muslim Ibn, Shohih Muslim, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008.
Hanbal, Ahmad Ibn, Musnad Ahmad, Beirut: Dar al-Ihya, 1993.
KBBI online/daring (dalam jaringan) Kemendikbud, Kubur, diakses dari http://kbbi.web/kubur, diakses pada tanggal 30 September pukul 21.35.
KBBI online/daring (dalam jaringan) Kemendikbud, Ziarah, diakses dari http://kbbi.web/ziarah, diakses pada tanggal 30 September pukul 21.34.
Muhammad, Nur Hidayat, Meluruskan Vonis Wahabi, Kediri: Nasyrul Ilmi, 2002.
Mustamar, Marzuki, Dalil-dalil Praktis Amalan Nahdliyah, Surabaya: Muara Progresif, 2014.
Romli, M. Idrus, Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi, Surabaya: Bina ASWAJA, 2011.
Subhani, Ja’far, Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah Wali Termasuk Ajaran Islam, terj. Zahir, Bandung: Pustaka Hidayah, 2005.
Sulaiman, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Sumbulah, Umi, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Suryadi dan Suryadilaga, Muhammad Al-Fatih, Metodologi Penelitian Hadis, Yogyakarta: Teras, 2009.
Syuaib, Ahmad Ibn, Sunan an-Nasai, Beirut: Dar al-Fikr, 2



[1] Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Prodi Ilmu Al-quran dan Tafisr tahun 2015, NIM 15530076
[2] KBBI online/daring (dalam jaringan) Kemendikbud, Ziarah diakses dari http://kbbi.web/ziarah, diakses pada tanggal 30 September pukul 21.34.
[3] KBBI online/daring (dalam jaringan) Kemendikbud, Kubur diakses dari http://kbbi.web/kubur, diakses pada tanggal 30 September pukul 21.35.
[4] Abi Husain Muslim ibn Hajjaj, Shohih Muslim (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), juz 2, hal. 72.
[5] Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), juz 3, hal. 218.
[6] Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qoswani, Sunan Ibn Majah (Riyadh: Maktabah al-Maarif, 1999), juz 2, hal. 156.
[7] Ahmad ibn Syuaib ibn Sinan, Sunan an-Nasai (Beirut: Dar al-Fikr, 2009), juz 2, hal. 92.
[8] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad (Beirut: Dar al-Ihya, 1993), juz 3, hal. 186.
[9] Muhammad ibn Hajar Al-Asqolani, Tahdzibu at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-Ilmiyah, 2004), juz 3, hlm. 636.
[10] Muhammad ibn Hajar Al-Asqolani, Tahdzibu at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-Ilmiyah, 2004), juz 2, hlm. 492.
[11] Muhammad ibn Hajar Al-Asqolani, Tahdzibu at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-Ilmiyah, 2004), juz 5, hlm. 729.
[12] Muhammad ibn Hajar Al-Asqolani, Tahdzibu at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-Ilmiyah, 2004), juz 2, hlm. 492.
[13] Muhammad ibn Hajar Al-Asqolani, Tahdzibu at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-Ilmiyah, 2004), juz 7, hlm. 179.
[14] Muhammad ibn Hajar Al-Asqolani, Tahdzibu at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-Ilmiyah, 2004), juz 5, hlm. 729.
[15] Muhammad ibn Hajar Al-Asqolani, Tahdzibu at-Tahdzib fi Rijalil Hadis (Bairut: Darul Kitab al-Ilmiyah, 2004), juz 2, hlm. 739.
[16] Suyadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Teras: Yogyakarta, 2009), hlm. 148.
[17]Muhammad Idrus Romli, Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi (Surabaya: Bina ASWAJA, 2011), hal. 109-110.
[18] Syeikh Jafar Subhani, Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah Wali Termasuk Ajaran Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hlm. 50.
[19] Abi Husain Muslim ibn Hajjaj, Shohih Muslim (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), juz 2, hal. 72.
[20] Syeikh Jafar Subhani, Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah Wali Termasuk Ajaran Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hlm. 50.
[21] Suyadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Teras: Yogyakarta, 2009), hlm. 148.
[22] Syeikh Jafar Subhani, Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah Wali Termasuk Ajaran Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hlm. 52.
[23] Syeikh Jafar Subhani, Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah Wali Termasuk Ajaran Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hlm. 53.
[24] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Shohih Bukhari (Riyadh: Baitul Afkar, 2008), hal. 158.
[25] Syeikh Jafar Subhani, Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah Wali Termasuk Ajaran Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hlm. 56.
[26] Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011), juz 3, hal. 218.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar