Hadis
larangan Meminang Wanita yang Sudah dipinang Orang Lain
(
Studi Ma’anil Hadis)
Dosen
Pengampu : Prof. Dr. Suryadi, M. Ag
Disusun
Oleh :
Muhammad Munif 15530076
PRODI
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS
NEGRI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN
2017
A.
Latar Belakang Masalah
Allah telah menurunkan kepada kita al-Qur’an dan Hadis sebagai
pedoman hidup manusia, al-Qur’an dan Hadis bagaikan kepingan mata uang yang
saling berkaitan satu sama lain. Allah SWT menciptakan manusia dimuka bumi ini
untuk saling berinteraksi, berhubungan satu sama lain, saling membantu, saling
mencintai agar terciptanya kehidupan yang harmonis. Ritual yang agung dan mulia
salah satunya adalah pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu sunnah
Rasulullah yang dianjurkan bagi umatnya, karena pernikahan merupakan salah satu
upaya untuk menjaga keturunan (hifz an-nasl). Pernikahan adalah
berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu
kesatuan yang utuh dan bermitra.[1]
Didalam tradisi Islam sebelum dilaksanakannya pernikahan biasanya
seorang laki-laki melakukan pinangan (khitbah) terlebih dahulu kepada wanita
yang akan dijadikan istri. Pinangan atau khitbah merupakan pintu gerbang menuju
pernikahan. Menurut Az-Zuhaily khitbah bermakna menampakan, dalam arti
keinginan untuk menampakan perasaan seorang laki-laki kepada perempuan dengan
memberikan pemberitahuan tersebut kepada pihak perempuan atau keluarga
perempuan tersebut.[2]
Problematika yang sering muncul didalam masalah khitbah yaitu
adanya cinta segitiga yaitu seorang perempuan yang dilamar dua laki-laki, hal
ini juga sudah dijelaskan pada hadis nabi :
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ
الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا
وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى
يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Bukair Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Ja'far bin Rabi'ah dari
Al A'raj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jauhilah oleh kalian perasangka,
sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian
mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah
kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas
pinangan saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya."
|
Sering kali kasus tersebut menimbulkan beberpa sifat buruk
diantaranya dengki, iri, bahkan menimbulkan perselisihan hingga mencari
kesalahan-kesalahan orang lain hanya karena ditolaknya lamaran, maka dari itu
perlu adanya pemahaman mengenai kasus ini khususnya berkaitan dengan hadis
Nabi.
Kritik Historis
1.
Takhrij Hadis
Dalam penelitian hadis perlu adanya penelusuran-penelusuran
terhadap hadis setema, hal ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap
hadis yang akan diteliti. Penelusuran terhadap hadis setema yaitu dengan
menggunakan metode takhrij hadis, metode ini merupakan langkah awal
sebelum melakukan penelitian terhadap sanad dan matan hadis.[3]
Dalam kegiatan takhrij hadis ini, penulis menggunakan software
Gawami’ al-Kaleem, dalam melakukan pencarian matan hadis penulis menggunakan
Takhrij bi al-Lafdzi. Yaitu pencarian matan hadis menggunakan lafad-lafad
tertentu. Penelusuran pada hadis ini penulis menggunakan lafad خِطْبَةِ
أَخِيهِdengan pencarian menggunakan lafad
tersebut ditemukan beberapa hadis yang setema yang ditemukan sebanyak 15 hadis
setema yang terdapat pada kitab Shahih Bukhari (3 hadis no 2006, 4747,4771 ),
Shahih Muslim (6 hadis no 2527, 2539, 2540, 2541, 2544, 2795 ) Sunan At-Tirmidzi
(1 hadis no 1049), Sunan Abu Dawud (2 hadis 1784, 1786) , Sunan Ad-Darimi (2
hadis 2109, 2110), Muwatha’ Malik (2 hadis 1019 dan 1068), Musnad Ahmd Ibn
Hanbal (19 hadis no 5870,5968,6103,6231,6237,7074 dan seterusnya). Adapun
redaksi hadis tentang larangan melamar pinangan saudara adalah sebagai
berikut:
1.
Hadis
Riwayat Bukhari No. 4747
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ
الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا
وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى
يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Bukair Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Ja'far bin Rabi'ah dari
Al A'raj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jauhilah oleh kalian perasangka,
sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian
mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah
kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas
pinangan saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya."
|
2.
Kritik Sanad dan Matan
Setelah melakukan takhrij hadis hal yang harus dilakukan adalah
kritik sanad dan matan. Kedua hal ini sangat penting
dilakukan untuk mengetahui kualitas hadis. Menurut ulama hadis. Hadis dapat
dikatakan shahih apabila memenuhi beberapa kriteria diantaranya :
1)
Bersambung
sanadnya ( sampai kepada Nabi).
2)
Diriwayatkan
oleh perawi yang adil.
3)
Diriwayatkan
oleh perawi yang dhabit
4)
Terhindar
dari syadz
5)
Terhindar
dari illat.
Hadis yang menjadi fokus penelitian kali ini adalah hadis Bukhari
no 4747, maka dari itu perlu adanya peninjauan terhadap sanad dan matan. Adapun
jalur sanad hadis Bukhori No. 4747 adalah sebagai berikut : Nabi SAW.→Abu Hurairah→ Abdurrahman
Ibn Hurmus al-A’raj →Ja’far Ibn Rabi’ah→ Laist Ibn Sa’ad Ibn Abdurrahman→Yahya Ibn
Abdullah Ibn Bukair→ al-Bukhari.
1.
Abdurrahman
Ibn Hurmus al-A’raj
Beliau merupakan perawi tingkatan
kedua yaitu golongan tabi’in yang memiliki nama lengkap Abdurrahman Ibn Hurmus
al-A’raj, nama kunyahnya Abu Dawud, beliau tinggal di Madinah dan Iskandariyah
berguru pada Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abu Sa’id al-Khudri, Humaid
bin Abdurrahman dan masih banyak lagi, sedangkan murid=-muridnya adalah Ja’far
Ibn Rabi’ah, Ismail bin Ahmad al-Zuhri, Isma’il bin Katsir al-Hijazi dan
lain sebagainya. Sedangkan penilaian ulama’ terhadap beliau adalah Ibnu Hajar
al-Asqalani Tsiqah, Tsabit, ad-Dzahabi Tsiqah, Abdullah bin Ijli Tsiqah.
2.
Ja’far
Ibn Rabi’ah
Nama lengkapnya adalah Ja’far Ibn
Rabi’ah al-Qursy, beliau memiliki nama kunyah Abu Sir Hubail tinggal di Mesir,
beliau meriwayatkan hadis dari Abdurrahman Ibn Hurmus al-A’raj, Aswab
ibn Alla’, Zarqani Ibn Amr, Hibban Ibn Wasi’ dan lain-lain, sedangkan
murid-muridnya Laist Ibn Sa’ad Ibn Abdurrahman, Abdullah ibn Wahb, Ishaq
Ibn Hazim, Syu’aib bin Laist, dan masih banyak lagi. Penilaian Ulama’ terhadap
beliau adalah Ibnu Hajar al-Asqalani Tsiqah, Ahmad Ibn Hanbal Tsiqat,
Abdullah Ibn Ijli Tsiqah.
3.
Laist
Ibn Sa’ad Ibn Abdurrahman
Nama lengkapnya adalah Laist Ibn
Sa’ad Ibn Abdurrahman terkenal dengan Laits Ibn Sa’ad al-Fahmi beliau memilki
kunyah Abu Haris tinggal di Mesir, belaiu meriwayatkan hadis dari Ja’far Ibn
Rabi’ah, Hasan al-Basri, Hasan Ibn Tsauban, Kholil bin Murrah dan lain
sebgainya, sedangkan murid-muridnya Ahmad bin Yunus, Ahmad bin Kholil, Yahya
bin Abdullah bin Bukair, Abu Bakar bin Iyas. Penilaian Ulama’ terhadap
beliau seperti Ibnu Hatim al-Razi Tsiqah, Abu al-Fath Shuduq, Abu
Bakar al-Baihaqi Hafidz.
4.
Yahya
Ibn Abdullah Ibn Bukair
Nama lengkapnya adalah Yahya Ibn
Abdullah Ibn Bukair nama kunyahnya adalah Abu Zakaria sedangkan Laqobnya hafidz,
beliau tinggal di Mesir dan Syam, beliau berguru hadis dari Laist Ibn Sa’ad,
Anas ibn Iyad, Mughirah ibn Abdurrahman, Isra’il Ibn Yunus dan masih banyak
lagi, sedangkan yang meriwayatkan hadis darinya Ahmad Ibn Hanbal, Bukhori,
Ahmad ibn Yassar, Ahmad ibn Nasr al-Qorsy dan masih banyak lagi. Penilaian
ulama’ terhadap beliau Abu Hatim bin Hibban Tsiqat , Abu Ahmab bin A’di Asbat
an-Nas, Abu Ya’la al-Khalili Tsiqat.
B.
Kritik Editis
1.
Kajian Linguistik
Berkaitan dengan kajian lingusitik atau kajian Bahasa yang dipakai
dalam metode penelitian hadis. Penulis menggunakan kata kunci لَا يَخْطُبُ
dan خِطْبَةِ أَخِيهِ.
Kata لَا يَخْطُبُ memiliki arti larangan
karena lafad tersebut berfaidah li tahrim, selain itu lafad ini merupakan khabar mubalaghah li
al-mani’ ( suatu berita untuk tidak dilakukan) dengan tuntutan kuat ( lil
Mubalaghah). Sedangkan makna خِطْبَةِ
memiliki makna dasar dari lafad خطب
(fiil madhi) dan خطبا ( isim masdar) yang
berarti melamar atau meminang.[4]
Sedangkan makna خِطْبَةِ didalam tafsir al-Maraghi diartikan meminta wanita untuk dijadikan istri
dengan cara yang lazim[5].
2.
Kajian Tematik Komprehensif
Dalam pemaknaan hadis tidak dapat dipisahkan dari hadis-hadis
lainnya baik semakna ataupun setema, maka dari itu perlu adanya kajian tematik
komprehensif agar pemahaman terhadap hadis tidak bersifat parsial. Adapun hadis-hadis yang membahas tentang
larangan melamar wanita yang sudah dilamar orang lain adalah sebagai berikut :
Hadis Muslim no 2544
وحَدَّثَنِي
حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ
ابْنِ شِهَابٍ، حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " لَا تَنَاجَشُوا، وَلَا يَبِعِ الْمَرْءُ عَلَى بَيْعِ
أَخِيهِ، وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَلَا يَخْطُبِ الْمَرْءُ عَلَى
خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَلَا تَسْأَلِ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ الْأُخْرَى لِتَكْتَفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا
Telah menceritakan kepadaku Harmalah
bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku
Yunus dari Ibnu Syihab telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Musayyab bahwa Abu
Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah kalian melakukan transaksi najasy, dan janganlah seseorang
membeli barang yang telah dibeli saudaranya, dan janganlah orang kota
bertransaksi dengan orang badui, dan janganlah seseorang meminang wanita yang
telah dipinang oleh saudaranya, dan janganlah seorang istri meminta suaminya
supaya menceraikan madunya agar semua kebutuhannya dapat terpenuhi." Dan
telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan
kepada kami Abdul A'la. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan
kepadaku Muhammad bin Rafi' telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq
semuanya dari Ma'mar dari Az Zuhri dengan isnad seperti ini namun dalam
haditsnya Ma'mar (menambahkan); "Dan janganlah seseorang menambah
(meninggikan) harga brang yang telah dibeli saudaranya."
Hadis Muslim no 2519
حدثنا أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حدثنا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: " لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ،
وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ، وَلَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى
عَمَّتِهَا، وَلَا عَلَى خَالَتِهَا، وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ
أُخْتِهَا لِتَكْتَفِئَ صَحْفَتَهَا وَلْتَنْكِحْ، فَإِنَّمَا لَهَا مَا كَتَبَ
اللَّهُ لَهَا "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi
Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari Muhammad bin
Sirin dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda:
"Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah
menawar barang yang telah ditawar saudaranya, dan janganlah wanita dipoligami
dengan bibinya (baik dari saudara ayah atau ibu), dan janganlah seorang istri
meminta suaminya supaya menceraikan madunya agar segala kebutuhannya terpenuhi,
akan tetapi biarkanlah suami menikah (sesuai dengan kemampuannya), karena Allah
telah menentukan bagiannya sang istri."
3.
Konfirmatif
Untuk dapat memahami hadis ini secara lebih baik, maka perlu adanya
tinajauan dari al-Qur’an, karena yang kita ketahui bahwasanya dalam memahami
hadis harus ada kesesuaian antara al-Qur’an dan hadis. Hadis tentang
dilarangnya melamar wanita yang sudah dilamar orang lain telah disebutkan dalam
al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 235
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ
خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ
أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ
تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ
يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي
أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang
wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan
janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun[6].
Menurut Penafsiran Fakhruddin
al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib, ayat diatas memiliki dua pokok
pembahasan. Pertama, masalah bahasa ungkapan yang digunakan untuk meminang
seorang janda yang masih dalam masa Iddah. Bahasa seperti apa yang dikatakan sebagai
bahasa sindiran dan bahasa seperti apa yang disebut bahasa jelas, dimana kata
tersebut merupakan kata yang baik yang maknanya memepunyai maksud untuk
menikahi atau tidak punya maksud untuk menikahi secara jelas melainkan hanya
sebuah isyarat.[7]
Perbedaan anatara bahasa sindiran
dan bahasa yang jelas adalah, jika bahasa sindiran menyebutkan sesuatu dengan
bahasa ungkapan yang lazim, misalnya “ si fulan bagus perawakanya” sedangkan
bahasa yang jelas adalah bahasa yang langsung memberikan kejelasan untuk menikahi si wanita.[8]
Pada ayat ini juga membahas tentang
masalah wanita yang dikhitbah yaitu ada tiga macam, yaitu:
1. Wanita yang dipinang haruslah wanita
yang bebas dari suaminya ataupun tidak sedang dalam pinangan orang lain.
2. Wanita yang tidak boleh dipinang
secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi adalah wanita yang dinikahi
untuk orang lain.
3. Wanita yang sedang beriddah tanpa
adanya ruju’ kembali, adakalanya dipinang secara sindiran jika suaminya baru
meninngal atau bisa secara terang-terangan jika sudah ditalak 3 kali dan tidak
mungkin untuk kembali lagi dengan suaminya.[9]
Berkaitan dengan matan Hadis tentang
tema ini juga membahas tentang larangan Tajasus, mencari kesalahan orang lain.
Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Hujarat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ
الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang
4.
Analisis Realitas Historis
Dalam pembahasan analisis historis pasti erat kaitanya dengan
kondisi mikro (asbab wurud al-hadis), kondisi makro (situasi dijazirah Arab
pada masa Nabi Muhammad SAW, serta sejarah sosial teks hadis) dengan merujuk
pada kitab syarah hadis. Berkaitan dengan tema khitbah minim sekali tentang
pembahasan mengenai asbab wurud hadis. Akan tetapi sejauh sumber yang didapat
penulis menyinggung permasalahan khitbah yaitu ketika Hafsah binti Umar
menjanda dari Khunais bin Hudfazah As-Sahmi yang merupakan sahabat Nabi yang
meninggal pada perang Badar di Madinah. Lalu Umar bin Khattab mendatangi Usman
bin Affan untuk menawarkan anaknya (Hafsah binti Umar) kepadanya, namun Usaman
hanya menjawab “ Aku akan melihat perkaraku dulu”, setelah menunggu beberapa
lama akhirnya Usman menolak karena dia belum ingin menikah, Lalu Umar
mendatangi Abu Bakar namun beliau tidak menjawab perihal pinangan Umar, Abu
Bakar tidak menjawab karena dia
mengetahui niatan Rasulullah, bahwa Rasulullah memilki niatan untuk menikahi
Hafsah. Oleh karenanya beliau tidak menjawab karena tidak bisa menyebarkan
rahasia Rasulullah, jika Rasul meninggalkanya, sudah pasti Abu Bakar akan
menerima tawaran dari Umar bin Khattab.[10]
5.
Analisis Generalisasi
Setelah
melakukan beberapa tahap kajian diatas meliputi, kajian kebahasaan, tematik,
komprehensif, konfirmatif dengan al-Qur’an dan Analisis realitas historis, maka
dapat diketahui bahwa hadis ini mengandung larangan meminang wanita yang sudah
dilamar orang lain dan larangan untuk berprilaku negative thinking. Adapun
bentuk larangan tersebut :
1.
Dari
redaksi matan hadis lafad La yang berfaidah li tahrim, jadi merupakan
sebuah peringatan untuk tidak dilakukan selain itu perintah tersebut
menggunakan sighat mubalaghah yang berarti (tuntutan untuk tidak melakukannya dengan
kuat).
2.
Larangan tersebut tidak
bersifat mutlak karena dalam redaksi matan hadis selanjutnya ada lafad حَتَّى yang
berarti sebuah batasan, yaitu apabila wanita yang dilamar menolak
pinangan orang pertama akan tetap jika wanita tersebut menerima lamaranya
bahkan menikah maka haram hukumnya untuk meminang wanita tersebut.
C.
Kritik Praksis
Pemahaman hadis terkait dilarangnya
meminang wanita yang sudah dipinang laki-laki lain sangat penting sekali. karena
pada dasarnya khitbah disyari’atkan sebelum adanya pernikahan dengan tujuan
agar pelaksanaan perkawinan berdasarkan pengetahuan serta kesadaran
masing-masing pihak.[11]
Berdasarkan realitas yang berkembang saat ini sering terjadinya kasus
persaingan dalam memperebutkan satu wanita, hal ini lah yang memicu kedengkian,
permusuhan, bahkan hingga kasus pembunuhan. Setiap manusia memang berhak untuk
menyukai lawan jenisnya akan tetapi juga ada batasan-batasan tertentu.
Didadalam agama Islam dianjurkan untuk mengungkapkan ketertarikannaya kepada
wanita dengan cara khitbah, akan tetapi etika khitbah tersebutlah yang perlu
diperhatikan yaitu salah satunya bahwa wanita yang dikhitbah tidak dalam
pinangan orang lain. Jika sudah mengatahui secara terang-terangan bahwa wanita
yang akan dilamar, ternyata sudah dilamar orang lain maka haram hukumnya
melakukan khitbah tersebut. Larangan ini apabila memuat tiga aspek telah
menerima pinangan yang pertama dan walinya jelas-jelas mengizinkannya.
Peminangan tetap diperbolehkan apabila, pertama, wanita ataupun walinya
menolak pinangan laki-laki pertama baik secara terang-terangan atau sindiran. Kedua
laki-laki tersebut memang tidak tahu bahwa wanita tersebut sudah dipinang
laki-laki lain. Ketiga, Peminang pertama membolehkan lelaki kedua untuk
meminang wanita tersebut.
D.
Kesimpulan
1.
Khitbah
bermakna menampakan, dalam arti keinginan untuk menampakan perasaan seorang
laki-laki kepada perempuan dengan memberikan pemberitahuan tersebut kepada
pihak perempuan atau keluarga perempuan tersebut atas keinginan menikah.
2.
Berdasarkan
hadis tersebut menunjukan adanya larangan untuk melamar wanita yang sudah
dilamar orang lain, larangan ini ditunjukan pada redaksi matan hadis tersebut
bahwa adanya la ( li tahrim) sehingga haram hukumnya melakukan hal
tersebut.
3. Wanita
yang sudah dipinang orang lain dihukumi haram apabila wanita tersebut telah
menerima pinangan yang pertama dan walinya jelas-jelas mengizinkannya.
Peminangan tetap diperbolehkan apabila, pertama, wanita ataupun walinya menolak
pinangan laki-laki pertama baik secara terang-terangan atau sindiran. Kedua
laki-laki tersebut memang tidak tahu bahwa wanita tersbut sudah dipinang
laki-laki lain. Ketiga, Peminang pertama membolehkan lelaki kedua untuk
meminang wanita tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Khoiruddin Nasution, Hukum
Perkawinan I, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2013)
Wahbah Zuhaily, Fikih Imam Syafi’i ,terj Imron (Jakarta:
al-Mahira, 2012)
Muhammad Abd Rouf al-Manawi, Faid al-Qadir Syarh al-Jami’
al-Shaghir, jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972),
Lajnah Pentashih al-Qur’an,
Al-‘Alim: al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 39.
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib,(Beirut: Daar al-Fikr,
1401)
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari bi Syarh Shahih Bukhari (Qohiroh: Daar al-Hadis, 2004) 230.
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka
Setia, 1999)
Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawwir (Suarabaya: Pustaka Progresif, 2002)
Musthafa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj Bahrun Abu Bakar (Semarang: CV Toha
Putra, 1993)
Muhammad Abd Rouf al-Manawi, Faid
al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972)
Software Lidwa Hadis
Software Gawami’ al-Kaleem
[1]
Khoiruddin
Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2013), hlm. 20.
[3] Muhammad Abd
Rouf al-Manawi, Faid al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, jilid IV,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1972), hlm. 44.
[4]
Ahmad Warson Munawwir, Kamus
al-Munawwir (Suarabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm.. 348-349.
[5]
Musthafa al-Maraghi, Tafsir
al-Maraghi, Terj Bahrun Abu Bakar (Semarang: CV Toha Putra, 1993), hlm 353.
[6] Lajnah Pentashih al-Qur’an,
Al-‘Alim: al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 39.
[7] Fakhruddin al-Razi, Mafatih
al-Ghaib,(Beirut: Daar al-Fikr, 1401), juz 6, hlm 139-140.
[8] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 6
hlm. 141
[9]
Fakhruddin al-Razi, Mafatih
al-Ghaib, Juz 6, hlm.143
[10]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari bi Syarh Shahih Bukhari (Qohiroh: Daar al-Hadis, 2004), juz 9, hlm.
229-230.
[11] Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh
Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm, 41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar