Minggu, 29 Oktober 2017

WASILAH DALAM AL-QUR’AN

WASILAH DALAM AL-QUR’AN
( Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu)
Oleh: Muhammad Munif (15530076)
Pendahuluan
Al-Qur’an melalui salah satu ayatnya memperkenalkan diri sebagai huddan ( petunjuk) bagi umat manusia. Tidak hanya sebagai hiasan ataupun sekedar bacaan, al-Qur’an juga perlu adanya interpretasi untuk mengungkapkan makna-makna ajaran yang terkandung didalamnya.[1] Pada hakekatnya al-Qur’an mengandung seluruh ajaran dan tuntunan bagi kehidupan umat manusia  seperti Aqidah, Ibadah, Akhlak, Hukum, Sejarah, falsafah, Politik dan sebagainya. 
Ibadah merupakan salah satu intisari al-Qur’an, karena salah ajaran pokok dalam kehidupan seorang muslim untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya adalah dengan ibadah. Didalam hal ibadah manusia selalu timbul dorongan kuat agar bagaimana amaliah-amaliah yang mereka kerjakan sampai kepada Allah SWT, akan tetapi dalam diri manusia sering merasa bahwa dialah makhluk tuhan yang berlinang dosa sehingga merasa kurang terhormat apabila langsung meminta kepada-Nya. Oleh karena itu manusia berusaha mencari jalan lain agar tujuan ibadah mereka dapat tersampaikan kepada Allah, yaitu dengan mencari wasilah (perantara).
Kata wasilah didalam al-Qur’an terdapat 2 ayat yaitu pada surah al-Maidah ayat 35 dan al-Isra’ ayat 57 yang berbunyi :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (wasilah) dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kalian mendapat keberuntungan. (QS.al-Maidah 35)

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Artinya: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharap rahmat-Nya dan takut akan segala azab-Nya, sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang harus ditakuti”. (Q.S.al-isra’:57)

            Kata Wasilah menempati tempat terhormat dalam diskusi teologi Islam. Secara historis wasilah menjadi suatu permasalah yang melahirkan perdebatan panjang dikalangan umat Islam, permasalahan ini muncul sekitar abad ke 8 H yaitu pada awal-awal periode tafsir era pertengahan, tidak dapat dipungkiri bahwa memang karakteristik pada tafsir era pertengahan adalah nilai-nilai ideologisme melekat kuat sehingga tertanam fanatisme yang berlebihan dan klaim kebenaran sepihak.[2] Pada era ini muncul salah seorang mujadid besar bernama Ibn Taimiyah, dan disusul reformasi Islam yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab yang mengadakan perubahan-perubahan total ajaran-ajaran yang dianggap menyimpang jauh dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah guna mengembalikan kemurnian Islam, termasuk didalamnya permasalahan wasilah, sejak saat itulah wasilah menjadi bagian dari sikap keagamaan yang penuh kontroversi dan menjadi perselisihan hingga saat ini.[3]
            Penafsiran kata wasilah sebenaranya sudah banyak dilakukan oleh ulama’-ulama’ terdahulu seperti halnya termaktub  dalam karya-karya mereka, seperti Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyyah, Buya Hamka dan masih banyak tokoh mufasir lain, akan tetapi konsep wasilah ini juga menarik dikaji khususnya menggunakan pendekatan yang baru yaitu pendekatan semantik Toshihiko Izutsu agar dapat memberikan nuansa baru dalam pemaknaan term-term yang terdapat didalam al-Qur’an.
Pembahasan
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat tentang wasilah, untuk mendapatkan ayat-ayat tentang wasilah penulis menggunakan kamus Mu’jam al-Mufahras li Afadzil al-Qur’an. Didalam kamus tersebut penulis menemukan 2 ayat dalam 2 surah yang memuat kata wasilah.[4] Adapun kata Wasilah terdapat pada surah al-Maidah 35 dan al-Isra’ 57:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

            Berdasarkan pencarian kata wasilah diatas dapat diketahui bahwa wasilah hanya terdapat  2 macam, dan keduanya berbentuk isim masdar وَسِيلَةَ yang berasal dari fi’il madhi وَسلَ dalam al-Qur’an kata yang berasal dari akar kata wa, sin, dan lam hanya terdapat dalam bentuk masdarnya, yaitu wasilah yang disebut sebanyak dua kali (QS al-Maidah 35 dan QS al-Isra’ 57), kata wasala  وَسلَ hampir mirip dengan وصل keduanya memiliki kesamaan arti yaitu “ sebagai sesuatu yang menyambung dan mengantarkan sesuatu dengan yang lain”.[5]
 Sebab Turunya Ayat
Dari kedua ayat yang terdapat kata wasilah, hanya satu yang memilki asbabun nuzul yaitu pada surah al-Isra’ 57, bahwa peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat ini ketika ada sekelompok orang Arab yang menyembah jin, kemudian sekelompok Jin yang mereka sembah ada yang memeluk agama Islam. Sekalipun demikian, diantara ummat manusia masih juga ada yang menyembah Jin, sehubungan dengan itu maka Allah menurunkan ayat ke 56-57 sebagai ancaman bagi mereka yang menyembah makhluk yang samasekali tidak dapat memberi manfaat dan pertolongan, bahkan mereka yang disembah itu pada dasarnya masih mencari jalan yang lurus.
Berdasarkan asbabun nuzul ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam mencari wasilah (perantara) tidak sedikitpun diperkenankan untuk meyakini bahwa dari perantara sesuatu tersebut dapat memberikan pertolongan atau hal-hal apapun karena hal tersebut salah satu bentuk syirik.

Makki dan Madani
Hal yang terpenting dari suatu kajian al-Qur’an adalah mengetahui, pada konteks atau situasi bagaimana ayat itu diturunkan, inilah yang menjadikan salah satu pokok kajian Makki dan Madani. Makki Madani merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan. Imam jalaluddin as-Suyuthi dalam al-itqan mabahits fi ulum al-Qur’an, mengatakan bahwa penting mengetahui Makki Madani ada 3 pendapat tentang makki madani, yaitu:
1.      Ayat itu diturunkan sebelum nabi Muhammad berhijrah dan menjadi makki atau nabi setelah hijrah menjadi madani.
2.      Ayat itu ditujukan untuk kota makkah walau setelah hijrah dimadinah
3.      Ayat itu ditujukan untuk ahli makkah (muhajirin) atau ahli madinah (anshar)[6]

1.    Makkiyah dan Madaniyah
Dalam ranah semantik Makki dan Madani merupakan suatu kajian ilmu yang sangat penting, ilmu ini akan sangat membantu dalam memahami konsep yang berkembang dimasyarakat ketika al-Qur’an diturunkan karena suatu bahasa tidak akan lepas dari budaya. Adapun manfaat Makki dan Madani adalah:
1)      Membantu dalam menafsirkan al-Qur’an, karena pengetahuan mengenai tempat turunnya ayat dapat membantu memahami ayat dan penafsirann kata tersebut secara benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz bukan sebab khusus.
2)      Meresepsi gaya bahasa al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah.
3)      Memahami sejarah hidup Nabi Muhammad SAW, melalui ayat-ayat al-Qur’an sebab turunya wahyu Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwannya baik pada periode Mekkah ataupun Madinah, sejak permulaan turunnya wahyu hingga ayat terakhir diturunkan.[7]
Untuk mengetahui Makki dan Madani ayat-ayat wasilah, penulis menggunakan riwayat Ibn Abbas, adapun ayat wasilah diklasifikasikan sebagai berikut.[8]
1.    Makkiyah
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا 
            Surah al-Isra’ 57 merupakan surah Makkiyah adapun beberapa kriteria untuk mengetahui makkiyah diantaranya adalah:
1)      Setiap surah yang didalamnya terdapat ayat Ya ayyuhannas.
2)      Surat-surat yang ayatnya pendek-pendek bersajak, i’jaz al-ibarah dan padat isinya.
3)      Surat-surat yang berisi tentang ajaran aqidah (tauhid menyembah Allah, risalah Nabi Muhammad , mujadalah kaum-kaum musyrikin dengan dalil-dalil akal ayat kauniyah.[9]
Dari beberapa ciri-ciri diatas menunjukan bahwa surah al-Isra’ 57 merupakan salahsatu golongan dari surah Makkiyah.
2.    Madaniyah 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
Surah al-Maidah 35 merupakan salah satu dari golongan surah madaniyah hal ini dapat diketahui dari beberapa kriteria, diantaranya adalah:
1)      Setiap surah yang didalamnya terdapat redaksi Ya ayyuhaladzina amanu.
2)      Setiap surah yang didalamnya terdapat ajaran-ajaran ibadah, mua’amalah, pidana, aturan berkeluarga, hukum wais, keutamaan jihad dan lain sebagainya.
3)      Surah yang ayatnya panjanag-panjang, dan bergaya prosa liris.[10]
 Dari pembagian makkiyah dan madaniyah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua surah yang terdapat kata wasilah yaitu al-Isra’ termasuk golongan surah Makkiyah sedangkan surah al-Maidah merupakan surah Madaniyyah. Pada kedua periode ini hampir tidak ada perbedaan makna tekstual karena wasilah keduanya memiliki makna dekat. Akan tetapi pada periode Makkiyah yaitu surah al-Isra’ 57 mengandung unsur teologi yang kuat sehingga wasilah (mendekatkan diri kepada Allah, harus benar-benar murni tanpa adanya perantara apapun, sekalipun itu Rasulullah), oleh karena itu wasilah pada periode Makki merupakan suatu bentuk larangan agar ketauhidan mereka terhadap Allah tidak tercampur oleh ajaran-jaran lama yang dapat mengikis keimanan mereka terhadap Allah disaat itu juga merupakan awal mula perkembangan ajaran Islam. Sedangkan para periode Madaniyyah yaitu surah al-Maidah 35 wasilah merupakan suatu bentuk yang dianjurkan karena berkaitan dengan masalah ibadah.
Makna Dasar
            Dalam kajian semantik pasti dalam menganslisis suatu kata harus mengetahui makna dasar kata tersebut. Makna dasar merupakan makna yang melekat pada kata itu sendiri dan selalu terbawa kemanapun dimanapun baik makna didalam al-Qur’an dan diluar al-Qur’an sepanjang kata itu masih digunakan oleh masyarakat penuturnya. Adanya makna dasar ini meniscayakan bahwa pada dasarnya tidak ada yang tunggal karena dia sangat berhubungan dengan lingkungan historisnya.[11]
            Wasilah dalam Lisan al-Arabi memiliki beberapa arti yaitu dekat, tempat , derajat, kecintaan terhadap Allah, memohon[12]. Sedangkan Raghib al-Asfihani dalam kitabnya Mufrodat fi Gharib al-Qur’an memberikan arti untuk term wasilah dengan sesuatu yang menyambung dan mengantarkan kepada sesuatu yang lain, hanya saja meneurut al-Asfihani wasilah maknanya lebih spesifik dibandingkan dengan washilah karena upaya untuk menyambungkan atau menghubungkan itu didasari dengan keinginan yang kuat, dan hakikatnya mencari wasilah hanya kepada Allah semata.[13]
            Dalam Ensiklopedia al-Qur’an dijelaskan bahwa kata wasilah adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berkenaan dengan wasilah, para ulama’ menyepakati kebolehan melakukannya karena secara jelas ditemukan perintah Allah dalam kedua ayat al-Qur’an ( al-Maidah 53 dan al-Isra’ 57) kendati demikian perbedaan pendapat oleh para Ulama’ adalah dari segi cara yang ditempuh atau apa dan siapa yang dapat dijadikan sebagai wasilah guna meraih ridhanya.[14]
            Dari beberapa penjelasan makna diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa wasilah mengandung beberapa konsep
1.      Mendekatkan diri kepada Allah
2.      Meningkatkan Derajat
3.      Tempat tertinggi
Dari berbagai definisi yang sudah penulis kumpulkan bahwa wasilah secara bahasa adalah dekat, derajat, memohon, tempat tertinggi. Dari situlah terbentuk suatu himpunan yang yang didasarkan pada suatu tatanan ataupun cara untuk mencapai kearah tempat tertinggi yaitu ridha Allah SWT.
Makna Relasiaonal
Menurut Toshihiko Izutsu makna relasioanal sebagai susuatu konotatif yang terkait dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus, atau dengan kata lain makna baru yang diberikan pada sebuah kata bergantung pada kalimat dimana kata itu digunakan.[15] Untuk mendapatkan makna relasional berdasarkan teori semantik, maka perlu adanya analisis sintagmatik dan paradigmatik.
Analisis Sintagmatik
            Kedudukan kata wasilah yang bertempat diberbagai surat hanya ada dua dan terpisah antara satu dengan yang lain akan tetapi menghasilkan suatu konsep yang utuh. Untuk mendapatkan makna yang memiliki keterkaitan konsep wasilah diperlukan analisis sintagmatik yang dalam pengertiannya suatu analisis yang berusaha menentukan makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang didepan dan dibelakang kata yang dibahas.[16]
            Kata wasilah dalam al-Qur’an mengalami perkembangan dan mengahasilkan makna-makna lain, ketika dikaitkan dengan konsep lain seperti.
1.      Tuhan
Makna kata wasilah adalah dekat, memohon, derajat dan tempat tertinggi. Berdasarkan surah al-Isra’ 57 bahwa kata wasilah bersanding dengan konsep keTuhanan,
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
2.      Ketaqwaan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
Makna wasilah pada surat al-Maidah 53 lebih spesifik bersanding dengan konsep ketaqwaan yaitu didalam beribadah dianjurkan untuk mencari jalan(lantaran) untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Analisis Paradigmatik
            Analisis paradigmatik adalah analisis yang mengkomparasikan kata atau konsep tertentu dengan kata atau konsep lain yang mirip (sinonim) atau berlawanan (antonim).[17]
1.      Sinomim kata wasilah
Washala
 وَلَقَدْ وَصَّلْنَا لَهُمُ الْقَوْلَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
                        Washala secara bahasa memiliki arti menyambung, menghubungkan, menggabungkan.[18] Adapun maksud keterkaitan ayat ini dengan wasilah adalah bahwa kata washala memberikan penjelasan tentang tururunnya al-Qur’an secara berturut-turut agar dapat mudah dipelajari oleh umat muslim. (QS al-Qashas 51)

Qurbah
وَمِنَ الْأَعْرَابِ مَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبَاتٍ عِنْدَ اللَّهِ وَصَلَوَاتِ الرَّسُولِ ۚ أَلَا إِنَّهَا قُرْبَةٌ لَهُمْ ۚ سَيُدْخِلُهُمُ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Qurbah secara bahasa berarti perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, Ibadah.[19]. dari ayat diatas dapat diketahui bahwa salahsatu bentuk ibadah dan sarana mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan meninfakkan hartanya dijalan Allah SWT.
Darajah
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (QS.al-Taubah 20).

                        Darajah secara bahasa adalah kedudukan, pangkat, martabat, kelas tingkatan.[20]Ayat ini merupakan seruan Allah untuk berjihad atau berjuang dijalan Allah dengan mengerahkan segala kemampuannya baik material maupun non meterial, oleh karena itu jihad merupakan upaya untuk mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan atau dicita-citakan. Maka dari segala bentuk hijrah, perjuangan dan jihad dengan sungguh-sungguh sesuai dengan koridor Allah SWT niscaya akan mendapat balasan rahmat yang luas  dan akan mendapatkan derajat yang tinggi disisi-Nya.[21]

2.      Antonim kata wasilah
Mani’
وَمَا مَنَعَ النَّاسَ أَنْ يُؤْمِنُوا إِذْ جَاءَهُمُ الْهُدَىٰ وَيَسْتَغْفِرُوا رَبَّهُمْ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلًا

                        Mani’ secara bahasa mencegah, merintangi, menolak.[22]  Bahwa orang-orang kafir ketika  sudah mendapatkan hidayah dari Allah, tidak akan ada suatu hal yang dapat menghalangi orang tersebut untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
                        Khailun
            وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ كَمَا فُعِلَ بِأَشْيَاعِهِمْ مِنْ قَبْلُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا فِي شَكٍّ مُرِيبٍ

                        Khailun secara bahasa berarti menghalangi terbentuk dari fi’il madhinya lafad Khala.[23] Maksud dari ayat ini adalah penyesalan orang-orang kafir selama hidup didunia, mereka mengalami ketakutan luat biasa tatkala dihari akhir, sehingga mereka menginginkan kembali kedunia untuk beriman kepada Allah.

                        Zaajirun
فَالزَّاجِرَاتِ زَجْرًا
dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat).  (QS As-Shaffat 2)

                        Zaajirun secara bahasa berarti mencegah, merintangi.[24] Maksud dari rombongan disini adalah para malaikat ataupun makhluk lain seperti burung.

Dari analisis diatas, beberapa kata seperti washala, qurbah, darajah, memiliki kesamaan substansi dengan kata wasilah bahwasanya ketika kata tersebut merupakan sesuatu yang didalamnya terdapat nilai-nilai ibadah dengan berbagai macam bentuk, seperti berjihad, berjuang, berusaha, menginfakkan hartanya dan lain segalanya, hal terpenting yang perlu digaris bawahi bahwa segala bentuk ibadah diatas merupakan sebagai sarana, cara ataupun metode mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sedangkan antonim dari kata wasilah terdapat beberapa kata diantaranya kata Mani’, Khailun, Zaajirun. Dari ketiga kata tersebut memberikan gambaran bahwa dalam berupaya mendekatkan diri kepada Allah akan terdapat halangan ataupun rintangan yang menyertainya, hal ini sebagai bentuk ujian untuk meningkatkan ketaqwaan kita terhadap Allah.











Berdasarkan dari pemaparan diatas maka dapat digambarkan dengan diagram medan semantik sebagai berikut:
Text Box: Washala
         
Text Box: Darajah
Text Box: Qurbah
Text Box: TUHAN
 



Text Box: Khailun
Text Box: Mani’
Text Box: Zajirun
 








Sinkronik dan Diakronik
Istilah sinkronik diakronik secara sederhana merupakan suatu analisis terhadap kosakata yang titik tekannya terhadap waktu atau sejarah dari kosakata tersebut, Toshihiko Izutsu menyederhanakan dalam analisis semantik historis kosakata ini menjadi tiga periode, yaitu periode pra-Qur’anik, Periode Qur’anik dan Pasca Qur’anik.
            Periode Qur’anik merupakan pembahasan terhadap kosakata yang digunakan sebelum turunya al-Qur’an atau kosakata yang biasa disebut zaman jahiliyyah, analisis terhadap sejarah penggunaan kosakata pra Islam sangat penting guna untuk mengantarakan dalam memahami pada masa Islam (Qur’anik). Salah satu cara untuk melacak pencarian kosakata pra Qur’anik yaitu dengan melacak syair-syair Arab, salah satu contohnya adalah:

إن الصنائع للحياة وسيلةٌ ** فتعاونوا طراً على إحيائها[25]
“Sesungguhnya berhala-berhala dapat menjadi wasilah dalam kehidupan,maka saling tolong-menolong kalian untuk memeliharanya”
            Pada periode pra Qur’anik kata wasilah sudah banyak digunakan pada syair-syair kuno, akan tetapi penisbatan kata wasilah ini kepada berhala-berhala sesembahan mereka sehingga dapat diketahui penggunaan wasilah ini sebagai bentuk permintaan pertolongan kepada selain Allah.
            Pada periode Qur’anik kata wasilah masuk dengan makna cara untuk mendekatkan diri, akan tetapi dapat dipahami penggunaan kata wasilah mempunyai pandangan yang berbeda dengan pandangan dasar masyarakat yang menggunakannya. Praktek mendekatkan diri sebenarnya tidak ada bentuk khusus, akan tetapi praktek mendekatkan diri dapat dilakukan dengan hal apapun selama hal tersebut tidak mengingkari ketauhidan Allah.
            Periode Pasca Qur’anik, periode ini merupakan periode yang sudah banyak diadopsi oleh para pemikir Islam, seperti pendapat Fazlur Rahman bahwa ayat-ayat al-Qur’an turun dalam waktu tertentu dalam sejarah dengan menggunakan suatu ungkapan yang relatif sesuai dengan situasi yang mengelilinginya.[26] oleh karena itu pemahaman mengenai wasilah sudah banyak dilakukan oleh fuqaha’ ataupun mufasiir  salah satunya adalah contoh penafsiran bergaya semantik yaitu penafsiran Abu Hayyan dalam tafsirnya Bahrul Muhith bahwa wasilah adalah mencari, memohon, ta’at, dan derajat. Maka dari itu wasilah merupakan suatu bentuk perintah kepada orang-orang mukmin untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menegakkan ajaran Islam, menjaga syari’at, menjauhi maksiat hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT[27]
Welsthanshaaung
Dari sendikit gambaran penjelasan diatas bahwa semantic tidak semata hanya bertujuan untuk mengetahui makna dasar relasional, ataupun perkembangan pada periode pra-Qur’anik, Qur’anik ataupun Pasca Qur’anik. Yang ditujukan semantika al-Qur’an adalah menjelaskan adanya medan semantic yang salaing tumpang tindih, sehingga perlu adanya eksplorasi sehingga dapat diketahui secara jelas prinsip yang dimaksudkan dalam al-Qur’an tersebut.[28]
            Kata wasilah dapat diimplementasikan dalam kehidupan muslim khususnya dalam tataran ibadah (Ubudiyyah) agar segala hajat dan tujuan kita dapat tersampaikan kepada Allah dalam rangka memperkuat ketaqwaan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pemahaman Wasilah sebagai bentuk kesyirikan perlu ditinjau lebih dalam. Bahwa hakikat konsep yang tertanam dalam wasilah tidak ada sedikitpun memiliki unsur menyekutukan Allah SWT, meskipun secara dhohirnya atau prakteknya seolah-olah melenceng dari ajaran Islam, maka pola pikir suudzon tersebut harus dibenarkan. Oleh karena itu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah tidak larangan dalam bentuk prilaku apapun selama hal tersebut meyakini bahwa Allah sesembahan yang haq dan Allah lah tempat dimana kita meminta pertolongan.
Kesimpulan
Berdasarkan mini riset yang dilakukan penulis bahwa makna wasilah (analisis pendekatan semantik Toshihiko Izutsu) makna wasilah dari kata dasar makna relasional, wasilah memiliki makna yang beragam seperti dekat, memohon, derajat, tempat tertinggi. Dari beberapa makna tersebut tersirat bahwa adanya suatau unsur teologi bahwa wasilah tertuju kepada Allah, karena dari kedua ayat al-Maidah 35 dan al-Isra’ 57 wasilah bersanding dengan kata Allah dan Rabb yang berarti Tuhan. Sedangkan berdasarkan periode pra-Qur’anik dan Qur’anik kata wasilah tidak mengalami perubahan akan tetapi pada periode pasca Qur’anik wasilah  mengalami perkembangan drastis, makna actual dasarnya berarti dekat, memohon dan derajat, wasilah diartikan sebagai salah satu bentuk kemusyrikan ditinjau dari kasus-kasus yang terjadi seperti tahlilan, ziarah kubur dan lain sebagainya, padahal dalam pelaksanaan ritual-ritual tersebut hakikatnya menggunakan konsep wasilah yaitu sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Allah.





[1] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia  dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta: Lkis, 2013) , hlm. 5.
[2] Abdul Mustaqim, Dinamika sejarah tafsir al-qur’an, (Yogyakarta: Adab Press, 2014) Hlm. 101.
[3] Mahmut Syaltut, Aqidah dan Syari’at Islam,  terj Fakhruddin HS, (Jakarta: Bina Aksara, 1990), hlm 11.
[4] Fu’ad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li afadzil al-Qur’an (Daar al-Fikr, Beirut 1992), hlm. 143 dan 372
[5] M.Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007) hlm.1076
[6] Imam jalaluddin as-Syuyuti, al-Itqan Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Beirut, Daar  Fikr: 1951) hlm. 8-9
[7] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, hlm. 81-82
[8] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Tangerang: PT Pustaka Alfabet, 2013), hlm. 94-95.
[9] Imam jalaluddin as-Syuyuti, al-Itqan Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Beirut, Daar  Fikr: 1951) hlm. 189-190.

[10] Imam jalaluddin as-Syuyuti, al-Itqan Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Beirut, Daar  Fikr: 1951) hlm. 98.

[11] Toshihiko Izutsi, Relasi Tuhan dan Manusia, terj Agus Fahri Husein, dkk, (Yogyakarta: PT Wacana Tiara Yogya, 1997), hlm 6.
[12]Ibnu Mandhur, Lisan al-Arabi, (Beirut; Daar Ihya’ Turost al-Arabi, tt), juz 11, hlm. 724.
[13] Raghib al-Isfahani, al-Mu’jam al Mufrodat li gharib li al-Qur’an, (Beirut: Dar al Fikr, tt), hlm 596.
[14] M.Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati,  2007) hlm.1076

[15] Toshihiko Izutsi, Relasi Tuhan dan Manusia, terj Agus Fahri Husein, dkk, (Yogyakarta: PT Wacana Tiara Yogya, 1997), hlm 12-16.
[16] Toshihiko Izutsi, Relasi Tuhan dan Manusia, hlm 4.
[17] Zunaidi Nur, Konsep Jannah dalam al-Qur’an, Aplikasi Semantik Toshihiko Izutsu “skripsi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014. Hlm 64.
[18] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hlm. 1562.

[19] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hlm. 1102.
[20] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hlm. 396.

[21] Departemen Agama RI,  al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta:  Departemen Agama RI, 2006), hlm. 83
[22] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hlm. 1306.

[23] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hlm. 310.

[24] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hlm. 562.

[25] Abi Tamam al-Tha’I, Diwan abi Tamam, Maktabah syamilah
[26] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsri al-Qur’an, hlm 1
[27] Abu Hayyan Muhammad Bin Yusuf, Bahrul Muhith, (Beirut: Daar al-Fikr, 2004), hlm. 486
[28] Toshihiko Izutsi, Relasi Tuhan dan Manusia, hlm. 16-20.

3 komentar: