WASILAH DALAM AL-QUR’AN
( Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu)
Oleh: Muhammad Munif (15530076)
Pendahuluan
Al-Qur’an
melalui salah satu ayatnya memperkenalkan diri sebagai huddan (
petunjuk) bagi umat manusia. Tidak hanya sebagai hiasan ataupun sekedar bacaan,
al-Qur’an juga perlu adanya interpretasi untuk mengungkapkan makna-makna ajaran
yang terkandung didalamnya.[1] Pada
hakekatnya al-Qur’an mengandung seluruh ajaran dan tuntunan bagi kehidupan umat
manusia seperti Aqidah, Ibadah, Akhlak,
Hukum, Sejarah, falsafah, Politik dan sebagainya.
Ibadah
merupakan salah satu intisari al-Qur’an, karena salah ajaran pokok dalam
kehidupan seorang muslim untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya adalah dengan
ibadah. Didalam hal ibadah manusia selalu timbul dorongan kuat agar bagaimana
amaliah-amaliah yang mereka kerjakan sampai kepada Allah SWT, akan tetapi dalam
diri manusia sering merasa bahwa dialah makhluk tuhan yang berlinang dosa
sehingga merasa kurang terhormat apabila langsung meminta kepada-Nya. Oleh
karena itu manusia berusaha mencari jalan lain agar tujuan ibadah mereka dapat
tersampaikan kepada Allah, yaitu dengan mencari wasilah (perantara).
Kata wasilah
didalam al-Qur’an terdapat 2 ayat yaitu pada surah al-Maidah ayat 35 dan
al-Isra’ ayat 57 yang berbunyi :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya (wasilah) dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kalian
mendapat keberuntungan. (QS.al-Maidah 35)
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى
رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ
عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Artinya: “Orang-orang
yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa
di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharap rahmat-Nya dan
takut akan segala azab-Nya, sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang harus
ditakuti”. (Q.S.al-isra’:57)
Kata Wasilah menempati
tempat terhormat dalam diskusi teologi Islam. Secara historis wasilah
menjadi suatu permasalah yang melahirkan perdebatan panjang dikalangan umat
Islam, permasalahan ini muncul sekitar abad ke 8 H yaitu pada awal-awal periode
tafsir era pertengahan, tidak dapat dipungkiri bahwa memang karakteristik pada
tafsir era pertengahan adalah nilai-nilai ideologisme melekat kuat sehingga
tertanam fanatisme yang berlebihan dan klaim kebenaran sepihak.[2] Pada era
ini muncul salah seorang mujadid besar bernama Ibn Taimiyah, dan disusul
reformasi Islam yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab yang mengadakan
perubahan-perubahan total ajaran-ajaran yang dianggap menyimpang jauh dari
ajaran al-Qur’an dan Sunnah guna mengembalikan kemurnian Islam, termasuk
didalamnya permasalahan wasilah, sejak saat itulah wasilah
menjadi bagian dari sikap keagamaan yang penuh kontroversi dan menjadi
perselisihan hingga saat ini.[3]
Penafsiran kata wasilah
sebenaranya sudah banyak dilakukan oleh ulama’-ulama’ terdahulu seperti
halnya termaktub dalam karya-karya
mereka, seperti Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyyah, Buya Hamka dan masih banyak tokoh
mufasir lain, akan tetapi konsep wasilah ini juga menarik dikaji
khususnya menggunakan pendekatan yang baru yaitu pendekatan semantik Toshihiko
Izutsu agar dapat memberikan nuansa baru dalam pemaknaan term-term yang
terdapat didalam al-Qur’an.
Pembahasan
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat tentang wasilah, untuk
mendapatkan ayat-ayat tentang wasilah penulis menggunakan kamus Mu’jam
al-Mufahras li Afadzil al-Qur’an. Didalam kamus tersebut penulis menemukan
2 ayat dalam 2 surah yang memuat kata wasilah.[4] Adapun
kata Wasilah terdapat pada surah al-Maidah 35 dan al-Isra’ 57:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى
رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ
وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Berdasarkan pencarian kata wasilah diatas
dapat diketahui bahwa wasilah hanya terdapat 2 macam, dan keduanya berbentuk isim masdar وَسِيلَةَ yang berasal dari fi’il madhi وَسلَ dalam al-Qur’an kata yang berasal dari akar kata wa, sin, dan
lam hanya terdapat dalam bentuk masdarnya, yaitu wasilah yang disebut
sebanyak dua kali (QS al-Maidah 35 dan QS al-Isra’ 57), kata wasala وَسلَ hampir mirip dengan وصل keduanya memiliki kesamaan arti yaitu
“ sebagai sesuatu yang menyambung dan mengantarkan sesuatu dengan yang lain”.[5]
Sebab Turunya Ayat
Dari kedua ayat
yang terdapat kata wasilah, hanya satu yang memilki asbabun nuzul yaitu
pada surah al-Isra’ 57, bahwa peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat ini
ketika ada sekelompok orang Arab yang menyembah jin, kemudian sekelompok Jin
yang mereka sembah ada yang memeluk agama Islam. Sekalipun demikian, diantara ummat
manusia masih juga ada yang menyembah Jin, sehubungan dengan itu maka Allah
menurunkan ayat ke 56-57 sebagai ancaman bagi mereka yang menyembah makhluk
yang samasekali tidak dapat memberi manfaat dan pertolongan, bahkan mereka yang
disembah itu pada dasarnya masih mencari jalan yang lurus.
Berdasarkan
asbabun nuzul ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam mencari wasilah
(perantara) tidak sedikitpun diperkenankan untuk meyakini bahwa dari perantara
sesuatu tersebut dapat memberikan pertolongan atau hal-hal apapun karena hal
tersebut salah satu bentuk syirik.
Makki dan Madani
Hal yang terpenting
dari suatu kajian al-Qur’an adalah mengetahui, pada konteks atau situasi
bagaimana ayat itu diturunkan, inilah yang menjadikan salah satu pokok kajian Makki
dan Madani. Makki Madani merupakan sesuatu yang sangat penting dan
tidak bisa diabaikan. Imam jalaluddin as-Suyuthi dalam al-itqan mabahits fi ulum
al-Qur’an,
mengatakan bahwa penting mengetahui Makki Madani ada 3 pendapat tentang makki
madani, yaitu:
1.
Ayat itu diturunkan
sebelum nabi Muhammad berhijrah dan menjadi makki atau nabi setelah
hijrah menjadi madani.
2.
Ayat itu ditujukan
untuk kota makkah walau setelah hijrah dimadinah
3.
Ayat itu ditujukan
untuk ahli makkah (muhajirin) atau ahli madinah (anshar)[6]
1. Makkiyah dan Madaniyah
Dalam ranah semantik Makki dan Madani merupakan suatu kajian ilmu yang
sangat penting, ilmu ini akan sangat membantu dalam memahami konsep yang
berkembang dimasyarakat ketika al-Qur’an diturunkan karena suatu bahasa tidak
akan lepas dari budaya. Adapun manfaat Makki dan Madani adalah:
1)
Membantu dalam
menafsirkan al-Qur’an, karena pengetahuan mengenai tempat turunnya ayat dapat
membantu memahami ayat dan penafsirann kata tersebut secara benar, sekalipun
yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz bukan sebab khusus.
2)
Meresepsi gaya bahasa
al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah.
3)
Memahami sejarah hidup
Nabi Muhammad SAW, melalui ayat-ayat al-Qur’an sebab turunya wahyu Rasulullah
sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwannya baik pada periode
Mekkah ataupun Madinah, sejak permulaan turunnya wahyu hingga ayat terakhir
diturunkan.[7]
Untuk mengetahui Makki dan Madani ayat-ayat wasilah, penulis
menggunakan riwayat Ibn Abbas, adapun ayat wasilah diklasifikasikan sebagai
berikut.[8]
1. Makkiyah
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى
رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ
عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Surah al-Isra’ 57 merupakan surah
Makkiyah adapun beberapa kriteria untuk mengetahui makkiyah diantaranya adalah:
1)
Setiap surah yang didalamnya terdapat ayat Ya
ayyuhannas.
2)
Surat-surat yang ayatnya pendek-pendek bersajak,
i’jaz al-ibarah dan padat isinya.
3)
Surat-surat yang berisi tentang ajaran aqidah
(tauhid menyembah Allah, risalah Nabi Muhammad , mujadalah kaum-kaum musyrikin
dengan dalil-dalil akal ayat kauniyah.[9]
Dari beberapa ciri-ciri diatas
menunjukan bahwa surah al-Isra’ 57 merupakan salahsatu golongan dari surah
Makkiyah.
2. Madaniyah
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
Surah al-Maidah 35
merupakan salah satu dari golongan surah madaniyah hal ini dapat diketahui dari
beberapa kriteria, diantaranya adalah:
1) Setiap surah yang didalamnya terdapat redaksi Ya ayyuhaladzina amanu.
2) Setiap surah yang didalamnya terdapat ajaran-ajaran ibadah, mua’amalah,
pidana, aturan berkeluarga, hukum wais, keutamaan jihad dan lain sebagainya.
3) Surah yang ayatnya panjanag-panjang, dan bergaya prosa liris.[10]
Dari pembagian makkiyah dan
madaniyah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua surah yang terdapat
kata wasilah yaitu al-Isra’ termasuk golongan surah Makkiyah sedangkan
surah al-Maidah merupakan surah Madaniyyah. Pada kedua periode ini hampir tidak
ada perbedaan makna tekstual karena wasilah keduanya memiliki makna
dekat. Akan tetapi pada periode Makkiyah yaitu surah al-Isra’ 57 mengandung
unsur teologi yang kuat sehingga wasilah (mendekatkan diri kepada Allah, harus
benar-benar murni tanpa adanya perantara apapun, sekalipun itu Rasulullah),
oleh karena itu wasilah pada periode Makki merupakan suatu bentuk larangan agar
ketauhidan mereka terhadap Allah tidak tercampur oleh ajaran-jaran lama yang
dapat mengikis keimanan mereka terhadap Allah disaat itu juga merupakan awal
mula perkembangan ajaran Islam. Sedangkan para periode Madaniyyah yaitu surah
al-Maidah 35 wasilah merupakan suatu bentuk yang dianjurkan karena
berkaitan dengan masalah ibadah.
Makna Dasar
Dalam kajian semantik pasti dalam
menganslisis suatu kata harus mengetahui makna dasar kata tersebut. Makna dasar merupakan makna yang melekat pada kata itu sendiri
dan selalu terbawa kemanapun dimanapun baik makna didalam al-Qur’an dan diluar al-Qur’an
sepanjang kata itu masih digunakan oleh masyarakat penuturnya. Adanya makna
dasar ini meniscayakan bahwa pada dasarnya tidak ada yang tunggal karena dia
sangat berhubungan dengan lingkungan historisnya.[11]
Wasilah dalam
Lisan al-Arabi memiliki beberapa arti yaitu dekat, tempat , derajat, kecintaan
terhadap Allah, memohon[12].
Sedangkan Raghib al-Asfihani dalam kitabnya Mufrodat fi Gharib al-Qur’an
memberikan arti untuk term wasilah dengan sesuatu yang menyambung dan
mengantarkan kepada sesuatu yang lain, hanya saja meneurut al-Asfihani wasilah
maknanya lebih spesifik dibandingkan dengan washilah karena upaya
untuk menyambungkan atau menghubungkan itu didasari dengan keinginan yang kuat,
dan hakikatnya mencari wasilah hanya kepada Allah semata.[13]
Dalam Ensiklopedia
al-Qur’an dijelaskan bahwa kata wasilah adalah upaya untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Berkenaan dengan wasilah, para ulama’ menyepakati
kebolehan melakukannya karena secara jelas ditemukan perintah Allah dalam kedua
ayat al-Qur’an ( al-Maidah 53 dan al-Isra’ 57) kendati demikian perbedaan
pendapat oleh para Ulama’ adalah dari segi cara yang ditempuh atau apa dan siapa
yang dapat dijadikan sebagai wasilah guna meraih ridhanya.[14]
Dari beberapa
penjelasan makna diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa wasilah
mengandung beberapa konsep
1.
Mendekatkan
diri kepada Allah
2.
Meningkatkan
Derajat
3.
Tempat
tertinggi
Dari berbagai definisi yang sudah penulis kumpulkan bahwa wasilah
secara bahasa adalah dekat, derajat, memohon,
tempat tertinggi. Dari situlah terbentuk suatu himpunan yang yang didasarkan
pada suatu tatanan ataupun cara untuk mencapai kearah tempat tertinggi yaitu
ridha Allah SWT.
Makna Relasiaonal
Menurut Toshihiko Izutsu makna relasioanal sebagai susuatu
konotatif yang terkait dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan
kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus, atau dengan kata lain makna
baru yang diberikan pada sebuah kata bergantung pada kalimat dimana kata itu
digunakan.[15]
Untuk mendapatkan makna relasional berdasarkan teori semantik, maka perlu
adanya analisis sintagmatik dan paradigmatik.
Analisis Sintagmatik
Kedudukan kata wasilah yang bertempat
diberbagai surat
hanya ada dua dan terpisah antara satu dengan yang lain akan tetapi
menghasilkan suatu konsep yang utuh. Untuk mendapatkan makna yang memiliki
keterkaitan konsep wasilah diperlukan analisis sintagmatik yang dalam
pengertiannya suatu analisis yang berusaha menentukan makna suatu kata dengan
cara memperhatikan kata-kata yang didepan dan dibelakang kata yang dibahas.[16]
Kata
wasilah dalam al-Qur’an mengalami perkembangan dan mengahasilkan
makna-makna lain, ketika dikaitkan dengan konsep lain seperti.
1. Tuhan
Makna kata wasilah
adalah dekat, memohon, derajat dan tempat tertinggi. Berdasarkan surah
al-Isra’ 57 bahwa kata wasilah bersanding dengan konsep keTuhanan,
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى
رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ
وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
2. Ketaqwaan
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
Makna wasilah
pada surat al-Maidah 53 lebih spesifik bersanding dengan konsep ketaqwaan yaitu
didalam beribadah dianjurkan untuk mencari jalan(lantaran) untuk mendekatkan
diri kepada Allah.
Analisis Paradigmatik
Analisis paradigmatik adalah analisis yang mengkomparasikan
kata atau konsep tertentu dengan kata atau konsep lain yang mirip (sinonim)
atau berlawanan (antonim).[17]
1. Sinomim kata
wasilah
Washala
وَلَقَدْ وَصَّلْنَا لَهُمُ الْقَوْلَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Washala secara
bahasa memiliki arti menyambung, menghubungkan, menggabungkan.[18]
Adapun maksud keterkaitan ayat ini dengan wasilah adalah bahwa kata washala
memberikan penjelasan tentang tururunnya al-Qur’an secara berturut-turut agar
dapat mudah dipelajari oleh umat muslim. (QS al-Qashas 51)
Qurbah
وَمِنَ الْأَعْرَابِ مَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبَاتٍ عِنْدَ اللَّهِ وَصَلَوَاتِ
الرَّسُولِ ۚ أَلَا إِنَّهَا قُرْبَةٌ لَهُمْ ۚ سَيُدْخِلُهُمُ اللَّهُ فِي
رَحْمَتِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Qurbah
secara bahasa berarti perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah,
Ibadah.[19].
dari ayat diatas dapat diketahui bahwa salahsatu bentuk ibadah dan sarana
mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan meninfakkan hartanya dijalan Allah
SWT.
Darajah
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْفَائِزُونَ
orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan
diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah
orang-orang yang mendapat kemenangan (QS.al-Taubah
20).
Darajah secara bahasa adalah kedudukan, pangkat,
martabat, kelas tingkatan.[20]Ayat
ini merupakan seruan Allah untuk berjihad atau berjuang dijalan Allah dengan
mengerahkan segala kemampuannya baik material maupun non meterial, oleh karena
itu jihad merupakan upaya untuk mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan
apa yang diinginkan atau dicita-citakan. Maka dari segala bentuk hijrah,
perjuangan dan jihad dengan sungguh-sungguh sesuai dengan koridor Allah SWT
niscaya akan mendapat balasan rahmat yang luas
dan akan mendapatkan derajat yang tinggi disisi-Nya.[21]
2. Antonim kata
wasilah
Mani’
وَمَا مَنَعَ النَّاسَ أَنْ يُؤْمِنُوا
إِذْ جَاءَهُمُ الْهُدَىٰ وَيَسْتَغْفِرُوا رَبَّهُمْ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمْ
سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلًا
Mani’ secara
bahasa mencegah, merintangi, menolak.[22] Bahwa orang-orang kafir ketika sudah mendapatkan hidayah dari Allah, tidak
akan ada suatu hal yang dapat menghalangi orang tersebut untuk mendekatkan diri
kepada-Nya.
Khailun
وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا
يَشْتَهُونَ كَمَا فُعِلَ بِأَشْيَاعِهِمْ مِنْ قَبْلُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا فِي
شَكٍّ مُرِيبٍ
Khailun secara
bahasa berarti menghalangi terbentuk dari fi’il madhinya lafad Khala.[23]
Maksud dari ayat ini adalah penyesalan orang-orang kafir selama hidup didunia,
mereka mengalami ketakutan luat biasa tatkala dihari akhir, sehingga mereka
menginginkan kembali kedunia untuk beriman kepada Allah.
Zaajirun
فَالزَّاجِرَاتِ زَجْرًا
dan demi (rombongan) yang
melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat). (QS As-Shaffat
2)
Zaajirun secara bahasa berarti mencegah,
merintangi.[24]
Maksud dari rombongan disini adalah para malaikat ataupun makhluk lain seperti
burung.
Dari analisis diatas, beberapa kata seperti washala,
qurbah, darajah, memiliki kesamaan substansi dengan kata wasilah bahwasanya
ketika kata tersebut merupakan sesuatu yang didalamnya terdapat nilai-nilai
ibadah dengan berbagai macam bentuk, seperti berjihad, berjuang, berusaha,
menginfakkan hartanya dan lain segalanya, hal terpenting yang perlu digaris
bawahi bahwa segala bentuk ibadah diatas merupakan sebagai sarana, cara ataupun
metode mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sedangkan antonim dari kata wasilah terdapat beberapa
kata diantaranya kata Mani’, Khailun, Zaajirun. Dari ketiga kata
tersebut memberikan gambaran bahwa dalam berupaya mendekatkan diri kepada Allah
akan terdapat halangan ataupun rintangan yang menyertainya, hal ini sebagai
bentuk ujian untuk meningkatkan ketaqwaan kita terhadap Allah.
Berdasarkan dari pemaparan diatas
maka dapat digambarkan dengan diagram medan semantik sebagai berikut:
![](file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.png)
![](file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.png)
![]() |
![](file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.png)
![]() |
|||
![]() |
|||
![](file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image007.png)
![](file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image008.png)
![]() |
|||
![]() |
|||
![](file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image011.png)
![](file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image012.png)
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
![](file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image016.png)
Sinkronik dan Diakronik
Istilah sinkronik diakronik secara sederhana merupakan suatu
analisis terhadap kosakata yang titik tekannya terhadap waktu atau sejarah dari
kosakata tersebut, Toshihiko Izutsu menyederhanakan dalam analisis semantik
historis kosakata ini menjadi tiga periode, yaitu periode pra-Qur’anik, Periode
Qur’anik dan Pasca Qur’anik.
Periode Qur’anik
merupakan pembahasan terhadap kosakata yang digunakan sebelum turunya al-Qur’an
atau kosakata yang biasa disebut zaman jahiliyyah, analisis terhadap sejarah
penggunaan kosakata pra Islam sangat penting guna untuk mengantarakan dalam
memahami pada masa Islam (Qur’anik). Salah satu cara untuk melacak pencarian
kosakata pra Qur’anik yaitu dengan melacak syair-syair Arab, salah satu
contohnya adalah:
إن الصنائع للحياة وسيلةٌ ** فتعاونوا طراً على إحيائها[25]
“Sesungguhnya
berhala-berhala dapat menjadi wasilah dalam kehidupan,maka saling
tolong-menolong kalian untuk memeliharanya”
Pada
periode pra Qur’anik kata wasilah sudah banyak digunakan pada syair-syair kuno,
akan tetapi penisbatan kata wasilah ini kepada berhala-berhala
sesembahan mereka sehingga dapat diketahui penggunaan wasilah ini
sebagai bentuk permintaan pertolongan kepada selain Allah.
Pada periode
Qur’anik kata wasilah masuk dengan makna cara untuk mendekatkan diri,
akan tetapi dapat dipahami penggunaan kata wasilah mempunyai pandangan
yang berbeda dengan pandangan dasar masyarakat yang menggunakannya. Praktek
mendekatkan diri sebenarnya tidak ada bentuk khusus, akan tetapi praktek
mendekatkan diri dapat dilakukan dengan hal apapun selama hal tersebut tidak
mengingkari ketauhidan Allah.
Periode Pasca
Qur’anik, periode ini merupakan periode yang sudah banyak diadopsi oleh para
pemikir Islam, seperti pendapat Fazlur Rahman bahwa ayat-ayat al-Qur’an turun
dalam waktu tertentu dalam sejarah dengan menggunakan suatu ungkapan yang
relatif sesuai dengan situasi yang mengelilinginya.[26] oleh karena itu pemahaman mengenai wasilah sudah banyak
dilakukan oleh fuqaha’ ataupun mufasiir salah
satunya adalah contoh penafsiran bergaya semantik yaitu penafsiran Abu Hayyan
dalam tafsirnya Bahrul Muhith bahwa wasilah adalah mencari, memohon,
ta’at, dan derajat. Maka dari itu wasilah merupakan suatu bentuk
perintah kepada orang-orang mukmin untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
menegakkan ajaran Islam, menjaga syari’at, menjauhi maksiat hal ini sebagai
upaya untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT[27]
Welsthanshaaung
Dari sendikit gambaran penjelasan diatas bahwa semantic tidak
semata hanya bertujuan untuk mengetahui makna dasar relasional, ataupun
perkembangan pada periode pra-Qur’anik, Qur’anik ataupun Pasca Qur’anik. Yang
ditujukan semantika al-Qur’an adalah menjelaskan adanya medan semantic yang
salaing tumpang tindih, sehingga perlu adanya eksplorasi sehingga dapat
diketahui secara jelas prinsip yang dimaksudkan dalam al-Qur’an tersebut.[28]
Kata wasilah
dapat diimplementasikan dalam kehidupan muslim khususnya dalam tataran ibadah
(Ubudiyyah) agar segala hajat dan tujuan kita dapat tersampaikan kepada Allah
dalam rangka memperkuat ketaqwaan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pemahaman
Wasilah sebagai bentuk kesyirikan perlu ditinjau lebih dalam. Bahwa hakikat
konsep yang tertanam dalam wasilah tidak ada sedikitpun memiliki unsur
menyekutukan Allah SWT, meskipun secara dhohirnya atau prakteknya seolah-olah
melenceng dari ajaran Islam, maka pola pikir suudzon tersebut harus dibenarkan.
Oleh karena itu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah tidak larangan dalam
bentuk prilaku apapun selama hal tersebut meyakini bahwa Allah sesembahan yang
haq dan Allah lah tempat dimana kita meminta pertolongan.
Kesimpulan
Berdasarkan mini riset yang dilakukan penulis bahwa
makna wasilah (analisis pendekatan semantik Toshihiko Izutsu) makna wasilah
dari kata dasar makna relasional, wasilah memiliki makna yang beragam seperti
dekat, memohon, derajat, tempat tertinggi. Dari beberapa makna tersebut
tersirat bahwa adanya suatau unsur teologi bahwa wasilah tertuju kepada
Allah, karena dari kedua ayat al-Maidah 35 dan al-Isra’ 57 wasilah bersanding
dengan kata Allah dan Rabb yang berarti Tuhan. Sedangkan berdasarkan periode
pra-Qur’anik dan Qur’anik kata wasilah tidak mengalami perubahan akan tetapi pada
periode pasca Qur’anik wasilah mengalami perkembangan drastis, makna actual
dasarnya berarti dekat, memohon dan derajat, wasilah diartikan sebagai
salah satu bentuk kemusyrikan ditinjau dari kasus-kasus yang terjadi seperti
tahlilan, ziarah kubur dan lain sebagainya, padahal dalam pelaksanaan ritual-ritual
tersebut hakikatnya menggunakan konsep wasilah yaitu sebagai sarana untuk
mendekatkan diri pada Allah.
[1] Islah Gusmian,
Khazanah Tafsir Indonesia dari
Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta: Lkis, 2013) , hlm. 5.
[3]
Mahmut Syaltut, Aqidah dan
Syari’at Islam, terj Fakhruddin HS,
(Jakarta: Bina Aksara, 1990), hlm 11.
[4]
Fu’ad Abdul
Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li afadzil al-Qur’an (Daar al-Fikr, Beirut
1992), hlm. 143 dan 372
[5]
M.Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian
Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007) hlm.1076
[6] Imam jalaluddin as-Syuyuti, al-Itqan Mabahits fi
Ulum al-Qur’an, (Beirut, Daar Fikr:
1951) hlm. 8-9
[7] Manna’ Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, hlm. 81-82
[8]
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Tangerang: PT
Pustaka Alfabet, 2013), hlm. 94-95.
[9]
Imam jalaluddin as-Syuyuti, al-Itqan Mabahits fi
Ulum al-Qur’an, (Beirut, Daar Fikr:
1951) hlm. 189-190.
[10]
Imam jalaluddin as-Syuyuti, al-Itqan Mabahits fi
Ulum al-Qur’an, (Beirut, Daar Fikr:
1951) hlm. 98.
[11]
Toshihiko Izutsi, Relasi
Tuhan dan Manusia, terj Agus Fahri Husein, dkk, (Yogyakarta: PT Wacana Tiara
Yogya, 1997), hlm 6.
[13] Raghib
al-Isfahani, al-Mu’jam al Mufrodat li gharib li al-Qur’an, (Beirut: Dar
al Fikr, tt), hlm 596.
[14]
M.Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian
Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007) hlm.1076
[15]
Toshihiko Izutsi, Relasi
Tuhan dan Manusia, terj Agus Fahri Husein, dkk, (Yogyakarta: PT Wacana
Tiara Yogya, 1997), hlm 12-16.
[17]
Zunaidi Nur, Konsep
Jannah dalam al-Qur’an, Aplikasi Semantik Toshihiko Izutsu “skripsi UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014. Hlm 64.
[18]
Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hlm.
1562.
[19] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hlm.
1102.
[20]
Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hlm.
396.
[21]
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2006),
hlm. 83
[22]
Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hlm.
1306.
[23]
Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hlm.
310.
[24]
Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hlm.
562.
[25]
Abi Tamam al-Tha’I, Diwan abi Tamam, Maktabah syamilah
[26]
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsri al-Qur’an, hlm 1
jadi..apakah ajaran ini benar ??
BalasHapusapakah ajaran ini benar atau tidak??
BalasHapusKajialah Kisah Ashabul Kahfi
BalasHapus