Minggu, 29 Oktober 2017

Hadis larangan Meminang Wanita yang Sudah dipinang Orang Lain ( Studi Ma’anil Hadis)

Hadis larangan Meminang Wanita yang Sudah dipinang Orang Lain
( Studi Ma’anil Hadis)
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Suryadi, M. Ag




Disusun Oleh :

Muhammad Munif      15530076

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS NEGRI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2017




A.    Latar Belakang Masalah
Allah telah menurunkan kepada kita al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman hidup manusia, al-Qur’an dan Hadis bagaikan kepingan mata uang yang saling berkaitan satu sama lain. Allah SWT menciptakan manusia dimuka bumi ini untuk saling berinteraksi, berhubungan satu sama lain, saling membantu, saling mencintai agar terciptanya kehidupan yang harmonis. Ritual yang agung dan mulia salah satunya adalah pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasulullah yang dianjurkan bagi umatnya, karena pernikahan merupakan salah satu upaya untuk menjaga keturunan (hifz an-nasl). Pernikahan adalah berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra.[1]
Didalam tradisi Islam sebelum dilaksanakannya pernikahan biasanya seorang laki-laki melakukan pinangan (khitbah) terlebih dahulu kepada wanita yang akan dijadikan istri. Pinangan atau khitbah merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Menurut Az-Zuhaily khitbah bermakna menampakan, dalam arti keinginan untuk menampakan perasaan seorang laki-laki kepada perempuan dengan memberikan pemberitahuan tersebut kepada pihak perempuan atau keluarga perempuan tersebut.[2]
Problematika yang sering muncul didalam masalah khitbah yaitu adanya cinta segitiga yaitu seorang perempuan yang dilamar dua laki-laki, hal ini juga sudah dijelaskan pada hadis nabi :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ


Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Ja'far bin Rabi'ah dari Al A'raj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jauhilah oleh kalian perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya."
Sering kali kasus tersebut menimbulkan beberpa sifat buruk diantaranya dengki, iri, bahkan menimbulkan perselisihan hingga mencari kesalahan-kesalahan orang lain hanya karena ditolaknya lamaran, maka dari itu perlu adanya pemahaman mengenai kasus ini khususnya berkaitan dengan hadis Nabi.
Kritik Historis
1.      Takhrij Hadis
Dalam penelitian hadis perlu adanya penelusuran-penelusuran terhadap hadis setema, hal ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap hadis yang akan diteliti. Penelusuran terhadap hadis setema yaitu dengan menggunakan metode takhrij hadis, metode ini merupakan langkah awal sebelum melakukan penelitian terhadap sanad dan matan hadis.[3]
Dalam kegiatan takhrij hadis ini, penulis menggunakan software Gawami’ al-Kaleem, dalam melakukan pencarian matan hadis penulis menggunakan Takhrij bi al-Lafdzi. Yaitu pencarian matan hadis menggunakan lafad-lafad tertentu. Penelusuran pada hadis ini penulis menggunakan lafad خِطْبَةِ أَخِيهِdengan pencarian menggunakan lafad tersebut ditemukan beberapa hadis yang setema yang ditemukan sebanyak 15 hadis setema yang terdapat pada kitab Shahih Bukhari (3 hadis no 2006, 4747,4771 ), Shahih Muslim (6 hadis no 2527, 2539, 2540, 2541, 2544, 2795 ) Sunan At-Tirmidzi (1 hadis no 1049), Sunan Abu Dawud (2 hadis 1784, 1786) , Sunan Ad-Darimi (2 hadis 2109, 2110), Muwatha’ Malik (2 hadis 1019 dan 1068), Musnad Ahmd Ibn Hanbal (19 hadis no 5870,5968,6103,6231,6237,7074 dan seterusnya). Adapun redaksi hadis tentang larangan melamar pinangan saudara adalah sebagai berikut:
1.      Hadis Riwayat Bukhari No. 4747
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ


Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Ja'far bin Rabi'ah dari Al A'raj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jauhilah oleh kalian perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya."

2.      Kritik Sanad dan Matan
Setelah melakukan takhrij hadis hal yang harus dilakukan adalah kritik sanad dan matan. Kedua hal ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui kualitas hadis. Menurut ulama hadis. Hadis dapat dikatakan shahih apabila memenuhi beberapa kriteria diantaranya :
1)      Bersambung sanadnya ( sampai kepada Nabi).
2)      Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
3)      Diriwayatkan oleh perawi yang dhabit
4)      Terhindar dari syadz
5)      Terhindar dari illat.
Hadis yang menjadi fokus penelitian kali ini adalah hadis Bukhari no 4747, maka dari itu perlu adanya peninjauan terhadap sanad dan matan. Adapun jalur sanad hadis Bukhori No. 4747 adalah sebagai berikut :  Nabi SAW.→Abu Hurairah Abdurrahman Ibn Hurmus al-A’raj Ja’far Ibn Rabi’ah Laist Ibn Sa’ad Ibn AbdurrahmanYahya Ibn Abdullah Ibn Bukair  al-Bukhari.
1.      Abdurrahman Ibn Hurmus al-A’raj
Beliau merupakan perawi tingkatan kedua yaitu golongan tabi’in yang memiliki nama lengkap Abdurrahman Ibn Hurmus al-A’raj, nama kunyahnya Abu Dawud, beliau tinggal di Madinah dan Iskandariyah berguru pada Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abu Sa’id al-Khudri, Humaid bin Abdurrahman dan masih banyak lagi, sedangkan murid=-muridnya adalah Ja’far Ibn Rabi’ah, Ismail bin Ahmad al-Zuhri, Isma’il bin Katsir al-Hijazi dan lain sebagainya. Sedangkan penilaian ulama’ terhadap beliau adalah Ibnu Hajar al-Asqalani Tsiqah, Tsabit, ad-Dzahabi Tsiqah, Abdullah bin Ijli Tsiqah.
2.      Ja’far Ibn Rabi’ah
Nama lengkapnya adalah Ja’far Ibn Rabi’ah al-Qursy, beliau memiliki nama kunyah Abu Sir Hubail tinggal di Mesir, beliau meriwayatkan hadis dari Abdurrahman Ibn Hurmus al-A’raj, Aswab ibn Alla’, Zarqani Ibn Amr, Hibban Ibn Wasi’ dan lain-lain, sedangkan murid-muridnya Laist Ibn Sa’ad Ibn Abdurrahman, Abdullah ibn Wahb, Ishaq Ibn Hazim, Syu’aib bin Laist, dan masih banyak lagi. Penilaian Ulama’ terhadap beliau adalah Ibnu Hajar al-Asqalani Tsiqah, Ahmad Ibn Hanbal Tsiqat, Abdullah Ibn Ijli Tsiqah.
3.      Laist Ibn Sa’ad Ibn Abdurrahman
Nama lengkapnya adalah Laist Ibn Sa’ad Ibn Abdurrahman terkenal dengan Laits Ibn Sa’ad al-Fahmi beliau memilki kunyah Abu Haris tinggal di Mesir, belaiu meriwayatkan hadis dari Ja’far Ibn Rabi’ah, Hasan al-Basri, Hasan Ibn Tsauban, Kholil bin Murrah dan lain sebgainya, sedangkan murid-muridnya Ahmad bin Yunus, Ahmad bin Kholil, Yahya bin Abdullah bin Bukair, Abu Bakar bin Iyas. Penilaian Ulama’ terhadap beliau seperti Ibnu Hatim al-Razi Tsiqah, Abu al-Fath Shuduq, Abu Bakar al-Baihaqi Hafidz.
4.      Yahya Ibn Abdullah Ibn Bukair
Nama lengkapnya adalah Yahya Ibn Abdullah Ibn Bukair nama kunyahnya adalah Abu Zakaria sedangkan Laqobnya hafidz, beliau tinggal di Mesir dan Syam, beliau berguru hadis dari Laist Ibn Sa’ad, Anas ibn Iyad, Mughirah ibn Abdurrahman, Isra’il Ibn Yunus dan masih banyak lagi, sedangkan yang meriwayatkan hadis darinya Ahmad Ibn Hanbal, Bukhori, Ahmad ibn Yassar, Ahmad ibn Nasr al-Qorsy dan masih banyak lagi. Penilaian ulama’ terhadap beliau Abu Hatim bin Hibban Tsiqat , Abu Ahmab bin A’di Asbat an-Nas, Abu Ya’la al-Khalili Tsiqat.

B.     Kritik Editis

1.      Kajian Linguistik
Berkaitan dengan kajian lingusitik atau kajian Bahasa yang dipakai dalam metode penelitian hadis. Penulis menggunakan kata kunci لَا يَخْطُبُ dan خِطْبَةِ أَخِيهِ.
Kata لَا يَخْطُبُ memiliki arti larangan karena lafad tersebut berfaidah li tahrim, selain itu  lafad ini merupakan khabar mubalaghah li al-mani’ ( suatu berita untuk tidak dilakukan) dengan tuntutan kuat ( lil Mubalaghah). Sedangkan makna  خِطْبَةِ memiliki makna dasar dari lafad خطب (fiil madhi) dan خطبا ( isim masdar) yang berarti melamar atau meminang.[4] Sedangkan makna خِطْبَةِ didalam tafsir al-Maraghi diartikan meminta wanita untuk dijadikan istri dengan cara yang lazim[5].
2.      Kajian Tematik Komprehensif
Dalam pemaknaan hadis tidak dapat dipisahkan dari hadis-hadis lainnya baik semakna ataupun setema, maka dari itu perlu adanya kajian tematik komprehensif agar pemahaman terhadap hadis tidak bersifat parsial.  Adapun hadis-hadis yang membahas tentang larangan melamar wanita yang sudah dilamar orang lain adalah sebagai berikut :
Hadis Muslim no 2544
وحَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " لَا تَنَاجَشُوا، وَلَا يَبِعِ الْمَرْءُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَلَا يَخْطُبِ الْمَرْءُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَلَا تَسْأَلِ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ الْأُخْرَى لِتَكْتَفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا
Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Musayyab bahwa Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian melakukan transaksi najasy, dan janganlah seseorang membeli barang yang telah dibeli saudaranya, dan janganlah orang kota bertransaksi dengan orang badui, dan janganlah seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya, dan janganlah seorang istri meminta suaminya supaya menceraikan madunya agar semua kebutuhannya dapat terpenuhi." Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdul A'la. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi' telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq semuanya dari Ma'mar dari Az Zuhri dengan isnad seperti ini namun dalam haditsnya Ma'mar (menambahkan); "Dan janganlah seseorang menambah (meninggikan) harga brang yang telah dibeli saudaranya."
           Hadis Muslim no 2519
   حدثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حدثنا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ،  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: " لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ، وَلَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا، وَلَا عَلَى خَالَتِهَا، وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْتَفِئَ صَحْفَتَهَا وَلْتَنْكِحْ، فَإِنَّمَا لَهَا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهَا "

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya, dan janganlah wanita dipoligami dengan bibinya (baik dari saudara ayah atau ibu), dan janganlah seorang istri meminta suaminya supaya menceraikan madunya agar segala kebutuhannya terpenuhi, akan tetapi biarkanlah suami menikah (sesuai dengan kemampuannya), karena Allah telah menentukan bagiannya sang istri."

3.      Konfirmatif
Untuk dapat memahami hadis ini secara lebih baik, maka perlu adanya tinajauan dari al-Qur’an, karena yang kita ketahui bahwasanya dalam memahami hadis harus ada kesesuaian antara al-Qur’an dan hadis. Hadis tentang dilarangnya melamar wanita yang sudah dilamar orang lain telah disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 235
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun[6].
Menurut Penafsiran Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib, ayat diatas memiliki dua pokok pembahasan. Pertama, masalah bahasa ungkapan yang digunakan untuk meminang seorang janda yang masih dalam masa Iddah. Bahasa seperti apa yang dikatakan sebagai bahasa sindiran dan bahasa seperti apa yang disebut bahasa jelas, dimana kata tersebut merupakan kata yang baik yang maknanya memepunyai maksud untuk menikahi atau tidak punya maksud untuk menikahi secara jelas melainkan hanya sebuah isyarat.[7]
Perbedaan anatara bahasa sindiran dan bahasa yang jelas adalah, jika bahasa sindiran menyebutkan sesuatu dengan bahasa ungkapan yang lazim, misalnya “ si fulan bagus perawakanya” sedangkan bahasa yang jelas adalah bahasa yang langsung memberikan kejelasan untuk menikahi  si wanita.[8]
Pada ayat ini juga membahas tentang masalah wanita yang dikhitbah yaitu ada tiga macam, yaitu:
1.      Wanita yang dipinang haruslah wanita yang bebas dari suaminya ataupun tidak sedang dalam pinangan orang lain.
2.      Wanita yang tidak boleh dipinang secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi adalah wanita yang dinikahi untuk orang lain.
3.      Wanita yang sedang beriddah tanpa adanya ruju’ kembali, adakalanya dipinang secara sindiran jika suaminya baru meninngal atau bisa secara terang-terangan jika sudah ditalak 3 kali dan tidak mungkin untuk kembali lagi dengan suaminya.[9]
Berkaitan dengan matan Hadis tentang tema ini juga membahas tentang larangan Tajasus, mencari kesalahan orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Hujarat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang
           

4.      Analisis Realitas Historis
Dalam pembahasan analisis historis pasti erat kaitanya dengan kondisi mikro (asbab wurud al-hadis), kondisi makro (situasi dijazirah Arab pada masa Nabi Muhammad SAW, serta sejarah sosial teks hadis) dengan merujuk pada kitab syarah hadis. Berkaitan dengan tema khitbah minim sekali tentang pembahasan mengenai asbab wurud hadis. Akan tetapi sejauh sumber yang didapat penulis menyinggung permasalahan khitbah yaitu ketika Hafsah binti Umar menjanda dari Khunais bin Hudfazah As-Sahmi yang merupakan sahabat Nabi yang meninggal pada perang Badar di Madinah. Lalu Umar bin Khattab mendatangi Usman bin Affan untuk menawarkan anaknya (Hafsah binti Umar) kepadanya, namun Usaman hanya menjawab “ Aku akan melihat perkaraku dulu”, setelah menunggu beberapa lama akhirnya Usman menolak karena dia belum ingin menikah, Lalu Umar mendatangi Abu Bakar namun beliau tidak menjawab perihal pinangan Umar, Abu Bakar  tidak menjawab karena dia mengetahui niatan Rasulullah, bahwa Rasulullah memilki niatan untuk menikahi Hafsah. Oleh karenanya beliau tidak menjawab karena tidak bisa menyebarkan rahasia Rasulullah, jika Rasul meninggalkanya, sudah pasti Abu Bakar akan menerima tawaran dari Umar bin Khattab.[10]
5.      Analisis Generalisasi
Setelah melakukan beberapa tahap kajian diatas meliputi, kajian kebahasaan, tematik, komprehensif, konfirmatif dengan al-Qur’an dan Analisis realitas historis, maka dapat diketahui bahwa hadis ini mengandung larangan meminang wanita yang sudah dilamar orang lain dan larangan untuk berprilaku negative thinking. Adapun bentuk larangan tersebut :
1.      Dari redaksi matan hadis lafad La yang berfaidah li tahrim, jadi merupakan sebuah peringatan untuk tidak dilakukan selain itu perintah tersebut menggunakan sighat mubalaghah yang berarti (tuntutan untuk tidak melakukannya dengan kuat).
2.      Larangan tersebut tidak bersifat mutlak karena dalam redaksi matan hadis selanjutnya ada lafad حَتَّى   yang  berarti sebuah batasan, yaitu apabila wanita yang dilamar menolak pinangan orang pertama akan tetap jika wanita tersebut menerima lamaranya bahkan menikah maka haram hukumnya untuk meminang wanita tersebut.

C.    Kritik Praksis
Pemahaman hadis terkait dilarangnya meminang wanita yang sudah dipinang laki-laki lain sangat penting sekali. karena pada dasarnya khitbah disyari’atkan sebelum adanya pernikahan dengan tujuan agar pelaksanaan perkawinan berdasarkan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.[11] Berdasarkan realitas yang berkembang saat ini sering terjadinya kasus persaingan dalam memperebutkan satu wanita, hal ini lah yang memicu kedengkian, permusuhan, bahkan hingga kasus pembunuhan. Setiap manusia memang berhak untuk menyukai lawan jenisnya akan tetapi juga ada batasan-batasan tertentu. Didadalam agama Islam dianjurkan untuk mengungkapkan ketertarikannaya kepada wanita dengan cara khitbah, akan tetapi etika khitbah tersebutlah yang perlu diperhatikan yaitu salah satunya bahwa wanita yang dikhitbah tidak dalam pinangan orang lain. Jika sudah mengatahui secara terang-terangan bahwa wanita yang akan dilamar, ternyata sudah dilamar orang lain maka haram hukumnya melakukan khitbah tersebut. Larangan ini apabila memuat tiga aspek telah menerima pinangan yang pertama dan walinya jelas-jelas mengizinkannya. Peminangan tetap diperbolehkan apabila, pertama, wanita ataupun walinya menolak pinangan laki-laki pertama baik secara terang-terangan atau sindiran. Kedua laki-laki tersebut memang tidak tahu bahwa wanita tersebut sudah dipinang laki-laki lain. Ketiga, Peminang pertama membolehkan lelaki kedua untuk meminang wanita tersebut.
D.    Kesimpulan

1.      Khitbah bermakna menampakan, dalam arti keinginan untuk menampakan perasaan seorang laki-laki kepada perempuan dengan memberikan pemberitahuan tersebut kepada pihak perempuan atau keluarga perempuan tersebut atas keinginan menikah.
2.      Berdasarkan hadis tersebut menunjukan adanya larangan untuk melamar wanita yang sudah dilamar orang lain, larangan ini ditunjukan pada redaksi matan hadis tersebut bahwa adanya la ( li tahrim) sehingga haram hukumnya melakukan hal tersebut.
3.      Wanita yang sudah dipinang orang lain dihukumi haram apabila wanita tersebut telah menerima pinangan yang pertama dan walinya jelas-jelas mengizinkannya. Peminangan tetap diperbolehkan apabila, pertama, wanita ataupun walinya menolak pinangan laki-laki pertama baik secara terang-terangan atau sindiran. Kedua laki-laki tersebut memang tidak tahu bahwa wanita tersbut sudah dipinang laki-laki lain. Ketiga, Peminang pertama membolehkan lelaki kedua untuk meminang wanita tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2013)
Wahbah Zuhaily, Fikih Imam Syafi’i ,terj Imron (Jakarta: al-Mahira, 2012)
Muhammad Abd Rouf al-Manawi, Faid al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972),
Lajnah Pentashih al-Qur’an, Al-‘Alim: al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 39.
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib,(Beirut: Daar al-Fikr, 1401)
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih Bukhari (Qohiroh: Daar al-Hadis, 2004) 230.
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Suarabaya: Pustaka Progresif, 2002)
Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj Bahrun Abu Bakar (Semarang: CV Toha Putra, 1993)
Muhammad Abd Rouf al-Manawi, Faid al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972)
Software Lidwa Hadis
Software Gawami’ al-Kaleem






[1] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2013), hlm. 20.
[2] Wahbah Zuhaily, Fikih Imam Syafi’i ,terj Imron (Jakarta: al-Mahira, 2012) jilid 2, hlm 471.
[3] Muhammad Abd Rouf al-Manawi, Faid al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), hlm. 44.
[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Suarabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm.. 348-349.
[5] Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj Bahrun Abu Bakar (Semarang: CV Toha Putra, 1993), hlm 353.
[6] Lajnah Pentashih al-Qur’an, Al-‘Alim: al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 39.
[7] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib,(Beirut: Daar al-Fikr, 1401), juz 6, hlm 139-140.
[8]  Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 6 hlm. 141
[9] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 6, hlm.143
[10] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih Bukhari (Qohiroh: Daar al-Hadis, 2004), juz 9, hlm. 229-230.
[11] Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm, 41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar