ORIENTALIS DALAM PANDANGAN QIRA’AT
1.
Latar Belakang
Al-Quran merupakan salah
satu mukjizat nabi Muhammad terbesar di antara mukjizat-mukjizatnya yang lain,
bahkan bisa dikatakan mukjizat teragung di antara mukjizat yang pernah
diturunkan Allah Swt kepada nabi-nabi sebelumnya. Nilai kebahasaan serta
kandungan maknanya begitu tinggi telah mampu menandingi syair-syair orang arab pada
masa al-Quran diturunkan. Oleh sebab itu banyak kelompok baik dari kubu Muslim
ataupun non-Muslim mencoba mengkaji kitab suci ini dengan tujuan membuktikan
sebarapa jauh nilai keaslian dan keabsahan al-Qur’an sebagai firman Allah Swt.
Dari permasalahan inilah kemudian muncul usaha-usaha kaum Orientalis memandang
al-Quran sebagai objek kajian yang menantang diri mereka untuk membuktikan
bahwasanya kitab suci al-Qur’an hanyalah sebatas karangan Muhammad saja, bukan
firman Allah.
Adapun argumen mereka (para
Orientalis) mempertanyakan keaslian al-Qur’an yaitu dilihat dari sisi bacaan
yang beragam atau Qiraat al-Qur’an. Keragaman bacaan yang mereka jumpai dari
kalangan muslim ini menjadi senjata paling mujarab untuk mengatakan al-Qur’an
bukan Firman Allah, melainkan hanya sebatas bacaan atau tulisan yang dikarang
oleh Muhammad saja. Keberanian mereka mengatakan hal sedemikian juga dilandasi
karena rasa kekecewaan mereka terhadap kitab sucinya sendiri yang telah
mengalami perubahan atau pembaruan berkali-kali. Oleh sebab itu, di dalam
makalah ini akan menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan Qiraat dalam
pandangan Orientalis. Berkaitan dengan bagaimana pandangan orientalis terhadap
Qiraat al-Qur’an, contoh kritikan orientalis terhadap Qiraat dan pengaruh
Kritikan Orientalis
Pembahasan
1. Pengertian Orientalis
Sebelum
memperlajari pemikiran-pemikiran orang orientalis lebih lanjut ada baiknya
terlebih dahulu dijabarkan apa itu orientalis. Karena fokus makalah ini
menjelaskan pandangan dan kritikan orientalis terhadap Qiraat al-Qur’an tentu
punya dua objek besar yaitu Orientalis dan Qiraat. Namun di sini tidak akan
dijelaskan apa itu pengertian Qiraat karena istilah Qiraat sudah mafhum
dikalangan pengkaji al-Qur’an.
Istilah
Orientalis mengandung pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan kajian
Timur kebalikan orientalis adalah Occidentalis yaitu kajian Barat. Kata
‘kajian’ di sini mencakup berbagai aspek dari mulai budaya, bahasa, sejarah
hingga sampai keilmuan yang berada di wilayah Barat atau Timur.[1]
Sementara ini
pemahaman seseorang ketika menyebut wilayah Barat dan Timur hanya terbayang di
kepalanya yaitu bahasa, budaya, politik, ekonomi dan sejarah yang meliputi
wilayah tersebut. Namun, sering kali tidak disadari penyebutan Barat dan Timur
menjadi rancu manakala dilihat dari letak geografis suatu wilayah. Australia
misalnya, secara geografis tentu masih berada di wilayah Timur tetapi dari segi
kultural dan budaya Australia menggunakan bahasa Inggris. Begitu pula Rusia
terletak di antara Barat dan Timur.[2]
Kesalahfahaman seperti ini sudah beredar di mana saja dan sudah mafhum dipahami
oleh kebanyakan orang, karena selama ini tolak ukur yang membedakan antara
orang Barat dan Timur hanya sebatas warna kulit saja.
Orang-orang
orientalis mengkaji agama Islam atau al-Qur’an tak lebih adalah sebagai bentuk
usaha mereka untuk membuktikan keontetikan al-Qur’an dari sisi bacaan maupun
tulisannya. Hal lain yang melatarbelakangi mereka tentu tidak bisa dipungkiri
tentang rasa kekecewaan mereka terhadap kitab sucinya sendiri (al-Kitab) karena
telah mengalami berulangkali pembaruan sehingga tidak bisa terjamin keaslian
atau keontetikannya sebagai kitab suci. Salah satu senjata mereka untuk
membuktikan ketidakaslian kitab suci al-Qur’an ialah melalui cara baca
al-Qur’an yang bermacam-macam. Dari sini mereka berargumen mana mungkin sebuah
kitab yang dikatakan terjaga keasliannya namun dijumpai banyak variansi bacaan
dalam kitab suci tersebut. Seharusnya kalau berkata kitab suci al-Qur’an masih
terjaga keasliannya tentu cara bacanya pula disepakati dengan satu bacaan saja.
Demikianlah sekelumit tentang gambaran umum siapakah orientalis itu.
2. Pandangan Orientalis terhadap Qira’at
al-Qur’an
Memang ketika
pertama kali memandang suatu objek kajian didasari dengan rasa kebencian maka
kesan yang diperolehpun demikian halnya yaitu ketidakobjektifan dalam mengkaji.
Selama ini orang Timur (Occident) menurut orang-orang orientalis hanya
diletakkan sebagai objek kajian saja. Termasuk kajian terhadap Qiraat al-Qur’an,
karena cara pandang awal mereka sejak awal sudah salah yaitu menganggap
al-Qur’an bukan kalam ilahi melainkan hanya sebatas kitab hasil karangan
Muhammad untuk menandingi syair-syair Arab yang beredar saat itu. Adapun
diantara pandangan-pandangan orientalis terhadap al-Qur’an adalah sebagai
berikut :
1. Pandangan orientalis terhadap teks al-Qur’an yang menganggap bahwa al-Qur’an adalah dokumen tertulis atau
teks, istilah yang selalu mereka pakai adalah “writing” dan “reading
the text” (tulisan dan pembacaan dari teks tertulis). Berbeda dengan
pandangan ilmuan Muslim yang mengatakan bahwa al-Quran adalah
bacaan dari hapalan atau “recitation from memory”.[3]
2. Kesalahpahaman sarjana Orientalis mengenai rasm dan qira’at,
sebagaimana diketahui bahwa tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan. Pada
kurun awal sejarah Islam, al-Qur’an ditulis “gundul”. Disinilah orientalis
telah gagal paham dan keliru sehingga menyimpulkan bahwa kegundulan teks
tersebutlah yang mengakibatkan berbedanya variasi bacaan sehingga al-Qur’an
dapat dibaca sesuka hati[4]
3. Pada prinsipnya al-Qur’an diterima dan diajarkan melalui hafalan, al-Qur’an
juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya
Rasulullah, hampir semua catatan-catatan awal milik pribadi para sahabat nabi
dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain.[5]
3. Kritikan Orientalis terhadap Qira’at
Kritikan orientalis terhadap Qira’at berawal dari keraguan mereka terhadap keotentikan
al-Qur’an, berawal dari situlah mereka mulai mengembangkan kajian mereka
terkait dengan seluk-beluk al-Qur’an, salah satunya adalah Qira’at.
Menurut pandangan Ignaz Goldziher dan Arthur
Jeffery terhadap qira’at bahwa perbedaan
macam-macam qira’at karena karakteristik tulisan Arab itu sendiri yang bentuk
huruf tertulisnya dapat mengahdirkan pembacaan (suara vokal) yang berbeda,
tergantung pada peletakan tanda titik, baik jumlah dan tempatnya. Adanya perbedaan
harakat (tanda baca) yang tidak ditemukan batasannya dalam tulisan Arab asli
sehingga memicu perbedaa i’rab yang dapat menyebabkan lahirnya perbedaan makna.
Dengan demikian bersumber dari hal tersebutlah yang menjadi faktor utama Ignaz
Goldziher melakukan kritik terhadap qira’at al-Qur’an. Untuk memperkuat
gagasanya Ignaz mengajukan 2 contoh[6]:
1.
Perbedaan
karena tidak adanya titik pada huruf tertulis.
a. Surah al-A’raf 48
وَنَادَىٰٓ أَصْحٰبُ الْأَعْرَافِ رِجَالًا يَعْرِفُونَهُم
بِسِيمَىٰهُمْ قَالُوا۟ مَآ أَغْنَىٰ عَنكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ
Sebagian Ulama’ Qira’at membaca تَسْتَكْبِرُونَ
yang tertulis dengan huruf ba’, dengan bacaan تَسْتَكْثرُونَ
yaitu dengan huruf tsa’.
b. Surah al-A’raf 57
وَهُوَ الَّذِى يُرْسِلُ الرِّيٰحَ بُشْرًۢا
بَيْنَ يَدَىْ رَحْمَتِهِۦ ۖ
Sedangkan pada ayat ini kata بشرا
dibaca dengan huruf nun sebagai ganti dari huruf ba’ sehingga menjadi نشرا.
c. Surah al-Nisa’ 94
يٰٓأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا ضَرَبْتُمْ فِى سَبِيلِ اللَّـهِ فَتَبَيَّنُوا۟
وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَنْ أَلْقَىٰٓ إِلَيْكُمُ السَّلٰمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ
عَرَضَ الْحَيَوٰةِ الدُّنْيَا فَعِندَ اللَّـهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ ۚ كَذٰلِكَ
كُنتُم مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللَّـهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوٓا۟ ۚ إِنَّ اللَّـهَ
كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Mayoritas sarjana Qira’at membaca lafadz فَتَبَيَّنُوٓا dengan lafad فَتَثبتُوا karena bentuk
huruf yang tertulis فىىىىوا sehingga
memungkinkan dibaca dengan berbagai model bacaan.[7]
2. Perbedaan yang timbul karena harakat.
Surah al-Hijr 8
مَا
نُنَزِّلُ الْمَلٰٓئِكَةَ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَا كَانُوٓا۟ إِذًا مُّنظَرِينَ
Dengan mengikuti
perbedaan bacaan diantara sarjana qira’at pada lafad yang menunjukan turunya
Malaikat, apakah itu ننزل atau تنزل atau
تنزلsemua
qira’at tersebut diwakili oleh wilayah yang berbeda-beda.
Selain Ignaz Goldziher muncul kritikan dari
Christoph Luxenberg, dia memberikan contoh kritikannya terhadap qira’at al-Qur’an,
menurut hasil spekulasinya kata qaswarah (قسورة)
dalam QS al-Mudatsir 51 semestinya dibaca qasurah. Kata sayyi’at
( سيئت) dalam QS al-Nisa’ 18
semestinya dibaca saniyyat, kata adzannaka
(اذنك) QS Fussilat 47 seharusnya dibaca idz-dzaka,
sedangkan kata zanim (زنيم) QS al- Qalam 13 seharusnya
dapat dibaca ratim, kemudian kata tahtiha (تحتها) dalam QS Maryam 24 mestinya dibaca nahtiha.[8]
(bukan kajian Qira’at).
4. Faktor-faktor
Pendorong Orientalisme
Adapun faktor-faktor pendorong yang melatarbelakangi
para orientalis dalam mengkaji studi ketimuran adalah sebagai berikut :
1. Faktor Agama
Faktor agama merupakan motif utama bagi para
orientalis dalam menjalankan misi mereka, yakni pada saat pendeta dari agama
Nasrani, melihat umatnya yang dalam jumlah besar masuk agama Islam. Kemudian
mereka melihat kemajuan dan keunggulan yang telah dicapai kaum muslimin, yang
meliputi militer kaum muslimin, peradaban yang dimiliki umat Islam yang
mempunyai pengaruh dalam menipiskan akidah umat Nasrani. Sehingga pada
akhirnya, mereka memandang Islam sebagai musuh bagi agama Nasrani.
Dalam penyerangannya terhadap agama Islam, mereka
menggambarkan bahwasanya agama Islam adalah bentuk agama yang apatis dan tidak
mampu mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, para orientalis juga mempunyai
tujuan untuk menciptakan sebuah kajian untuk membuat jiwa menjadi lemah dan
merasa pesimis dalam pribadi-pribadi umat islam dan bangsa timur lainnya ketika
mempelajari agamanya. Mereka juga mencari celah dari kejelekan umat Islam,
untuk kemudian dipublikasikan sebagai sebuah kenyataan yang dimaksudkan untuk
memperlemah akidah umat Islam.[9]
2. Faktor
Imperialisme dan kolonialisme.
Faktor yang melatarbelakangi orang-orang untuk
mempelajari dunia Timur salah satunya adalah sebab dunia Eropa tidak putus asa
atas kekalahan yang mereka derita dalam perang salib, tujuannya adalah untuk
kembali menjajah bangsa Arab selaku negara yang identik dengan Islam. Oleh
karena itu, mereka mempunyai kecenderungan untuk mempelajari hal-hal yang
menyangkut tentang negara-negara tersebut, baik dari segi akidah,
kesusasteraan, etika dan sumber-sumber kekayaan alam, agar mereka dapat
mengetahui titik-titik lemah, dan titik kekuatan negara Islam yang harus
dilumpuhkan.[10]
Untuk membuat impian mereka benar-benar terwujud, para
orientalis berusaha mempelajari keadaan negara yang akan dijajahnya, dan
kemudian menghilangkan nilai-nilai sejarah kebangsaan mereka. Hal ini
dimaksudkan untuk mempermudah dalam memecah belah persatuan negara yang akan
dijajahnya. Dengan cara apapun, mereka ingin merampas sumber daya, hak
kemerdekaan, mengikis persatuan tanah air di dunia Timur, demi kejayaan dunia
Baratnya.
3. Faktor Politik
Melihat kebutuhan politiknya yang salah satunya
melegalkan imperialisme dan kolonialisme, disini dapat terlihat bagaimana
memang ada sekelompok orientalis yang ditugasi oleh pejabat negara mereka.
Sehingga dalam kajian mereka tidak murni ingin mengenal dunia ketimuran. Dengan
cara tersebut mereka akan dapat menjalankan kepentingan-kepentingan politik
yang menguntungkan bagi mereka.
4. Faktor
keilmuan
Hanya sekelompok kecil dari para orientalis yang murni
melakukan kajian ini sebab ingin benar-benar mempelajari dunia Timur, khsusnya
kajian keislaman. Faktor keilmuan tentu berarti mempunyai tujuan untuk
mempelajari kebudayaan manusia, agama, bahasa, dan ilmu pengetahuan. Sehingga
presentase kesalahpahaman mereka ini terhadap kajian islam lebih sedikit dari
pada kelompok orientalis lainnya, sebab mungkin para orientalis di sini dengan
ketertarikannya dari diri sendiri yang ingin mengenal bagaimana dunia Timur dan
kajian keislaman. Dan di faktor inilah orientalis memberikan sumbangsih yang
besar terhadap kajian keislaman.
Mereka para orientalis
secara jujur dalam menelaah literatur-literatur Islam sebagai sebuah kebudayaan
dan peradaban. Sehingga tidak menutup kemungkinan, faktor inilah yang telah
membuka lebar-lebar ruang kekeliruan, serta kesalahan dalam memahami Islam.[11]
5. Dampak Orientalis terhadap Qira’at
Dampak dari pemahaman orientalis terhadap
qira’at al-Qur’an diantaranya adalah. Munculnya keraguan dikalangan “awam”
terhadap al-Qur’an yang selama ini meyakini keotentikan al-Qur’an. Argumentasi
Orientalis yang logis dengan menggunakan bukti-bukti sehingga secara tidak
langsung mengecoh pemikiran umat muslim yang buta dengan ilmu qira’at. Adanya
percampuran antara faham barat dengan Islam sehingga menimbulkan kebingungan.
Pemahaman al-Qur’an dengan metode Bible
sehingga merekonstruksi al-Qur’an dengan bentuk pemahaman baru yang
berimplikasi pada runtuhnya pondasi Islam.[12]
Kesimpulan
Al-Qur’an yang kita yakini kebenaran dan
keasliannya menimbulkan kecemburuan oleh orang-orang orientalis sehingga mereka
membandingkan kitab suci mereka dengan al-Qur’an namun kenyataannya mereka
harus menerima kenyataan bahwa kitab suci yang mereka yakini, telah banyak
campur tangan manusia, sehingga keaslian dari kitab suci mereka diragukan. Dari
situlah mereka mencoba mencari kesalahan-kesalahan terhadap al-Qur’an yang
selama ini diyakini kebenarannya oleh umat Islam. Bahkan argumen yang mereka
ungkapkan untuk menyerang al-Qur’an adalah al-Qur’an muncul dari tulisan bukan dari
hafalan. al-Qur’an juga pernah ditulis
tanpa adanya titik ataupun harakat sehingga al-Qur’an berhak dibaca sesuai
dengan keinginan.
DAFTAR PUSTAKA
Syamsuddin Arif, Al-Quran, Orientalisme dan Luxenberg (Al Insan: Jurnal Kajian Islam Januari 2005)
Hasan Abdul Rauf dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme Dan
Misionarisme Menelikung Pola Pikir Umat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007)
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,
(Jakarta: Gema Insani, 2008),
Aris Hilmi Hulaimi, Qira’at dalam Perspektif Ignaz Goldziher, Jurnal Studi
Qur’anika, Volume 14, No 1, Maret 2016,
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj.
Alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta: Kalimedia, 2015)
[3] Syamsuddin
Arif, Al-Quran, Orientalisme dan Luxenberg (Al Insan: Jurnal Kajian Islam Januari 2005)
Vol. 1. No. 1, h. 14-17.
[6] Ignaz
Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj. Alaika
Salamullah dkk. (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm. 9
[9] Dr.
Hasan Bathh, Anatomi
Orientalisme Menguak Tujuan dan Bahaya Orientalisme serta Cara Umat Islam
Menghadapinya, (Jogjakarta: Menara kudus Jogjakarta, 2004), hlm. 46.
[10] Dr.
Hasan Bathh, Anatomi
Orientalisme Menguak Tujuan dan Bahaya Orientalisme serta Cara Umat Islam
Menghadapinya, (Jogjakarta :Menara kudus jogjakarta, 2004), hlm. 52.
[11] Hasan Abdul Rauf dan
Abdurrahman Ghirah, Orientalisme Dan Misionarisme Menelikung Pola Pikir
Umat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 16.
[12] Aris Hilmi
Hulaimi, Qira’at dalam Perspektif
Ignaz Goldziher, Jurnal Studi Qur’anika, Volume 14, No 1, Maret 2016, hlm. 24-25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar