Telaah
Kitab Tafsir Ahkam Karya al-Jashash
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat Ahkam
Dosen
Pengampu : Bpk. Dr Hilmy Muhammad
Disusun
Oleh :
Muhammad Munif 15530076
PRODI
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS
NEGRI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN
2017
1.
Biografi Mushannif
Nama lengkap
beliau adalah Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Razi, beliau lebih terkenal dengan
sebutan al-Jashas (tukang kapur). Beliau lahir di Baghdad tahun 305 H beliau
seorang ahli tafsir dan ushul fiqh, pada masanya beliau merupakan pengikut
mazhab Hanafiyah, beliau berguru pada Abu Sahal al-Zujaj (bidang Fiqh), Abu
Hasan al-Harakhi (bidang Tasawuf), Aby Ali
al-Farisy dan Aby Amr Ghulam Tsa’lab (bidang bahasa), Al- Hakim al-Naysaburi
(bidang hadis).[1]
Al-Jashas
adalah seorang imam fiqh Hanafiyah pada abad ke 14 H, beliau juga memiliki karya
kitab tafsir ahkam al-Qur’an yang dipandang sebagai kitab fiqih terpenting
terutama bagi mazhab Hanafiyah. Kefanatikan beliau terhadap mazhab Hanafi
mempengaruhi beliau dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Guna
mendukung mazhabnya beliau tergolong ulama’ yang ekstrim dalam melakukan penafsiran
terutama dari mereka yang tidak sependapat dengannya bahkan berlebih-lebihan
dalam menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an sebagai legitimasi mazhabnya.Al-Jashash dikenal sebagai orang yang zahid dan wara’ dan
juga merupakan ulama` pilihan yang bermazhab Hanafi. Sedangkan wafatnya pada
Ahad, 7 Dzul Hijjah di Baghdad tahun 370 H.[2]
2.
Profil KitabTafsir
Ayat Ahkam al-Jashas
Dalam
perkembangan karya-karya tafsir terdapat kitab tafsir yang lebih berorientasi
kepada hukum, bahkan lebih dari itu ada yang membatasi pembahasan kitab-kitab
tersebut khusus pada ayat-ayat ahkam. Kitab tafsir inilah yang kemudian populer
dengan istilah kitab tafsir ayat ahkam atau tafsir ahkam.[3]
Diantara sekian banyak kitab tafsir ahkam yang tergolong tua adalah kitab
Tafsir Ahkam karya Imam Al-Jashash. Kitab ini merupakan salah satu kitab tafsir
bi al-ma’tsur, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan perkataan
sahabat ataupun dengan tokoh-tokoh tabi’in, disamping itu juga pendapat-pendapat dari pemikiran pengarang
kitab.[4]
Selain itu
Tafsir al-Jashash juga dikategorikan sebagai kitab tafsir yang menggunakan
metode analitik (tahlili) yakni dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan,
serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian
dan kecenderungan mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Tafsir Ahkam
karya al-Jashash termasuk tafsir yang bercorak fiqh. Al-Jashash membatasi diri
pada ayat yang berhubungan dengan hukum-hukum (masalah-masalah furu’iyyah)
dengan menjelaskan maknanya dengan hadis dan mengutip beberapa
pendapat-pendapat Imam mazhab.
Kitab Tafsir
ahkam al-Qur’an karya al-Jashash merupakan salah satu kitab fenomenal yang
sering kita jadikan sebagai rujukan masalah-masalah fiqhiyyah saat ini. Kitab
tafsir ini terdiri dari 5 jilid, dengan jumlah halaman masing-masing jilid sekitar 500 halaman, kitab jilid I (diatur
daftar isi) 494 halaman. Jilid II ada 479 halaman, dan Jilid III 486 halaman,
tanpa halaman daftar isi. Jilid IV sekitar 410 halaman dan Jilid V 405 halaman.
3.
Karya-karya
Imam al-Jashash
karya-karya
beliau selain kitab ahkam al-Qur’an banyak sekali, ada yang berupa bentuk buku
atuapun kitab, diantara karya-karyanya adalah :
1.
Ushul
al-Jashash
2.
Tafsir Ahkam
al-Qur’an
3.
Syarah
Mukhtashar al-Karakhi
4.
Syarah
Mukhtashar al-Tahawi
5.
Syarah Jami’
al-Shaghir wa Jami’ al-Kabir
6.
Syarah Asma’
al-Husna
7.
Jawab al-Masa’il.[5]
4.
Contoh
penafsiran
Salah satu
contoh penafsiran al-Jashas dalam kitab ahkam al-Qur’an adalah penafsiran
mengenai hukum menikahi orang-orang musyrik dalam permasalahan ini ayat
al-Jashas menafsirkan surah al-Baqarah ayat 221.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ
يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ
مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ
آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Mengenai firman Allah وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ
حَتَّىٰ يُؤْمِنّ. dalam
penjelasan ayat ini al-Jashas merujuk pada hadis yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas “ Allah telah mengharamkan untuk menikahi wanita-wanita musyrik” kemudian
berkaitan dengan kata musyrik al-Jashas menukil hadis yang diriwayatkan Ibnu
Umar yang mengatakan bahwa musyrik dalam surah al-Baqarah 221 masih bersifat
umum, sehingga mencakup orang-orang kafir dan ahlu al-kitab baik wanita maupun
laki-laki[6].
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah al-Bayyinah 1.
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang
kepada mereka bukti yang nyata,
Ibnu
Umar ketika ditanya tentang menikahi wanita-wanita musyrik, Ibnu Umar menjawab
bahwa Allah telah mengharamkannya, termasuk wanita Yahudi dan Nasrai haram
untuk dinikahi oleh orang muslim, (ketika ia ditanya tentang keharamannya)
kemudian IbnuUmar menjawab bahwa ia tidak mengetahui dari perbuatan syirik yang
lebih besar daripada seseorang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa atau
salah satu dari hamba Allah. Al-Jashas menjelaskan bahwa indikasi dilarangnya
menikahi wanita musyrik karena mereka akan mengajak (orang yang menikahinya) ke
neraka.[7]
وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ
خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Pada ayat ini al-Jashas menjelaskan bahwa memilih seorang
budak yang beriman lebih dianjurkan daripada seorang wanita musyrik yang
memiliki kelebihan dan derajat.
وَلَا تُنْكِحُوا
الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا
Al-Jashash menjelaskan bahwa wanita musyrik dan
laki-laki musyrik haram untuk dinikahi, karena ajakan mereka ke neraka menjadi
alasan tegas diharamkannya menikahi mereka.
أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى
النَّار
Menurut al-Jashash menikahi wanita
musrik diawal isalm tidak dilarang didalam al-Qur’an, kemudian setelah turunya
ayat وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنّ. Pengaharam terhadap menikahi orang
musyrik baru ditetapkan karena khawatir akan ada ajaknan kepad kita agar
terjatuh ke neraka sehingga menunjukan ayat ini adalah sebagai illat
diharamkannya menikahi wanita atau laki-laki musyrik.
Al-Jashash
juga menegaskan bahwa diantara larangan menikah dengan orang musyrik adalah
kekhawatiran terjadinya hubungan yang kurang harmonis dengan orang musyrik,
sebab tujuan pernikahan adalah mengahruskannya adanya mawaddah[8].
Sebagaimana firman Allah:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ
خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.
Maka ketika ada pemberitahuan bahwa
tujuan pernikahan itu menjadi sebab mwaddah wa rahmah maka Rasulullah pun mencegah
menikahi dengan wanita musyrik[9].
DAFTAR PUSTAKA
Nina Agusti, Skirpsi: Tafsir Al-Jashash dan Al-Qurtubi, Semarang: IAIN
Walisongo, 2005.
Muhammad Husain Al Zahabi, Al Tafsir wa Al Mufassirun, (Mesir: Daar Al
Maktabah Al Harisah, 1976.
Moh Amin Suma,
Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: Rajawali Press, 2001.
Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali al-Razy, 1992, Ahkām Al-Qur’an, Bairut: Dar al-Hiya`.
Tim
Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia
Nasruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000.
[1]
Nina
Agusti, Skirpsi: Tafsir
Al-Jashash dan Al-Qurtubi, (Semarang:
IAIN Walisongo, 2005), hlm. 24.
[2] Muhammad Husain Al Zahabi, Al Tafsir wa Al Mufassirun, (Mesir: Daar Al Maktabah Al Harisah, 1976), hal. 439
[4]
Nasruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 32.
sangatt membantuuuuu
BalasHapusjazakumullah khairon
BalasHapus