Minggu, 29 Oktober 2017

ORIENTALIS DALAM PANDANGAN QIRA’AT

ORIENTALIS DALAM PANDANGAN QIRA’AT

1.      Latar Belakang
            Al-Quran merupakan salah satu mukjizat nabi Muhammad terbesar di antara mukjizat-mukjizatnya yang lain, bahkan bisa dikatakan mukjizat teragung di antara mukjizat yang pernah diturunkan Allah Swt kepada nabi-nabi sebelumnya. Nilai kebahasaan serta kandungan maknanya begitu tinggi telah mampu menandingi syair-syair orang arab pada masa al-Quran diturunkan. Oleh sebab itu banyak kelompok baik dari kubu Muslim ataupun non-Muslim mencoba mengkaji kitab suci ini dengan tujuan membuktikan sebarapa jauh nilai keaslian dan keabsahan al-Qur’an sebagai firman Allah Swt. Dari permasalahan inilah kemudian muncul usaha-usaha kaum Orientalis memandang al-Quran sebagai objek kajian yang menantang diri mereka untuk membuktikan bahwasanya kitab suci al-Qur’an hanyalah sebatas karangan Muhammad saja, bukan firman Allah.
            Adapun argumen mereka (para Orientalis) mempertanyakan keaslian al-Qur’an yaitu dilihat dari sisi bacaan yang beragam atau Qiraat al-Qur’an. Keragaman bacaan yang mereka jumpai dari kalangan muslim ini menjadi senjata paling mujarab untuk mengatakan al-Qur’an bukan Firman Allah, melainkan hanya sebatas bacaan atau tulisan yang dikarang oleh Muhammad saja. Keberanian mereka mengatakan hal sedemikian juga dilandasi karena rasa kekecewaan mereka terhadap kitab sucinya sendiri yang telah mengalami perubahan atau pembaruan berkali-kali. Oleh sebab itu, di dalam makalah ini akan menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan Qiraat dalam pandangan Orientalis. Berkaitan dengan bagaimana pandangan orientalis terhadap Qiraat al-Qur’an, contoh kritikan orientalis terhadap Qiraat dan pengaruh Kritikan Orientalis



Pembahasan

1.      Pengertian Orientalis
Sebelum memperlajari pemikiran-pemikiran orang orientalis lebih lanjut ada baiknya terlebih dahulu dijabarkan apa itu orientalis. Karena fokus makalah ini menjelaskan pandangan dan kritikan orientalis terhadap Qiraat al-Qur’an tentu punya dua objek besar yaitu Orientalis dan Qiraat. Namun di sini tidak akan dijelaskan apa itu pengertian Qiraat karena istilah Qiraat sudah mafhum dikalangan pengkaji al-Qur’an.
Istilah Orientalis mengandung pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan kajian Timur kebalikan orientalis adalah Occidentalis yaitu kajian Barat. Kata ‘kajian’ di sini mencakup berbagai aspek dari mulai budaya, bahasa, sejarah hingga sampai keilmuan yang berada di wilayah Barat atau Timur.[1]
Sementara ini pemahaman seseorang ketika menyebut wilayah Barat dan Timur hanya terbayang di kepalanya yaitu bahasa, budaya, politik, ekonomi dan sejarah yang meliputi wilayah tersebut. Namun, sering kali tidak disadari penyebutan Barat dan Timur menjadi rancu manakala dilihat dari letak geografis suatu wilayah. Australia misalnya, secara geografis tentu masih berada di wilayah Timur tetapi dari segi kultural dan budaya Australia menggunakan bahasa Inggris. Begitu pula Rusia terletak di antara Barat dan Timur.[2] Kesalahfahaman seperti ini sudah beredar di mana saja dan sudah mafhum dipahami oleh kebanyakan orang, karena selama ini tolak ukur yang membedakan antara orang Barat dan Timur hanya sebatas warna kulit saja.
Orang-orang orientalis mengkaji agama Islam atau al-Qur’an tak lebih adalah sebagai bentuk usaha mereka untuk membuktikan keontetikan al-Qur’an dari sisi bacaan maupun tulisannya. Hal lain yang melatarbelakangi mereka tentu tidak bisa dipungkiri tentang rasa kekecewaan mereka terhadap kitab sucinya sendiri (al-Kitab) karena telah mengalami berulangkali pembaruan sehingga tidak bisa terjamin keaslian atau keontetikannya sebagai kitab suci. Salah satu senjata mereka untuk membuktikan ketidakaslian kitab suci al-Qur’an ialah melalui cara baca al-Qur’an yang bermacam-macam. Dari sini mereka berargumen mana mungkin sebuah kitab yang dikatakan terjaga keasliannya namun dijumpai banyak variansi bacaan dalam kitab suci tersebut. Seharusnya kalau berkata kitab suci al-Qur’an masih terjaga keasliannya tentu cara bacanya pula disepakati dengan satu bacaan saja. Demikianlah sekelumit tentang gambaran umum siapakah orientalis itu.

2.      Pandangan Orientalis terhadap Qira’at al-Qur’an
Memang ketika pertama kali memandang suatu objek kajian didasari dengan rasa kebencian maka kesan yang diperolehpun demikian halnya yaitu ketidakobjektifan dalam mengkaji. Selama ini orang Timur (Occident) menurut orang-orang orientalis hanya diletakkan sebagai objek kajian saja. Termasuk kajian terhadap Qiraat al-Qur’an, karena cara pandang awal mereka sejak awal sudah salah yaitu menganggap al-Qur’an bukan kalam ilahi melainkan hanya sebatas kitab hasil karangan Muhammad untuk menandingi syair-syair Arab yang beredar saat itu. Adapun diantara pandangan-pandangan orientalis terhadap al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1.      Pandangan orientalis terhadap teks al-Quran yang  menganggap bahwa al-Quran adalah dokumen tertulis atau teks, istilah yang selalu mereka pakai adalah “writing” dan “reading the text” (tulisan dan pembacaan dari teks tertulis). Berbeda dengan pandangan ilmuan Muslim yang mengatakan bahwa al-Quran adalah bacaan dari hapalan atau “recitation from memory”.[3]
2.      Kesalahpahaman sarjana Orientalis mengenai rasm dan qira’at, sebagaimana diketahui bahwa tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan. Pada kurun awal sejarah Islam, al-Qur’an ditulis “gundul”. Disinilah orientalis telah gagal paham dan keliru sehingga menyimpulkan bahwa kegundulan teks tersebutlah yang mengakibatkan berbedanya variasi bacaan sehingga al-Qur’an dapat dibaca sesuka hati[4]
3.      Pada prinsipnya al-Qur’an diterima dan diajarkan melalui hafalan, al-Qur’an juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah, hampir semua catatan-catatan awal milik pribadi para sahabat nabi dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain.[5]

3.      Kritikan Orientalis terhadap Qira’at
Kritikan orientalis terhadap Qira’at berawal dari  keraguan mereka terhadap keotentikan al-Qur’an, berawal dari situlah mereka mulai mengembangkan kajian mereka terkait dengan seluk-beluk al-Qur’an, salah satunya adalah Qira’at.
Menurut pandangan Ignaz Goldziher dan Arthur Jeffery  terhadap qira’at bahwa perbedaan macam-macam qira’at karena karakteristik tulisan Arab itu sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat mengahdirkan pembacaan (suara vokal) yang berbeda, tergantung pada peletakan tanda titik, baik jumlah dan tempatnya. Adanya perbedaan harakat (tanda baca) yang tidak ditemukan batasannya dalam tulisan Arab asli sehingga memicu perbedaa i’rab yang dapat menyebabkan lahirnya perbedaan makna. Dengan demikian bersumber dari hal tersebutlah yang menjadi faktor utama Ignaz Goldziher melakukan kritik terhadap qira’at al-Qur’an. Untuk memperkuat gagasanya Ignaz mengajukan 2 contoh[6]:
1.      Perbedaan karena tidak adanya titik pada huruf tertulis.
a.       Surah al-A’raf 48
وَنَادَىٰٓ أَصْحٰبُ الْأَعْرَافِ رِجَالًا يَعْرِفُونَهُم بِسِيمَىٰهُمْ قَالُوا۟ مَآ أَغْنَىٰ عَنكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ
Sebagian Ulama’ Qira’at membaca تَسْتَكْبِرُونَ yang tertulis dengan huruf ba’, dengan bacaan تَسْتَكْثرُونَ yaitu dengan huruf tsa’.
b.      Surah al-A’raf 57
وَهُوَ الَّذِى يُرْسِلُ الرِّيٰحَ بُشْرًۢا بَيْنَ يَدَىْ رَحْمَتِهِۦ ۖ
Sedangkan pada ayat ini kata بشرا dibaca dengan huruf nun sebagai ganti dari huruf ba’ sehingga menjadi نشرا.
c.       Surah al-Nisa’ 94
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا ضَرَبْتُمْ فِى سَبِيلِ اللَّـهِ فَتَبَيَّنُوا۟ وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَنْ أَلْقَىٰٓ إِلَيْكُمُ السَّلٰمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَوٰةِ الدُّنْيَا فَعِندَ اللَّـهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ ۚ كَذٰلِكَ كُنتُم مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللَّـهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوٓا۟ ۚ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Mayoritas sarjana Qira’at membaca lafadz فَتَبَيَّنُوٓا dengan lafad فَتَثبتُوا karena bentuk huruf yang tertulis فىىىىوا sehingga memungkinkan dibaca dengan berbagai model bacaan.[7]

2.      Perbedaan yang timbul karena harakat.
Surah al-Hijr 8
مَا نُنَزِّلُ الْمَلٰٓئِكَةَ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَا كَانُوٓا۟ إِذًا مُّنظَرِينَ
Dengan mengikuti perbedaan bacaan diantara sarjana qira’at pada lafad yang menunjukan turunya Malaikat, apakah itu ننزل atau  تنزل atau   تنزلsemua qira’at tersebut diwakili oleh wilayah yang berbeda-beda.
Selain Ignaz Goldziher muncul kritikan dari Christoph Luxenberg, dia memberikan contoh kritikannya terhadap qira’at al-Qur’an, menurut hasil spekulasinya kata qaswarah (قسورة) dalam QS al-Mudatsir 51 semestinya dibaca qasurah. Kata sayyi’at ( سيئت) dalam QS al-Nisa’ 18  semestinya dibaca saniyyat, kata adzannaka (اذنك) QS Fussilat 47 seharusnya dibaca idz-dzaka, sedangkan kata zanim (زنيم) QS al- Qalam 13 seharusnya dapat dibaca ratim, kemudian kata tahtiha (تحتها) dalam QS Maryam 24 mestinya dibaca nahtiha.[8] (bukan kajian Qira’at).
4.      Faktor-faktor Pendorong Orientalisme
Adapun faktor-faktor pendorong yang melatarbelakangi para orientalis dalam mengkaji studi ketimuran adalah sebagai berikut :
1.      Faktor Agama
Faktor agama merupakan motif utama bagi para orientalis dalam menjalankan misi mereka, yakni pada saat pendeta dari agama Nasrani, melihat umatnya yang dalam jumlah besar masuk agama Islam. Kemudian mereka melihat kemajuan dan keunggulan yang telah dicapai kaum muslimin, yang meliputi militer kaum muslimin, peradaban yang dimiliki umat Islam yang mempunyai pengaruh dalam menipiskan akidah umat Nasrani. Sehingga pada akhirnya, mereka memandang Islam sebagai musuh bagi agama Nasrani.
Dalam penyerangannya terhadap agama Islam, mereka menggambarkan bahwasanya agama Islam adalah bentuk agama yang apatis dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, para orientalis juga mempunyai tujuan untuk menciptakan sebuah kajian untuk membuat jiwa menjadi lemah dan merasa pesimis dalam pribadi-pribadi umat islam dan bangsa timur lainnya ketika mempelajari agamanya. Mereka juga mencari celah dari kejelekan umat Islam, untuk kemudian dipublikasikan sebagai sebuah kenyataan yang dimaksudkan untuk memperlemah akidah umat Islam.[9]
2.      Faktor Imperialisme dan kolonialisme.
Faktor yang melatarbelakangi orang-orang untuk mempelajari dunia Timur salah satunya adalah sebab dunia Eropa tidak putus asa atas kekalahan yang mereka derita dalam perang salib, tujuannya adalah untuk kembali menjajah bangsa Arab selaku negara yang identik dengan Islam. Oleh karena itu, mereka mempunyai kecenderungan untuk mempelajari hal-hal yang menyangkut tentang negara-negara tersebut, baik dari segi akidah, kesusasteraan, etika dan sumber-sumber kekayaan alam, agar mereka dapat mengetahui titik-titik lemah, dan titik kekuatan negara Islam yang harus dilumpuhkan.[10]
Untuk membuat impian mereka benar-benar terwujud, para orientalis berusaha mempelajari keadaan negara yang akan dijajahnya, dan kemudian menghilangkan nilai-nilai sejarah kebangsaan mereka. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam memecah belah persatuan negara yang akan dijajahnya. Dengan cara apapun, mereka ingin merampas sumber daya, hak kemerdekaan, mengikis persatuan tanah air di dunia Timur, demi kejayaan dunia Baratnya.
3.      Faktor Politik
Melihat kebutuhan politiknya yang salah satunya melegalkan imperialisme dan kolonialisme, disini dapat terlihat bagaimana memang ada sekelompok orientalis yang ditugasi oleh pejabat negara mereka. Sehingga dalam kajian mereka tidak murni ingin mengenal dunia ketimuran. Dengan cara tersebut mereka akan dapat menjalankan kepentingan-kepentingan politik yang menguntungkan bagi mereka.
4.      Faktor keilmuan  
Hanya sekelompok kecil dari para orientalis yang murni melakukan kajian ini sebab ingin benar-benar mempelajari dunia Timur, khsusnya kajian keislaman. Faktor keilmuan tentu berarti mempunyai tujuan untuk mempelajari kebudayaan manusia, agama, bahasa, dan ilmu pengetahuan. Sehingga presentase kesalahpahaman mereka ini terhadap kajian islam lebih sedikit dari pada kelompok orientalis lainnya, sebab mungkin para orientalis di sini dengan ketertarikannya dari diri sendiri yang ingin mengenal bagaimana dunia Timur dan kajian keislaman. Dan di faktor inilah orientalis memberikan sumbangsih yang besar terhadap kajian keislaman.
            Mereka para orientalis secara jujur dalam menelaah literatur-literatur Islam sebagai sebuah kebudayaan dan peradaban. Sehingga tidak menutup kemungkinan, faktor inilah yang telah membuka lebar-lebar ruang kekeliruan, serta kesalahan dalam memahami Islam.[11]
5.      Dampak Orientalis terhadap Qira’at
Dampak dari pemahaman orientalis terhadap qira’at al-Qur’an diantaranya adalah. Munculnya keraguan dikalangan “awam” terhadap al-Qur’an yang selama ini meyakini keotentikan al-Qur’an. Argumentasi Orientalis yang logis dengan menggunakan bukti-bukti sehingga secara tidak langsung mengecoh pemikiran umat muslim yang buta dengan ilmu qira’at. Adanya percampuran antara faham barat dengan Islam sehingga menimbulkan kebingungan. Pemahaman  al-Qur’an dengan metode Bible sehingga merekonstruksi al-Qur’an dengan bentuk pemahaman baru yang berimplikasi pada runtuhnya pondasi Islam.[12]















Kesimpulan
Al-Qur’an yang kita yakini kebenaran dan keasliannya menimbulkan kecemburuan oleh orang-orang orientalis sehingga mereka membandingkan kitab suci mereka dengan al-Qur’an namun kenyataannya mereka harus menerima kenyataan bahwa kitab suci yang mereka yakini, telah banyak campur tangan manusia, sehingga keaslian dari kitab suci mereka diragukan. Dari situlah mereka mencoba mencari kesalahan-kesalahan terhadap al-Qur’an yang selama ini diyakini kebenarannya oleh umat Islam. Bahkan argumen yang mereka ungkapkan untuk menyerang al-Qur’an adalah al-Qur’an muncul dari tulisan bukan dari hafalan. al-Qur’an juga  pernah ditulis tanpa adanya titik ataupun harakat sehingga al-Qur’an berhak dibaca sesuai dengan keinginan.











DAFTAR PUSTAKA
Syamsuddin Arif, Al-Quran, Orientalisme dan Luxenberg  (Al Insan: Jurnal Kajian Islam Januari 2005)
Hasan Abdul Rauf dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme Dan Misionarisme Menelikung Pola Pikir Umat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007)
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008),
Aris Hilmi Hulaimi, Qira’at dalam Perspektif Ignaz Goldziher, Jurnal Studi Qur’anika, Volume 14, No 1, Maret 2016,
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj. Alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta: Kalimedia, 2015)












[1] Al-Makin, Antara Barat dan Timur, hlm. 40
[2] Al-Makin, Antara Barat dan Timur, hlm. 41
[3] Syamsuddin Arif, Al-Quran, Orientalisme dan Luxenberg  (Al Insan: Jurnal Kajian Islam Januari 2005) Vol. 1. No. 1, h. 14-17.

[4] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 13.
[5] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 11.
[6] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj. Alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm. 9
[7] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, hlm. 10
[8] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 18
[9] Dr. Hasan Bathh, Anatomi Orientalisme Menguak Tujuan dan Bahaya Orientalisme serta Cara Umat Islam Menghadapinya, (Jogjakarta: Menara kudus Jogjakarta, 2004), hlm. 46.
[10] Dr. Hasan Bathh, Anatomi Orientalisme Menguak Tujuan dan Bahaya Orientalisme serta Cara Umat Islam Menghadapinya, (Jogjakarta :Menara kudus jogjakarta, 2004), hlm. 52.

[11] Hasan Abdul Rauf dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme Dan Misionarisme Menelikung Pola Pikir Umat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 16.

[12] Aris Hilmi Hulaimi, Qira’at dalam Perspektif Ignaz Goldziher, Jurnal Studi Qur’anika, Volume 14, No 1, Maret 2016, hlm. 24-25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar