AGAMA YAHUDI
A. Pengertian
Yahudi
Yahudi adalah suatu bangsa yang biasa dikenal dengan Israil atau
bangsa Ibrani (Hebrew)[1].
Berdasarkana etnisitas, kata Yahudi merujuk kepada suku bangsa yang berasal
dari keturunan Eber yang disebut ‘Ibrani’ atau Ya’kub yang berarti “pejuang
untuk Tuhan” atau “yang berbakti kepada Allah”. Didalam Al Qur’an, mereka
sering disebut dengan Bani Israil (keturunan Ismail).
Kata Yahudi diambil menurut salah satu marga dari dua belas leluhur
suku Israel yang paling banyak keturunannya, yakni Yehuda. Kedua belas suku
Yahudi itu adalah anak-anak Ya’kub, yaitu Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Isakhar,
Zebulon, Dan, Naftali, Gad, Asyer, Yusuf, dan Benyamin. Karena itu, nama Yahudi
diambil dari keturunan Yakub[2].
B. Sejarah dan
Perkembangan Agama Yahudi
Kisah bani Israil atau bangsa Israil atau juga dikenal dengan
bangsa Ibrani merupakan kisah dari agama Yahudi sendiri, Judaism. Maka,
ketika membicarakan tentang sejarah agama Yahudi, juga sama halnya membicarakan
tentang sejarah bani Israil. Keduanya sulit dipisahkan, karena Yahudi sebagai
agama hanya didukung mutlak oleh bani Israil itu sendiri[3].
Berkenaan dengan sejarah agama Yahudi, dalam perjalanan sejarahnya
meliputi beberapa periodesasi, antara lain :
a.
Periode
I : Agama Para Leluhur
Para leluhur yang dimaksud dalam periode ini adalah sekelompok
tokoh-tokoh yang mendahului Musa A.S. dalam tradisi kuno. Diantara para leluhur
yang paling terkenal secara mutlak adalah Ibrahim, Ishaq, Ya’kub, dan anak-anak
Ya’qub yang merupakan asal-usul suku-suku Bani Israel.
Sosok sentral pada masa para leluhur adalah sosok Ibrahim yang
dikaitkan kepadanya masa sebuah agama tersendiri yang menjadi permulaan sejarah
dan agama Israel Kuno[4]. Dalam
Taurat, Ibrahim dikenal menjadi nenek moyang bagi mayoritas bangsa yang disebut
sebagai Tuhan yang disembah oleh para leluhur.
Ibrahim juga dikenal atau disebut dengan nama Yahweh, penamaan
Yahweh adalah penamaan yang datang belakangan. Karakteristik pada periode ini
adalah bahwa agama para leluhur bangsa Ibrani pada awalnya merupakan agama
sederhana yang didominasi karakter nomaden. Agama pada masa ini tidak
mengandung agama yang integral, dan konsep keberagamaan satu-satunya yang
berperan selama periode ini adalah konsep tauhid. Namun tauhid tersebut tidak
dimulai dengan tauhid murni, melainkan tauhid yang mencari jalannya
ditengah-tengah sistem Multi-Tuhan yang diyakini bahwa orang-orang Ibrani purba
telah menyembah-Nya sampai para leluhur tersebut fokus menyembah Yahweh yang
hanya dikenal namanya pada masa Musa.
b.
Periode
II : Agama Musa ‘Alaihissalam
Agama Musa merupakan periode kedua dari periode-periode
perkembangan agama yahudi sebagai akidah dan syariat, yaitu periode yang dianggap sebagai fase terpenting
dalam agama Yahudi dimana berlangsung penyandaran wahyu yang tertulis sebagai
sumber utama bagi akidah dan syariat.
Permulaan agama Musa dikaitkan dengan keberadaan bangsa Ibrani di
semenanjung Sinai, yaitu sebuah kawasan padang pasir yang membentuk agama Musa
dengan beberapa sifat nomaden padang pasirnya. Sekaligus merupakan permulaan
perubahan sosial, ekonomi dan agama dalam kehidupan orang-orang Ibrani dan
adanya perpaduan peradaban bangsa Kan’an.
Pada masa agama Musa sudah berlangsung keyakinan tauhid. Akan
tetapi dalam Taurat, ketauhidan ini adalah ketauhidan yang khusus bagi
orang-orang Israel. Karena terdapat isyarat-isyarat bahwa adanya tuhan-tuhan
lain bagi kaum-kaum yang lain selain orang-orang Israel.
Kemudian para masa ini juga untuk pertama kalinya berlangsung
penetapan karakter khusus bagi sifat tuhan[5].
Diantara unsur-unsur terpentingnya adalah bahwa tuhan tidak mungkin dapat
diilustrasikan atau dijelmakan dalam rupa apapun atau dalam bentuk apapun
sebagaimana yang dilakukan para penganut paganisme terhadap tuhan-tuhan mereka.
Hal ini terdapat pada perintah kedua dari perintah kesepuluh yang menyebutkan :
“janganlah kau buat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada dilangit
atas, atau yang ada di bumi dibawah, atau yang ada didalamair di bawah bumi.”
Dia adalah tuhan non-physical yang tidak terkait kepada alam. Akan
tetapi bersifat metafisika, karena dia penciptanya. Selain itu juga terdapat
satu sifat penting dan asasi, yaitu sifat akhlak Tuhan yang tidak diketahui
atau tidak dikenal para periode sebelumnya. Sifat akhlak ini terlihat dalam
sekumpulan perintah-perintah moral yang mengiringi langsung sekumpulan
perintah-perintah doktrinal.
Oleh karena itu, periode Musa dianggap sebagai periode terpenting
dari periode-periode perkembangan agama Yahudi. Yang mana, periode ini telah
memberikan agama Yahudi pilar-pilar dan dasar-dasar utamanya pada level akidah
dan hukum serta level ibadah. Pilar-pilar ini bersandar pada wahyu Tuhan
sebagai sumber asasi bagi akidah dan syar’i. Pada saat itu jelaslah tanda-tanda
keagamaan dan tersusun dalam struktur keagamaan moralitas yang barangkali untuk
pertama kali untuk pertama kalinya dalam sejarah Yahudi.
c.
Periode
III: Perkembangan Agama Yahudi dari Sesudah Masa Musa Sampai Terbaginya
Kerajaan Israel
Meskipun pada periode agama Musa telah terstruktur moralitas dalam
keberagamaannya, namun pada masa ini ada doktrin-doktrin dan konsep-konsep
keagamaan yang baru yang ditambahkan setelah periode agama Musa sebagai akibat
dari interaksi orang-orang Israel dengan
beberapa bangsa asing dikawasan Timur dekat kuno.
Orang-orang Kan’an yang menjadi bangsa pertama yang berinteraksi
dengan orang-orang Israel setelah mereka keluar dari Mesir dan bermukim di
Kan’an. Bangsa Kan’an tidak membawa pengaruh positif bagi bangsa Israel, tetapi
membawa pengaruh-pengaruh negatif seperti memasukkan didalamnya
unsur-unsur paganisme. Selain itu juga
mengubah gaya hidup bangsa Israel yang nomaden manjadi sistem kerajaan.
Meskipun pada akhirnya pengaruh keberagamaan bangsa Kan’an adalah pada
pemahaman karakter yahweh dengan
tuhan-tuhan Kan’an dan pada level uitual serta ibadah.
Kemudian interaksi bangsa Israel dengan kaum yang lain adalah
dengan peradaban negeri-negeri diantara dua sungai (Messopotamia) yang
dicatatkan sejarahnya dari sejak pecahnya kerajaan dan jatuhnya kerajaan
sebelah utara Palestina yang dinamakan Israel dibawah kekuasaan bangsa Asyur
pada tahun 721 SM. Kemudian wilayah tersebut jatuh keseluruhannya kebawah
kekuasaan bangsa Babel pada tahun 586 SM sampai ke awal masa persia pada tahun
538 SM yang dianggap persis sebagai perpanjangan dari segi pengaruh agama masa
Asyur dan Babel.
d.
Periode
IV: Agama Yahudi Fase Penawanan dan Fase Kenabian Klasik
Peristiwa-peristiwa politik yang mengiringi perpecahan kerajaan
Daud dan Sulaiman Alaihissalam berakhir dengan runtuhnya kerajaan utara
ditangan bangsa Asyur pada tahun 721 SM dan runtuhnya kerajaan selatan ditangan
bangsa Babel pada tahun 586 SM. Selama periode degradasi politik dan agama ini
mulailah muncul sebuah faktor baru penting yang memiliki pengaruh besar dalam
perkembangan bangsa Yahudi. Faktor ini
merupakan awal munculnya kenabian dengan persepsi Yahudi dan berkembangnya
kenabian sampai menjadi fenomena keagamaan yang asasi selama fase penawanan bangsa Asyur dan Babel.
Oleh karena itu pada fase ini dinamakan masa kenabian klasik, untuk
membedakannya dari masa keagamaan sebelum dan sesudahnya.
Kenabian Israel merupakan fenomena sejarah. Dimana fenomena ini
merupakan respon agama atau reaksi agama terhadap peristiwa-peristiwa politik
yang mulai terjadi sesudah terpecahnya kerajaan
dan dampak yang diakibatkan perpecahan ini. Pada level keagamaan, para
Nabi-nabi menaruh perhatian terhadap agama Musa Alaihissalam dan mereka
menganggapnya sebagai fase keagamaan teladan dalam sejarah agama dan mereka
menuntut kembali kepadanya dan meneladani konsep-konsep keagamaan yang asasi.
Namun kembalinya dalam meneladani agama Musa yang dianggap ideal para nabi-nabi
tidak hanya berhenti pada batas kondisi keagamaan dahulu, tetapi mereka justru
menambahkan dan mengembangkan agama Yahudi dan memasukkan didalamnya banyak
doktrin-doktrin baru yang tidak pernah ada sebelumnya. Diantara doktrin
terpentingnya adalah doktrin kebangkitan, pahala, siksa, dan al Masih sang juru
selamat[6].
e.
Periode
V : Agama Yahudi Masa Yunani dan Talmud
-
Masa
Yunani
Setelah agama Yahudi keluar dari masa penawanan dan masa Persia
sebagai agama yang hampir sempurna semua doktrin-doktrin dan
syariat-syariatnya. Selama dua periode dengan segala pengaruhnya baik dari para
nabi-nabi, pengaruh lingkungan Babel dan Persia, selesailah pengadopsian
sekumpulan doktrin yang telah disebutkan sebelumnya sekaligus yang
menyempurnakan doktrin-doktrin yang diwarisis dari masa Musa Alaihissalam.
Kemudian penyelesaian tentang penulisan Taurat beserta verifikasi
syariat yang termuat didalamnya. Adapun pada masa Persia (538-332 SM) adalah
masa stabil bagi agama yahudi sebagai doktrin dan syariat. Kestabilan ini
semakin sempurna dengan semakin membaiknya situasi politik orang Yahudi pada masa
Persia setelah mereka diizinkan kembali ke Palestina dan berakhirnya penawanan
bangsa Babel, dibangunnya kembali Haikal, kembalinya lagi kehidupan agama
kepadanya, dan kembalinya Yerussalem menjadi pusat keagamaan bagi kehidupan
orang yahudi.
Berakhirnya masa Persia yang disudahi oleh penaklukan-penaklukan
Alexander The Great ke timur,
dimulailah babak baru yang sama sekali berbeda pada periode sebelumnya. Agama
yahudi lebih maju pada level keagamaan dari pada agama-agama lain, agama yahudi
mampu melawan pemikiran-pemikiran keagamaan seperti Kan’an, Mesir, Asyur,
Babel, dan Persia. Namun dihadapan serangan pemikiran-pemikiran Yunani, agama
Yahudi berdiri lemah.
Yunani yang membawa pemikiran berdasarkan logika menyaingi
pemikiran Yahudi yang menggunakan wahyu sebagai sumber pengetahuan. Dari sini
Yahudi dengan sendiri terpecah menjadi tiga bagian, dua diantaranya adalah yang
menolak dan menerima pemikiran Yunani, adapun yang ketiga adalah yang memadukan
pemikiran Yahudi dan Yunani sendiri.
Golongan yang ketiga memberi pengaruh yang mana terlihat pada
beberapa kitab perjanjian lama, khususnya kitab jami’ah yang didominasi
kecenderungan logika pesimistis yang tidak sesuai dengan pandangan keagamaan
yang umum dari perjanjian lama. Namun penggunakan pemikiran Yunani dalam agama
yahudi bertujuan untuk menjelaskan ajaran-ajaran agama yahudi dengan penjelasan
falsafi dan untuk mendapatkan dalil-dalil yang meyakinkan atas konsep-konsep
doktrin agama yahudi[7].
-
Masa
Talmud
Periode ini berlangsung sejak dari abad-abad terakhir sebelum
masehi (abad III SM) sampai khir abad V Masehi. Pada periode ini agama Yahudi lebih dikenal dengan agama Yahudi
Talmud, yaitu agama Yahudi yang berkembang di Palestina dan Babel. Talmud
dianggap penting karena ia sebuah catatan gagasan hukum-hukum agama yang
mengatur kehidupan orang Yahudi.
Melalui talmud, dimensi-dimensi syiar dan gagasan hukum tetap hidup
sampai abad XVIII M. Sebagai bandingan perhatian terhadap dimensi-dimensi
ibadah berupa ritual-ritual, syiar-syiar, momen-momen keagamaan dan hukum
tasyri’, maka Talmud tidak menaruh perhatian terhadap gagasan doktrin-doktrin
dan konsep keagamaaan tentang istilah doktrinitas yang permanen dan terbatas.
Oleh karena itu, Talmud tidak menyuguhkan struktur keagamaan
theologis yang sistematis dan logis bagi doktrin-doktrin, kendati adanya
beberapa kontemplasi theologis yang berserakan.
Dan dapat dikatakan pendukung Talmud tidak mampu sampai kepada kandungan
yang jelas dari agama melalui gagasan theologis doktrinis bagi kandungan ini.
f.
Periode
VI: Agama Yahudi Masa Kristen dan Islam
-
Agama
Yahudi pada Masa Kristen
Hubungan antara agama Yahudi dan Kristen adalah hubungan yang
menegangkan sejak awal, kendati terdapat dasar-dasar historis dan religius yang
mengikat keduanya. Dimana Isa Alaihissalam pada dasarnya adalah salah satu dari
nabi-nabi bani Israel, bahawa agama Kristen mengakui kandungan agama yahudi dan
mengetahui kitab-kitab agama Yahudi, serta menggabungkan kitab perjanjian lama
dengan perjanjian baru dalam satu kitab yaitu bibel.
Kendati hubungan historis dan religius ini, namun situasi dan
kondisi tidak mentolelir keberlangsungan hubungan ini. Maka dari itu terjadilah
indenpendasi keagamaaan diantara agama yahudi dan kristen yang baru tumbuh.
Perbedaan esensial diantara keduanya adalah perbedaan doktrinitas seputar sosok
al Masih.kaum Yahudi menolak bahwa Isa adalah Mesias sang juru selamat yang
termaktub dalam kitab-kitab-kitab mereka.
-
Agama
Yahudi pada Masa Islam
Pada saaat agama Yahudi dan Kristen mengalami ketegangan ada
abad-abad pertama Masehi, justru Hubungan Yahudi dan Islam adalah hubungan yang
baik sejak awal, kecuali pada periode dimana konflik antara kaun Yahudi dan
kaum Muslimin, khususnya di Madinah al Munawarah. Penyebab konflik disini bukanlah bersifat
agama, tetapi bersifat politik.
Islam sejak awal memberikan kebebasan beragama kepada kaum yahudi
dan tidak memaksa mereka untuk Islam dengan cara paksa dan tanpa keyakinan
sendiri. Begitu masalah politik selesai, kaum Yahudi pun mulai tertata dan
stabil didalam masyarakat Islam yang menjamin secara keagamaan dan hukum.
Dibawah bayang-bayang toleransi agama ini, mulailah kaum yahudi
mempelajari dan mengkaji kritikan Islam terhadap agama Yahudi, khususnya
kritikan Al Quran terhadapnya. Mereka berusaha memperbaiki Yahudi dan reaksi
ini yang mengakibatkan kaum Yahudi terpecah menjadi dua kelompok keagamaan yang
besar. Kelompok Rabi dan kelompok Karaite. Kelompok Karaite lebih mendukng
kritikan Islam dan membangun doktrinya berdasarkan asas-asas yang yang
menentang para Rabi dan terpengaruh dalam pemikiran Islam.
Dalam hal iini kritikan Islam terhadap agama Yahudi memiliki
pengaruh dalam perkembangan agama Yahudi, khususnya hal-hal yang terkait dengan
upaya-upaya meletakkan agama Yahudi kedalam struktur keagamaan yang integral. Kaum Yahudi dunia
terpana dengan keberhasilan kaum Muslimin.
Al Qur’an berisi struktur yang jelas dan langsung bagi akidah Islam
dan syariat Islam sehingga para ulama mudah menggali dan menjelaskan dalam
kitab-kitab induk akidah dan syarita sejak awal islam. Berbeda dengan kitab
suci mereka yang hampa dari struktur doktrinitas agama dan susunan syariat yag
jelas. Oleh karenanya, mereka bergerak mengkji kitab-kitab suci mereka dengan kajian
yang baru dengan tujuan untuk sampai pada tatanan keagamaan pada bidang akidah
dan syariat. Adapun panduan mereka adalah Al Qur’an al Karim dan kitab-kitab
induk akidah syariat.
Demikianlah akhirnya kaum Yahudi dan dengan berkat jasa kaum
Muslimin serta dunia Islam berhasil membangun struktur umum bagi agama Yahudi,
yang terpengaruh dengan struktur agama Islam yang dibangun berdasarkan asas
dari Al Qur’an dan Sunnah an Nabawiyyah[8].
C. Ajaran Agama
Yahudi
Inti
ajaran agama Yahudi terkenal dengan “sepuluh Firman Tuhan” atau Ten
Commandments atau Decalogue,(Grik, deca=10, logue=risalah). Kesepuluh perintah
Tuhan tersebut diterima oleh Nabi Musa di bukit Sinai (Tur Sina), ketika
terjadi dialog langsung antaraa Musa dan Tuhan. Firman Tuhan tersebut oleh Musa
langsung ditulis di atas sobekan kulit-kulit binatang atau di batu. Demikianlah
menurut Louis Finkestein, editor buku The Jews, Treir Relligion and Cullture.[9] Sepuluh firman Tuhan atau wasiat sepuluh terssebut
adalah:
1. Saya
adalah Tuhanmu yang kamu sembah, yang telah membawa kamu ke luar dari tanah
Mesir, keluar dari rumah belenggu, kau tidak mempunyai Tuhan lain kecuali Aku.
2. Kamu
tidak boleh membuat persamaan atau menyatakan segala sesuatu yang ada di langit
sebelah atas, atau di atas bumi, atau apa-apa yang ada di dalam air, di bawah
bumi, dengan Tuhanmu
3. Kamu
tidak boleh menyia-nyiakan nama Tuhanmu (menyebut Tuhanmu dengan sia-sia).
4. Ingatlah
hari Sabbath, untuk disucikannya.
5. Hormatilah
ayah dan ibumu.
6. Kamu
dilarang membunuh.
7. Kamu
dilarang mencuri.
8. Kamu
dilarang bersaksi palsu.
9. Kamu
dilarang berbuat zina
10. Kamu dilarang
bernafsu loba-tamak terhadap milik orang lain.
Sepuluh firman tersebut ternyata mengandung
aspek-aspek aqidah, ibadah, syariah, hukum dan etika.
1). Ajaran tentang Tuhan
Agama
Yahudi percaya kepada Tuhan Yang Esa, tetapi Tuhan yang hanya khusus untuk Bani
Isra’il, bukan Tuhan untuk bangsa lain. Mereka tidak pernah menyebut nama
Tuhannya dengan langsung karena mungkin akan mengurangi kesucian-Nya. Olrh
sebab itu oarng Israel melambangkan-Nya dengan huruf mati YHWH, tanpa bunyi.
Lambang ini bisa dibaca YaHWeh atau Ye-Ho-We atau YeHoVah.
Menurut
Harun Nasution, dalam bukunya Filsafat Agama, menyatakan bahwa ajaran keesaan
Tuhan menurut Yahudi adalah hasil perkembangan dari kepercayaan yang henoteis
menuju kepercayaan yang mengakui keesaan Tuhan[10]
Sewaktu
masyarakat Yahudi masih dalam tingkatan animisme,roh-roh nenek moyang mereka
disembah yang kemudian dalam tingkatan politeisme menjadi dewa. Kata hebrew
yang dipakai untuk Tuhan pada mulanya ialah jamak daripada kata eloh atau elohim. Tiap kabilah mereka mempunyai eloh sendiri. Kemudian tiba
suatu masa ketika salah satu elohim ini, yaitu Yehovah, yang kemudian menjadi
eloh dari bukit Sinai, menjadi eloh yang tunggal bagi masyarakat Yahudi.
Eloh-eloh lain tidak diakui lagi. Yehovah kemudian menjadi Tuhan nasional
Yahudi, tetapi belum menjadi Tuhan seluruh alam.
Walaupun
firman kedua dari sepuluh Firman Tuhan, mengandung pengertian bahwa Tuhan
bangsa Yahudi itu tidak dibatasi atau dikurangi, atau disifati, tetapi
kitab-kitab Taurat tetap mensifati Tuhan dalam satu gambaran yang betul-betul
menyerupai sifat-sifat manusia, atau antropomorfisme, seperti Tuhan mempunyai
bibir, mempunyai lidah, berkata-kata, mempunyai tangan dan sebagainya. Atau
sering juga Tuhan disifati dengan penafsiran “antropopatisme”, yaitu menyamakan
perasaan Tuhan dengan berbagai perasaan manusia, seperti Tuhan membenci,
menertawakan kesibukan manusia, berdiam diri, ,erintih, marah, mengasihi,
menyesal,dan sebagainya.
2). Peribatan dalam Agama
Yahudi
a.
Sembahyang yahudi
Umat yahudi melakukan sembahyang 3 jam sehari, yaitu
jam 9,11,dan jam 3. Dalam kitab tarmut mengatur masalah sembahyang yang 3 kali
sehari itu dengan lebih terperinci. Ditetapkan agar orang yahudi melaksanakan
sembahyang 3 kali sehari semalam, yaitu sembahyang pagi, sembahyang siang dan
semmbahyang malam. Sembahyang pagi dilaksanakan mulai terbit fajar sampai
sepertiga panjang siang hari, kira-kira jam 10. Sembahyang siang dimulai sesaat
setelah matahri condong kebarat sampai matahari terbenam, dan sembahyang malam
mulai malam tiba sampai terbit fajar
Yang terpenting dalam setiap sembahyang ialah apa
yang disebut dengan tefillah, atau menurut Talmud, anidah yaitu tegak berdiri
mengawali sembahyang dengan mengucapkan salawat sebanyak 19 kali, 3 kali
pertama memuji kekuasaan tuhan, kemahaperkasaannya dan kesuciannya; 3 kali yang
terakhir sebagai ucapan terima kasih ats rahmatnya yang tidak putus-putus, doa
penutup untuk keselamatan dan kedamaian;sedang 13 lainnya ditengah-tengah dan
merupakan permohonan untuk segala keperluan.
b.
Puasa Yahudi
Umat yahudi melakukan puasa biasanya pada waktu
mereka berkabung atau duka cita dan kemalangan.
Tujuan puasa bagi mereka adalah untuk menghapus dosa
dan mensucikan diri, disamping untuk menyatakan rasa keprihatinan atau duka
cita. Ada 4 hari penting yang diperingati dengan berpuasa oleh umat yahudi,
yaitu hari permulaan kota yerusalem dikepung, hari kota yerusalem jatuh ketanah
Nebukadnezar, hari kanishah dihancurkan dan hari Gedaliah dibunuh orang.
Puasa orang yahudi berlangsung sejak waktu fajar
menyingsing hingga kelihatan 3 buah bintang yang pertama terbit pada senja hari
yang bersangkutan.
c.
Korban dalam Agama Yahudi
Korban yang ditradisikan oleh umat yahudi itu dapat
dibagi menjadi 3 macam yaitu: korban perdamaian, korban pemujaan dan
lain-lain.Korban perdamain adalah korban yang dilaksanakan untuk memohon
perdamaian dengan tuhan bagi dosa-dosa yang diperbuat tanpa sengaja. Korban
terdiri dari korban penghapusan dosa dan korban penebusan dosa. Korban
pemujaaan terdiri dari korban bakar, korban keselamatan dan korban sesaji.
Korban lain-lain terdiri dari korban perjanjian, korban pelantikan umum, korban
cemburuan dan korban pembunuhan
3). Hari-Hari Suci Yahudi
a)
Hari Paaskah, yaitu hari raya yang dipestakan untuk merayakan pembebasan
orang-orang Israel dari perbudakan di Mesir.
b)
Hari Pantekosta, yaitu hari kelimapuluh. Hari iini merupakan hari pesta
yang penting yaitu pesta pascca panen.
c)
Hari Perdamaian Besar, yaitu hari kelimapuluh bulan ketujuh, menurut
penanggalan Yahudi. Hari ini disebut juga sebagai hari penghentian penuh. Pada
harii ini semua oarng harus berpuasa, dan berkorban harus dilakukan untuk
menghapus dosa.
d)
Hari Raya Pondok Daun atau hari raya pengumpulan hasil, yang dirayakan
pada tanggal 15-22 bulan ketujuh kalender Yahudi. Selam apekan perayaan ini,
setiap hari dilakukan korban-korban
khusus. Waktu itu panen sudah selesai. Orang-orang Yahudi diam di pondok-pondok
yang terbuat dari daun dan dahan tumbuh-tumbuhan. Di sanalah mereka makan
minum.
e)
Hari Penebusan Dosa. Hari ini bernilai rohaniah bagi umat Yahudi,
sehingga dianggap sebagai hari yang sangat penting dan paling mereka
keramatkan. Hari ini jatuh pada sekitar akhir bulan keenam dan awal bulan
ketujuh kalender mereka.
f)
Hari bulan Baru. Orang yahudi selalu merayakan dan mensucikan hari
ppertama tiap-tiap bulan baru, yag dirayakan dengan korban dan perjamuan makan bersama.
7.
Tahun Sabbath. Menurut kepercayaan umat
Yahudi, selama Tahun yang ketujuh, tanah tidak boleh dikerjakan atau ditanami.
Semua orang harus beristirahat.
4)
Kitab Suci Agama Yahudi
Orang-orang
Yahudi menamakan Kitab Suci mereka TeNaKh dan terdiri dari tiga bagian, yaitu
Hukum atau Taurat, Nabi-Nabi atau Nevi’im, dan Sastra atau Ketuvim[11].
a.
Taurat
Taurat
artinya “hukum” atau “pengajaran” dan menunjuk pada keseluruhan apa yang
diketahui tentang Allah dan hubunganNya dengan dunia ciptaanNya. Dalam
pengertian yang lebih sempit, Taurat menunjuk pada lima kitab Musa : Kejadian,
Keluaran, Imamat, Bilangan, dan ulangan, yang terletak di permulaan kitab
suci. Bersamaan dengan hari Sabat,
Taurat dirayakan sebagai pemberian Tuhan terbesar kepada orang-orang Yahudi.
Bagian
penting ibadat umat Yahudi adalah pembacaan dengan suara keras sejumlah ayat
dari Taurat. Di sinagoga, bacaan dari gulungan Kitab Taurat, atau Sefer Torah,
dibacakan pada hari Sabat pagi dan sore, perayaan keagamaan pagi, dan pada pagi
hari Senin dan Selasa pagi. Sebagai penghormatan besar, kitab Taurat hanya
boleh dibuka oleh laki-laki, demikian dalam tradisi ortodoks, dan untuk
dibacakan di depan umat. Orang yang dipilih untuk membaca Kitab Suci dalam
bahasa Ibrani harus menggunakan yud-alat petunjuk yang dipegang.[12]
b.
Para Nabi
Dalam
tradisi Yahudi ada delapan kitab yang diberi nama menurut nama para nabi. Empat
kitab yang pertama, Yoshua, Hakim-Hakim, Samuel I dan II, serta Raja-raja I dan
II, biasanya mengacu pada para Nabi Terdahulu
dan kitab-kitab sejarah. Keempat Kitab
yang lain mengacu pada para Nabi-Nabi Terakhir: Yesaya, Yeremia, Yahezkiel dan
12 Nabi-Nabi kecil yang dianggap satu
kitab. Sebagian besar isi dari kitab dari Nabi-Nabi Terahkir merupakan kumpulan
khotbah yang disampaikan oleh para Nab, yang nama-namanya menjadi nama
kitab-kitab itu, yang semuanya dikumpulkan oleh para murid mereka. Bacaan
terpilih dari kitab para nabi dibacakaan di sinagoga pada hari-hari Sabat,
perayaaan-perayaan keagamaan, dan hari-hari puasa.[13]
c.
Sastra
Sastra,
bagian ketiga TeNaKh, diangggap kurang bernillai daripada dua jenis kitab yang
lain, walaupun kitab itu memang berisi Mazmur, yang secara teratur
digunakan dalam ibadat di sinagoga.
Bacaan dari Sastra ini sering diberikan di sinagoga pada hari-hari
perayaan. [14]
D. Yahudi dalam
Perspektif Islam
Fenomena dewasa ini kerap terjadi disinggung bahwa Yahudi adalah
simbol kebencian bagi kebanyakan Muslim. Sudah sangat sering orang-orang Islam
mengungkapkan kata “Yahudi” untuk melemparkan suatu kutukan atau penghinaan
terhadap seseorang atau suatu kelompok. Yahudi berarti jahat, licik,
menjijikkan, bahkan dianggap sebagai sebuah istilah yang padanya melekat segala
keburukan dan kejahatan.[15]
Pikiran kaum Muslim dipenuhi oleh bayangan kejahatan eternal Yahudi
yang dimulai sejak bangsa tersebut mengenal Nabi Muhammad dan Islam sampai hari
ini dan bahkan dari zaman Nabi Musa sampai hari kiamat. Segala kebijakan
politik internasional dan segala pikiran modern, mulai dari liberalism,
humanism, demokrasi, kapitalisme, mode, iklan, sampai perang dan terorisme,
tidak terlepas dari lobi internasional Yahudi dan kepentingan politik mereka.
“Yahudi memang terkutu”. Mereka harus dimusnahkan dari bumi ini.[16]
Jika diusut jauh ke belakang, semua ini ternyata berawal dari
sebuah perselisihan di kota kecil bernama Yatsrib. Orang-orang Yahudi
menyebutnya dengan Medinta, dari
bahasa Aramai artinya “kota”. Nabi Muhammad kemudian mengadopsinya sebagai
“Madinah”. Hubungan Nabi dengan orang-orang Yahudi awalnya amat baik, bahkan
mereka, bagi Nabi, adalah kelompok potensial untuk mendukung dakwahnya. Mereka
adalah orang-orang yang memiliki Kitab dan tradisi keagamaan yang diwarisi dari
nabi-nabi sebelumnya. Q.S. Al-Baqarah: 41 menjelaskan:
Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an)
yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang
yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan
harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.
Beberapa tradisi Yahudi bahkan diadopsi oleh Nabi ke dalam Islam,
seperti puasa hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram) dan sembahyang menghadap Bayt
al-Maqdis (Yerusalem), dalam rangka menarik mereka kepada Islam atau, mungkin,
karena Nabi menganggapnya sebagai bagian tradisi yang patut dilestarikan.[17]
Sejarah mengungkap sebagaimana dikutip oleh al-Buti (1990)
meriwayatkan tentang terjadinya pertikaian orang-orang Muslim Madinah dengan
Yahudi Bani Qaynuqa’. Diceritakan bahwa seorang Muslimah pergi ke pasar bani
Qaynuqa’ dijahili oleh orang-orang Yahudi hingga berakibat auratnya terbuka.
Tiba-tiba seorang Muslim segera melompat dan membunuh Yahudi yang membuka aurat
perempuan tersebut. Orang-orang Yahudi pun tidak tinggal diam; mereka membunuh
Muslim tadi. Akibat kejadian itu, terjadilah pertikaian hebat antara mereka dan
Bani Qaynuqa’, sehingga Nabi melancarkan serangan terhadap kelompok Yahudi
tersebut, dan diusir dari Madinah.
Al-Qur’an menyebut orang Yahudi dengan kata-kata bervariasi.
Kadang-kadang al-Qur’an langsung menggunakan kata benda, yaitu al-yahud(orang-orang
Yahudi; kata tunggalnya adalah al-yahudi). Tetapi kadang-kadang yang
digunakan adalah penggabungan dengan kata kerja yaitu “hadu”(jadi,
artinya: orang-orang yang menganut agama Yahudi). Di samping itu terdapat juga
kata yahuudiyyan (a Jew, seroang yahudi; bentuk nakirah dari al-yahudi).
Dan kata hudaan (jamak dari ha’id penganut agama Yahudi).[18]
Istilah lain yang dipakai al-Qur’an untuk umat Yahudi adalah Ahl
al-Kitab. Frase ini telah digunakan oleh orang-orang Arab sebelum Islam
untuk merujuk kepada mereka yang memiliki tradisi keagamaan yang bersumber dari
al-Kitab, khususnya Yahudi dan Nasrani. Dalam kenyataannya, istilah Ahl
al-Kitab lebih banyak merujuk kepada kaum Yahudi. Secara genetik, Yahudi
disebut Bani Isra’il atau sekarang dikenal dengan bansa Israel. Lebih
empat puluh kali istilah ii disebutkan dalam al-Qur’an dalam konteks
berbeda-beda. Isra’il adalah gelar yang dianugerahkan Tuhan kepada Nabi
Ya’kub. Maka, karena bangsa Yahudi adalah anak keturunannya, mereka disebut
Bani Israil.[19]
Kisah bani Israil, jika dirujuk pada konsep dasar dan tujuanbya,
dimulai dari Ibrahim (Hebrew Avraham,
Inggris Abraham) ketika ia
meninggalkan ‘Ur di Babilonia untuk mengembara mencari kebenaran dan kedamaian.
Nabi Ibrahim disebutkan dalam al-Qur’an sebagai “Bapak” orang-orang Yahudi dan
juga Muslim, ajarannya berpusat di Yerusalem dan Hijaz. Dalam perspektif
al-Qur’an, Ibrahim adalah seorang yang tulus da setia pada ajaran Tauhid yang
lurus, seorang nabi dan hamba pilihan. Ibrahim juga pernah berpikir tentang
Tuhan melalui jalan refleksi alam semesta dan pernah mempertanyakan persoalan
kebangkitan kepada Tuhan.[20]
Dalam al-Qur’an, sejarah Yahudi atau Bani Israil dalam bentuk agak
lebih rinci, dimulai dari Nabi Yakub dan anak-anaknya yang kemudian dari Kanaan
bermigrasi ke Mesir. Ini dikisahkan secara lengkap dalam Q.S. Yusuf.[21]
Kehidupan Bani Israil di Mesir melewati banyak penindasan berupa perbudakan
oleh Fir’aun yang kemudian Musa menjadi penyelamat serta pemimpin Bani Israil.[22] Namun
Bani Israil setelah bebas dari perbudakan Fir’aun menjadi kelompok masyarakat
yang tidak disiplin, pembangkang dan tidak berterimakasih dalam Q.S. Al-Maidah:
20-26.[23]
Al-Qur’an memberikan gambaran tentang pandangan keagamaan umat Yahudi
dalam empat aspek, yaitu:
a)
Monoteisme
Monoteisme adalah keyakinan akan satu Tuhan, pencipta dan
pemelihara semesta ini.yahudi dan Islam termasuk agama monoteis yang ketat.
Kedua agama ini sangat sensitif mengenai penggambaran Tuhan dan asosiasi Tuhan
dengan sesuatu yang lain. Terbukti dengan adanya Shema, yang telah menjadi syahadat kesaksian umat Yahudi dibaca
pagi dan petang.[24]
Al-Qur’an mengutip ayat tentang seruan nabi Musa untuk tetap bertawakkal, dan
bani Israil menyambutnya dengan baik dalam Q.S. Yunus: 84-86.[25]
b)
Perjanjian
dengan Tuhan
Al-Qur’an mengenal perjanjian Bani Israil dengan Tuhan sebagai
perjanjian yang absah dan memiliki kekuatan dan makna religious yang mendalam.
Al-Qur’an hanya mengkritik orang-orang Yahudi yang dianggap justru telah
mengabaikan perjanjian tersebut. Janji tersebut berupa fitrah manusia yang dibawa ke dunia ini. Manusia harus menepati
janjinya kepada Tuhan dengan berbagai kesulitan dan masalah.[26]
c)
Siapa
Umat Pilihan
Al-Qut’an mengekspresikan umat
pengikut Musa, yakni Bani Israil sebagai umat pilihan dalam Q.S. Al-Baqarah: 47
dan 122[27]
Wahai Bani Israil, ingatlah akan
nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya
Aku telah melebihkan kamu (faddaltukum) atas segala umat.
Pengekspresian oleh Al-Qur’an
tersebut menimbulkan perbincangan apakah benar umat pilihan adalah umat Yahudi
(Bani Israil) atau umat Islam. Kebanyakan mufassir melihat ayat tersebut
penilaian tersebut bersifat relatif pada aspek-aspek tertentu. Sebagiamana
penjelasan Ibn Katsir bahwa orang-orang Israel adalah umat yang terbaik pada
zamannya jika dibandingkan dengan bangsa lain seperti Mesir dan Yunani. Namun
perlu dipahami kelebihan tersebut tidak bersifat mutlak pada semua aspek.
Dalam ayat lain, Allah menegur
orang-orang Yahudi dan Nasrani sebab klaim mereka terlalu eksklusif dalam Q.S.
Al-Maidah: 18.[28]
Orang-orang Yahudi dan Nasrani
mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.”
Katakanlah: “Lalu mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu
bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia
(biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan
Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dan
kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).
d)
Tentang
Kehidupan di Akhirat
Dalam Q.S. Al-Baqarah: 111
orang-orang Yahudi mengklaim bahwa melalui agama merekalah manusia akan
terselamatkan di akhirat. Kenyataan ini sangat berbeda dengan kenyataan yang
ditemukan dalam Bible Yahudi atau Taurat. Walaupun kepercayaan adanya hari
akhirat dikenal secara luas dalam keyakinan dan pemikiran keagamaan Yahudi,
Bible amat sedikit memberikan indikasi ke arah tersebut. Ahmad Sya’labi (Muslim
penulis kontemporer) berkomentar bahwa agama Yahudi lebih mementingkan amal,
tidak terlalu melihat pada iman; agama pada intinya mengatur kehidupan bukan
akidah.
Kesimpulan dari penjelasan Yahudi yang disebutkan dalam Al-Qur’an
bahwa ayat-ayat yang mengkritik kaum Yahudi kebanyakan diturunkan di Madinah
sebagai respon terhadap perilaku mereka yang tercela. Sikap arogan mereka
menyebabkan kerasnya bantahan Al-Qur’an sampai muncul sebutan kafir dan
terkutuk. Jika dicermati dengan seksama, pandangan-pandangan tersebut tidak
mewakili ajaran yang dikenal luas dalam tradisi keagamaan umat Yahudi sampai
hari ini. Mungkin itu hanya pandangan “segelintir” orang di kalangan Yahudi
Madinah pada waktu itu.[29] Siapa
pun yang mempelajari sejarah dan ajaran agama Yahudi dengan baik, tidak akan
dapat menerima “tuduhan-tuduhan” Al-Qur’an itu sebagai kebenaran yang bersifat
general dan berlaku untuk seluruh kehidupan dan ajaran dalam tradisi umat Yahudi.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Syarif
Hidayatullah, Studi Agama Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011)
Muhammad
Muhibbudin, Keajaiban Yerussalem : Kota Suci Para Nabi dan Agama-agama
Samawi yang Menyimpan Berjuta Tragedi, (Yogyakarta: Araska,2014).
Joseph Gaer, How The Great Religions Began, New American
Library, (New York, 1955).
Muhammad Khalifah Hasan, penerj. Abdul Shomad, Faisal Saleh, Sejarah
Agama Yahudi, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar,2009)
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta:
elSAQ Press, 2007)
Mudjahid Abdul Manaf, 1994, Sejarah Agama-Agama. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
[1] Syarif
Hidayatullah, Studi Agama Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2011), hlm. 39
[2] Muhammad
Muhibbudin, Keajaiban Yerussalem : Kota Suci Para Nabi dan Agama-agama
Samawi yang Menyimpan Berjuta Tragedi, (Yogyakarta: Araska,2014), hlm. 41
[3] Joseph Gaer, How The Great
Religions Began, New American Library, (New York, 1955), hlm. 145 lihat
Burhanudin Daya, Agama Yahudi, hlm. 5
[4] Muhammad
Khalifah Hasan, penerj. Abdul Shomad, Faisal Saleh, Sejarah Agama Yahudi, (Jakarta:
Pustaka Al Kautsar,2009), hlm. 186
[5] Muhammad
Khalifah Hasan, penerj. Abdul Shomad, Faisal Saleh, Sejarah Agama Yahudi,
(Jakarta: Pustaka Al Kautsar,2009), hlm. 189
[6] Muhammad
Khalifah Hasan, Sejarah Agama Yahudi, (Jakarta: Pustaka Al
Kautsar,2009), hlm. 200
[7] Muhammad
Khalifah Hasan, Sejarah Agama Yahudi, (Jakarta: Pustaka Al
Kautsar,2009), hlm. 205
[8] Muhammad
Khalifah Hasan, Sejarah Agama Yahudi, (Jakarta: Pustaka Al
Kautsar,2009), hlm. 209
[12] Burhanuddin
Daya, Agama Yahudi, (Yogyakarta:
Bagus Arafah, 1976), hlm 120.
[15], Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam
Al-Qur’an, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2007), hal. 108
[16]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 116
[17]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 117
[18]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 102.
[19]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 103.
[20]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 152
[21]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 152
[22]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 161.
[23]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 173
[24]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 202.
[25]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 203
[26]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 214-215
[27]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 223
[28]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 227
[29]
Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an, hal. 246
Tidak ada komentar:
Posting Komentar