HADIS TENTANG MAHAR
A.
Latar Belakang
Hadis adalah sumber rujukan kedua setelah al-Qur’an. Hadis dan
al-Qur’an bagaikan kepingan mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan,
khususnya dalam memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan umat
islam. Salah satu problematika yang sering muncul adalah seputar pernikahan.
Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasulullah yang dianjurkan
bagi umatnya, karena pernikahan merupakan salah satu upaya untuk menjaga
keturunan (hifz an-nasl). Pernikahan adalah berkumpulnya dua insan yang
semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan
bermitra.[1]
Didalam suatu pernikahan sering kita dengar dengan istilah mahar.
Mahar adalah hak murni yang diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan sebagai ungkapan keinginan laki-laki terhadap perempuan, dan sebagai
salah satu bukti rasa cinta dan kasih sayang calon suami kepada calon istri,
mahar juga merupakan simbol untuk memuliakan, menghormati dan membahagiakan
perempuan yang akan menjadi istrinya.[2]
Berkaitan dengan mahar banyak sekali nash al-Qur’an ataupun Hadis
Nabi tentang hal tersebut, akan tetapi terkait pemberian mahar didalam realitas
masyarakat masih banyak sekali persoalan mahar yang masih belum terjawab
mengenai hukum pelaksanaan, kriteria mahar, bentuk mahar dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan mahar khusunya ditinjau berdasarkan hadis Nabi, maka dari itu
menarik sekali pembahasan tentang mahar dalam perpektif hadis untuk dikaji
lebih dalam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Hadis tentang mahar ?
2.
Apa
pengertian mahar?
3.
Bagaimana
Hukum Mahar dan pandangan Ulama’ tentang Mahar ?
4.
Bagaimana
Kontekstualisasi Hadis?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui bagaimana hadis tentang Mahar
2.
Untuk
mengetahui pengertian Mahar
3.
Untuk
mengetahui Hukum dan Pandangan Ulama tentang Mahar.
4.
Untuk
mengetahui Kontestualisasi Hadis tentang Mahar.
PEMBAHASAN
1)
Teks Hadis Tentang Mahar.
a. Teks Hadis
حدثنا إِسْحَاقَ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي
يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَرَ
الْمَكِّيُّ، وَاللَّفْظُ لَهُ: حدثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ، عَنْ يَزِيدَ، عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ كَمْ كَانَ صَدَاقُ رَسُولِ اللَّه
قَالَت: " كَانَ صَدَاقُهُ لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً
وَنَشًّا "، قَالَت: أَتَدْرِي مَا النَّشُّ، قَالَ: قُلْتُ: لَا،
قَالَت: نِصْفُ أُوقِيَّةٍ، فَتِلْكَ خَمْسُ مِائَةِ دِرْهَمٍ، فَهَذَا صَدَاقُ
رَسُولِ اللَّهِ لِأَزْوَاجِهِ ( رواه
مسلم )
Artinya:
“ Telah
menceritakan kepada kami Ishaq ibn Ibrahim telah mengabarkan kepada kami
Abdul Aziz Ibn Muhammad telah menceritakan kepadaku Yazid Ibn
Abdullah Ibn Usamah Ibn Mahdi. Dan diriwayatkan dari jalur lain,
telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibn Abi Umar al-Makki sedangkan
lafadnya dari dia, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Ibn Abdurrahman
bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya kepada ‘Aisyah. Berapakah
maskawin Rasulullah SAW? Dia menjawab; mahar beliau kepada istrinya adalah dua
belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu Nasy itu? Abu Salamah
berkata: menjawab; Tidak. ‘Aisyah menjawab; setengah uqiyah, jumlahnya
sama dengan lima ratus dirham. Demikianlah maskawin Rasulullah kepada
masing-masing istri beliau. ( HR Muslim no 1326).[3]
b.
Takhrij Hadis
Berdasarkan hadis diatas tentang mahar, terdapat bebarapa hadis yang selafadz dan
makna yang sama yaitu terdapat pada 22 macam redaksi yang terbagi dalam Kitab
hadis maupun Sekunder, yaitu diantaranya:
Sunan Ibn Majah ( 470), Sunan ad-Darimi (496), Musnad Ahmad Ibn
Hanbal (6246), Sunan Abi Awanah (1148), Sunan Daruqutni ( 957), Sunan Saghir
Baihaqy (498), Sunan Kabir Baihaqy (2717) dan (5175), dan lain sebagainya.[4]
c.
Mufrodat
Dengan demikian, berdasarkan hadis di atas bahwa mahar nabi adalah:
12 Uqiyyah + 1 Nasy
12 (40) + (20)
480 + 20 = 500 dirham
Sedangkan nilai 1 dirham = 3 gram (perak)[8]. Harga 1
gram(perak) saat ini sekitar Rp 11,000. Jadi 11,000 x 3= 33,000 Maka total mahar Nabi jika berbentuk rupiah
yaitu: 500 x 33,000 = Rp 16,500,000
d.
Asbabul Wurud
Secara implisit tidak ada riwayat yang jelas menggambarkan
bagaimana asbabul wurud hadis tersebut, akan tetapi secara eksplisit ada
sedikit penjelasan mengenai asbabul wurud mengenai hadis tentang mahar.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Uqbah, bahwa Rasulullah bertemu dua
seseorang laki-laki dan perempuan, kemudian Rasulullah bertanya kepada
laki-laki, “ Apakah kau rela menikahi si dia? Jawabnya : Ya. Kemudian
Rasulullah bertanya kepada si wanita. “ Apa kau suka? Ya. Akhirnya menikahlah
mereka tanpa mahar. Kemudian suatu hari seorang laki-laki tersebut ikut serta
dalam perang khaibar dan ia memesankan pada saat menjelang kematiannya dengan
wanita yang dikawininya untuk mengambil anak panahnya sebagai pemberian mahar,
lalu wanita tersebut menjual panah tersebut seharga 100 dirham, Kemudian
Rasulullah bersabda : Maskawin yang paling baik adalah yang mudah, sedangkan
maskawin yang paling sedikit dapat memberikan kesaksian dan diharapkan
berkahnya, Oleh sebab itu, Umar bin Khattab telah melarang maskawin yang
berlebih-lebihan, lalu katanya: Rasulullah dan putri-putrinya menikah dengan
maskawin yang tidak lebih dari 12 Uqiyah.[9]
2)
Pengertian Mahar
Mahar merupakan bentuk masdar dari kata mahara- yamhuru- mahran,
yang berarti mahar, emas kawin.[10]
Sedangkan menurut istilah, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria
kepada calon mempelai wanita, baik berupa barang, uang, atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum islam (pasal 1 huruf d KHI).[11] Di dalam al-Qur’an mahar disebut dengan
beberapa istilah yaitu shadaq, ujr.[12]
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah An-Nisa’:
4, yang berbunyi :
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ
شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) dengan senang hati.
Dalam ayat tersebut, menyebut mahar dengan
kata shaduq yang dimaknai sebagai pemberian yang penuh keikhlasan.
Sedangkan Kata ujr, terdapat dalam
surah An-Nisa’:25
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ...
Artinya:
Karena
itu, nikahilah budak tersebut atas izin tuannya dan berikahlah mahar yang
pantas.
Dalam ayat tersebut digunakan kata ajrun. Makna asalnya
adalah upah. Tetapi, yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah mahar atau
maskawin bagi hamba sahaya perempuan yang hendak dinikahi, disamping harus atas
izin orang tuanya juga harus dibayar maharnya.
Istilah mahar dalam al-Qur’an identik
dengan istilah shadaq atau nihlah. Tapi kedua istilah itu jarang
digunakan, baik dalam realitas di masyarakat indonesia maupun dalam
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. istilah lain yang
memasyarakat adalah istilah maskawin, yang seolah-olah setiap mahar yang
diberikan laki-laki selalu berupa emas, meskipun kenyataanya hanya seperangkat alat
shalat.[13]
Adapun macam-macam mahar ada 3, yaitu :
1) Mahar al-Musamma, yaitu mahar yang disebutkan
dalam akad nikah atau selepas akad nikah dengan keridhaan kedua belah pihak.[14]
2) Mahar Mistl, dalam menentukan mahar jenis ini
ada perbedaan pendapat oleh ulama’ fikih, Menurut Hanafiyah mengemukakan bahwa
mahar ini sama nilainya dengan mahar yang diterima oleh perempuan yang menikah
dari pihak ayahnya ( seperti kakak, adik perempuan dan keponakan perempuan
ayah).[15] Sedangkan menurut
Hanbaliyyah adalah sejumlah mahar yang berlaku bagi keluarga wanita baik dari
pihak ayah dan ibu (seperti kakak, adik perempuan dan keponakan perempuan ayah
dan ibu)[16].
Ulama Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa mahar mistl dikembalikan kepada adat
kebiasaan yang berlaku didalam keluarga tersebut.[17]
3) Mahar Sir, yaitu mahar yang tidak disebutkan
ketika akad nikah, namun sudah disepakati jumlahnya sebelum akad nikah
dilangsungkan.[18]
3)
Hukum Memberikan Mahar dan Pendapat Ulama’.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa mahar tetap wajib diberikan
kepada istrinya, yang jumlah dan bentuknya diserahkan kepada pemufakatan
bersama antara calon mempelai wanita dan pria.[19] Mengenai ukuran besar kecilnya atau sedikit banyaknya
mahar yang diberikan pihak laki-laki, Islam tidak menetapkannya dengan tegas,
karena adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rizki. Pemberian
mahar terutama didasarkan kepada nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya.
Karenanya Islam menyerahkan masalah ini kepada masing-masing sesuai dengan
kemampuan dan adat yang berlaku, dengan syarat tidak berbentuk sesuatu yang
mendatangkan madharat, membahayakan atau berasal dari usaha yang haram.[20]
Para ulama dahulu
berbeda pendapat dalam menentukan kadar minimal maskawin:
1)
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas
kawin minimal senilai 3 dirham. Mereka meng-Qiyas-kan (menyamakan) hal
ini dengan wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai
3 dirham atau lebih. Dalam hal mahar, Imam Malik berpendapat bahwa besarnya
mahar minimal adalah sebesar 3 dirham atau seperempat dirham[21]
2)
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas
kawin paling sedikit 10 dirham atau dengan yang senilainya. Ini berlandaskan
bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang dari 10
dirham. Imam Hanafi juga menyatakan bahwa mahar di-Qiyas-kan dengan
hukum potong tangan bagi pencuri, yang mana menurut Imam Hanafi batas minimal
curian adalah 10 dirham.[22]
3)
Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada
batas minimal dalam mahar, mahar dapat berupa apapun dari mempelai pria baik
berupa materi maupun immateri.[23]Golongan
ketiga ini mendasarkan pendapatnya pada tiga dalil, yaitu dari al-Qur’an dan Sunnah. Pertama, Firman
Allah yang artinya: “Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (wanita yang
telah disebutkan dalam ayat 23-24 surat al-Nisa’), yaitu mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai” (Q.S.
al-Nisa’ : 24). Kalimat “amwaal” (harta) dalam ayat ini lafadznya umum
tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu, dan tidak ada dalil lain dari hadits
atau ijma’ para sahabat yang mengkhususkan kalimat ini, maka keumumannya
wajib diamalkan. Kedua, Hadits Rasulullah yang artinya : “Dari Sahl
bahwasannya seorang wanita menyerahkan dirinya kepada Nabi SAW,. Kemudian
tampil seorang laki-laki dan berkata: Ya Rosulullah, kawinkanlah saya dengan
wanita ini. Maka Rosulullah besabda apa yang ada disisimu? Laki-laki tersebut
menjawab: “saya tidak memiliki sesuatu” Rosulullah bersabda: pergilah mencari
sekalipun sebentuk cincin yang terbuat dari besi. Maka laki-laki tersebut pergi
kemudian kembali lagi, lalu berkata: “ demi Allah saya tidak mendapatkan
sesuatu, dan tidak memiliki cincin besi, akan tetapi inilah sarung saya dan
baginya separuh. Rosul berkata: maka tidak ada baginya yang dikembalikan dengan
sarungmu, jika kau memakainya maka kau tidak dapat apa-apa. Maka laki-laki
itupun duduk dalam waktu yang lama danketika ia berdiri, Rosulullah melihatnya
dan memanggilnya. Maka Rosulullah berkata kepadanya: apa yang ada padamu dari
(hafalan) al-Qur’an? Dia menjawab: “ saya menghafal surat begini dan surat
begini hingga beberapa surah. Maka Nabi Muhammad SAW berkata: saya
menjadikannya milikmu (menikahkanmu) dengan hafalan al-Qur’an yang ada padamu.[24]
Ketiga, Hadis Rosulullah SAW,. Dari Anas berkata: Abu Thalhah melamar
Ummu Sulaim maka dia berkata: Demi Allah, tidak ada (lelaki) yang sama
sepertimu. Akan tetapi, kau adalah seorang yang kafir sedang saya adalah
seorang muslimah, dan tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika kau
muslim (masuk Islam), maka itu adalah maharku, dan saya tidak meminta kepadamu
selain hal itu. Maka diapun (Abu Thalhah) masuk Islam dan itu adalah maharnya.[25]
Dengan demikian,
pendapat yang disepakati oleh jumhur Ulama adalah pendapat yang terakhir.
Jelaslah dengan demikian, bahwa mahar itu tidak ada batasannya. Apapun
bentuknya, berapapun jumlahnya, sampai barang yang paling sederhana sekali,
bahkan berupa bacaan al-Qur’an, yang penting bernilai dan berharga, maka sah
(layak) dijadikan mahar. Dan pendapat yang terakhir inilah yang paling rajih
(pendapat yang paling kuat argumen serta dalilnya).
4)
Kontekstualisasi Hadis
Melihat dalil-dalil
tentang mahar secara komparatif, hadis pada kajian kali ini bahwa Rosul
memberikan 500 dirham mahar pada setiap istri beliau merupakan salah satu dari
sekian banyak hadis yang membahas tentang kadar mahar yang wajib diberikan.
Mengacu pada pembahasan sebelumnya, bahwa mahar bersifat relatif, yaitu sesuai
kemampuan dan kesepakatan bersama antara calon pasutri, menunjukkan bahwa Rosul
adalah orang yang mampu dan orang yang sangat menghargai perempuan. Hemat
penulis, Rosul memberikan mahar secara sama rata adalah bentuk keadilan
Rosulullah kepada para isrinya. Jumlah Mahar yang diberikan Rosul semata-mata
adalah bentuk penghargaan dan kasih sayang yang Rosul berikan kepada para
istrinya.
Pada zaman sekarang
banyak kasus tentang mahar yang mustinya diluruskan, seperti pemberian mahar
justru dari mempelai wanita kepada pria, karena sudah membudaya maka hal itu
sulit untuk diluruskan. Kasus lain adalah orang tua atau wali dari seorang
perempuan yang menentukan mahar, bukan dari perempuan itu sendiri, padahal
seperti yang telah dijelaskan diatas, mahar adalah hak mutlaq seorang
istri yang diberikan oleh suami dengan suka rela.
Lalu pada kasus lain,
pada hari ini telah menjadi tren bahwa mahar adalah ”hiasan” seperti uang yang
disusun sedemikian rupa menjadi indah padahal nominalnya tidak seberapa, tentu
hal ini telah memenuhi syarat mahar apabila ini adalah permintaan sang istri,
namun dari segi kemanfaatan, sebaiknya bagi para wanita memilih mahar yang
memiliki azas manfaat didalamnya, hal ini lebih baik dari pada memilih mahar
yang tidak memiliki manfaat didalamnya, apalagi kalau sang pria adalah orang
yang mampu.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa. Mahar adalah
pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berupa
barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Perintah
mahar sendiri dilaksanakan Rasulullah kepada para istrinya sebesar 500 dirham, dan
hukumnya wajib. Sedangkan masalah batasan mahar terdapat beberapa pendapat oleh
Ulama’ Fiqh seperti halnya, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham. Ulama Syafi’iyah dan
Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal dan maksimal dalam
mahar. Dengan demikian, Hadis Nabi tersebut tetap relevan jika diaplikasikan
pada kontemporer saat sekarang ini. Karena perintah memberikan mahar dan ukuran
seberapa besar ukuran mahar tidak hanya berlandasakan pada satu hadis akan
tetapi banyak hadis lain yang menyinggung tentang topik yang sama. Oleh karena
itu yang perlu ditekankan adalah perintah memberikan mahar tersebut adalah
wajib bagi setiap muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Muslim
Ibn al-Hajaj, Abu al-Husain al-Naisaburi al-Qusayairi, Shahih Muslim, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008.
Boedi
Abdullah, Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim,
Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Zainuddin, Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2007.
Nawawi, Muhyiddin, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim, Beirut:
Daar al-Ma’rifah, 2007.
Iqbal, Muhaimin, Dinar The Real
Money, Jakarta: Gema Insani, 2009.
Warson, A Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Ad-Dardir Abdul Barakat, Asy-Syarhush
Shaqir ‘Ala Aqrabil Musalik Lid Dardir, Mesir: Dar Al-Ma’rifah, 1992
Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa
Adillatuhu , Damaskus: Daar al-Fikr, 2008
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007.
Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman al-Nasa’i, Sunan
al-Nasa’i, Halb: Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah, 1986.
[1]
Khoiruddin
Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2013), hlm. 20.
[3] Muslim Ibn
al-Hajaj, Abu al-Husain al-Naisaburi al-Qusayairi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), juz 2, hlm 344.
[4] Software Gawami’ al-Kaleem.
[5] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), hlm. 770
[6] Muhyiddin
An-Nawawi, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Ma’rifah,
2007), Juz 9, hlm. 218
[7] Muhyiddin
An-Nawawi, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim, hlm 218.
[8] Muhaimin
Iqbal, Dinar The Real Money, (Jakarta: Gema Insani, 2009), hlm. 30.
[9]
Ibnu Hamzah
al-Husaini, Asbabul Wurud: Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis
Rasul, (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), Jilid 2, hlm. 337.
[10] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), hlm. 1363
[11] Zainuddin Ali,
Hukum Perdata Islam Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 24
[12] Boedi
Abdullah, Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 69-70
[13] Boedi
Abdullah, Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 70-71
[14]
Az-Zuhaili, Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2008), juz 7, hlm. 260.
[15]
Az-Zuhaili, Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 261.
[19]
M. Ali
Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja
Prenada Media Group, 2006), cet. 2 hal. 116-118.
[21]
Ad-Dardir Abdul
Barakat, Asy-Syarhush Shaqir ‘Ala Aqrabil Musalik Lid Dardir, Jilid
II, (Mesir: Dar Al-Ma’rifah, 1992), hal.
28.
[23] Az-Zuhaili, Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2008), juz 7, hlm. 252.
[24]
Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar
al-Ma’rifah), Juz 3, hal. 246.
[25]
Ahmad bin Syu’aib Abu
Abdirrahman al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Juz VI, (Halb: Maktabah
al-Mathbu’at al-Islamiyah, 1986) Cet. II hal. 144 HADIS TENTANG MAHAR
A.
Latar Belakang
Hadis adalah sumber rujukan kedua setelah al-Qur’an. Hadis dan
al-Qur’an bagaikan kepingan mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan,
khususnya dalam memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan umat
islam. Salah satu problematika yang sering muncul adalah seputar pernikahan.
Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasulullah yang dianjurkan
bagi umatnya, karena pernikahan merupakan salah satu upaya untuk menjaga
keturunan (hifz an-nasl). Pernikahan adalah berkumpulnya dua insan yang
semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan
bermitra.[1]
Didalam suatu pernikahan sering kita dengar dengan istilah mahar.
Mahar adalah hak murni yang diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan sebagai ungkapan keinginan laki-laki terhadap perempuan, dan sebagai
salah satu bukti rasa cinta dan kasih sayang calon suami kepada calon istri,
mahar juga merupakan simbol untuk memuliakan, menghormati dan membahagiakan
perempuan yang akan menjadi istrinya.[2]
Berkaitan dengan mahar banyak sekali nash al-Qur’an ataupun Hadis
Nabi tentang hal tersebut, akan tetapi terkait pemberian mahar didalam realitas
masyarakat masih banyak sekali persoalan mahar yang masih belum terjawab
mengenai hukum pelaksanaan, kriteria mahar, bentuk mahar dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan mahar khusunya ditinjau berdasarkan hadis Nabi, maka dari itu
menarik sekali pembahasan tentang mahar dalam perpektif hadis untuk dikaji
lebih dalam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Hadis tentang mahar ?
2.
Apa
pengertian mahar?
3.
Bagaimana
Hukum Mahar dan pandangan Ulama’ tentang Mahar ?
4.
Bagaimana
Kontekstualisasi Hadis?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui bagaimana hadis tentang Mahar
2.
Untuk
mengetahui pengertian Mahar
3.
Untuk
mengetahui Hukum dan Pandangan Ulama tentang Mahar.
4.
Untuk
mengetahui Kontestualisasi Hadis tentang Mahar.
PEMBAHASAN
1)
Teks Hadis Tentang Mahar.
a. Teks Hadis
حدثنا إِسْحَاقَ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي
يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَرَ
الْمَكِّيُّ، وَاللَّفْظُ لَهُ: حدثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ، عَنْ يَزِيدَ، عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ كَمْ كَانَ صَدَاقُ رَسُولِ اللَّه
قَالَت: " كَانَ صَدَاقُهُ لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً
وَنَشًّا "، قَالَت: أَتَدْرِي مَا النَّشُّ، قَالَ: قُلْتُ: لَا،
قَالَت: نِصْفُ أُوقِيَّةٍ، فَتِلْكَ خَمْسُ مِائَةِ دِرْهَمٍ، فَهَذَا صَدَاقُ
رَسُولِ اللَّهِ لِأَزْوَاجِهِ ( رواه
مسلم )
Artinya:
“ Telah
menceritakan kepada kami Ishaq ibn Ibrahim telah mengabarkan kepada kami
Abdul Aziz Ibn Muhammad telah menceritakan kepadaku Yazid Ibn
Abdullah Ibn Usamah Ibn Mahdi. Dan diriwayatkan dari jalur lain,
telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibn Abi Umar al-Makki sedangkan
lafadnya dari dia, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Ibn Abdurrahman
bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya kepada ‘Aisyah. Berapakah
maskawin Rasulullah SAW? Dia menjawab; mahar beliau kepada istrinya adalah dua
belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu Nasy itu? Abu Salamah
berkata: menjawab; Tidak. ‘Aisyah menjawab; setengah uqiyah, jumlahnya
sama dengan lima ratus dirham. Demikianlah maskawin Rasulullah kepada
masing-masing istri beliau. ( HR Muslim no 1326).[3]
b.
Takhrij Hadis
Berdasarkan hadis diatas tentang mahar, terdapat bebarapa hadis yang selafadz dan
makna yang sama yaitu terdapat pada 22 macam redaksi yang terbagi dalam Kitab
hadis maupun Sekunder, yaitu diantaranya:
Sunan Ibn Majah ( 470), Sunan ad-Darimi (496), Musnad Ahmad Ibn
Hanbal (6246), Sunan Abi Awanah (1148), Sunan Daruqutni ( 957), Sunan Saghir
Baihaqy (498), Sunan Kabir Baihaqy (2717) dan (5175), dan lain sebagainya.[4]
c.
Mufrodat
Dengan demikian, berdasarkan hadis di atas bahwa mahar nabi adalah:
12 Uqiyyah + 1 Nasy
12 (40) + (20)
480 + 20 = 500 dirham
Sedangkan nilai 1 dirham = 3 gram (perak)[8]. Harga 1
gram(perak) saat ini sekitar Rp 11,000. Jadi 11,000 x 3= 33,000 Maka total mahar Nabi jika berbentuk rupiah
yaitu: 500 x 33,000 = Rp 16,500,000
d.
Asbabul Wurud
Secara implisit tidak ada riwayat yang jelas menggambarkan
bagaimana asbabul wurud hadis tersebut, akan tetapi secara eksplisit ada
sedikit penjelasan mengenai asbabul wurud mengenai hadis tentang mahar.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Uqbah, bahwa Rasulullah bertemu dua
seseorang laki-laki dan perempuan, kemudian Rasulullah bertanya kepada
laki-laki, “ Apakah kau rela menikahi si dia? Jawabnya : Ya. Kemudian
Rasulullah bertanya kepada si wanita. “ Apa kau suka? Ya. Akhirnya menikahlah
mereka tanpa mahar. Kemudian suatu hari seorang laki-laki tersebut ikut serta
dalam perang khaibar dan ia memesankan pada saat menjelang kematiannya dengan
wanita yang dikawininya untuk mengambil anak panahnya sebagai pemberian mahar,
lalu wanita tersebut menjual panah tersebut seharga 100 dirham, Kemudian
Rasulullah bersabda : Maskawin yang paling baik adalah yang mudah, sedangkan
maskawin yang paling sedikit dapat memberikan kesaksian dan diharapkan
berkahnya, Oleh sebab itu, Umar bin Khattab telah melarang maskawin yang
berlebih-lebihan, lalu katanya: Rasulullah dan putri-putrinya menikah dengan
maskawin yang tidak lebih dari 12 Uqiyah.[9]
2)
Pengertian Mahar
Mahar merupakan bentuk masdar dari kata mahara- yamhuru- mahran,
yang berarti mahar, emas kawin.[10]
Sedangkan menurut istilah, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria
kepada calon mempelai wanita, baik berupa barang, uang, atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum islam (pasal 1 huruf d KHI).[11] Di dalam al-Qur’an mahar disebut dengan
beberapa istilah yaitu shadaq, ujr.[12]
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah An-Nisa’:
4, yang berbunyi :
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ
شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) dengan senang hati.
Dalam ayat tersebut, menyebut mahar dengan
kata shaduq yang dimaknai sebagai pemberian yang penuh keikhlasan.
Sedangkan Kata ujr, terdapat dalam
surah An-Nisa’:25
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ...
Artinya:
Karena
itu, nikahilah budak tersebut atas izin tuannya dan berikahlah mahar yang
pantas.
Dalam ayat tersebut digunakan kata ajrun. Makna asalnya
adalah upah. Tetapi, yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah mahar atau
maskawin bagi hamba sahaya perempuan yang hendak dinikahi, disamping harus atas
izin orang tuanya juga harus dibayar maharnya.
Istilah mahar dalam al-Qur’an identik
dengan istilah shadaq atau nihlah. Tapi kedua istilah itu jarang
digunakan, baik dalam realitas di masyarakat indonesia maupun dalam
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. istilah lain yang
memasyarakat adalah istilah maskawin, yang seolah-olah setiap mahar yang
diberikan laki-laki selalu berupa emas, meskipun kenyataanya hanya seperangkat alat
shalat.[13]
Adapun macam-macam mahar ada 3, yaitu :
1) Mahar al-Musamma, yaitu mahar yang disebutkan
dalam akad nikah atau selepas akad nikah dengan keridhaan kedua belah pihak.[14]
2) Mahar Mistl, dalam menentukan mahar jenis ini
ada perbedaan pendapat oleh ulama’ fikih, Menurut Hanafiyah mengemukakan bahwa
mahar ini sama nilainya dengan mahar yang diterima oleh perempuan yang menikah
dari pihak ayahnya ( seperti kakak, adik perempuan dan keponakan perempuan
ayah).[15] Sedangkan menurut
Hanbaliyyah adalah sejumlah mahar yang berlaku bagi keluarga wanita baik dari
pihak ayah dan ibu (seperti kakak, adik perempuan dan keponakan perempuan ayah
dan ibu)[16].
Ulama Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa mahar mistl dikembalikan kepada adat
kebiasaan yang berlaku didalam keluarga tersebut.[17]
3) Mahar Sir, yaitu mahar yang tidak disebutkan
ketika akad nikah, namun sudah disepakati jumlahnya sebelum akad nikah
dilangsungkan.[18]
3)
Hukum Memberikan Mahar dan Pendapat Ulama’.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa mahar tetap wajib diberikan
kepada istrinya, yang jumlah dan bentuknya diserahkan kepada pemufakatan
bersama antara calon mempelai wanita dan pria.[19] Mengenai ukuran besar kecilnya atau sedikit banyaknya
mahar yang diberikan pihak laki-laki, Islam tidak menetapkannya dengan tegas,
karena adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rizki. Pemberian
mahar terutama didasarkan kepada nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya.
Karenanya Islam menyerahkan masalah ini kepada masing-masing sesuai dengan
kemampuan dan adat yang berlaku, dengan syarat tidak berbentuk sesuatu yang
mendatangkan madharat, membahayakan atau berasal dari usaha yang haram.[20]
Para ulama dahulu
berbeda pendapat dalam menentukan kadar minimal maskawin:
1)
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas
kawin minimal senilai 3 dirham. Mereka meng-Qiyas-kan (menyamakan) hal
ini dengan wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai
3 dirham atau lebih. Dalam hal mahar, Imam Malik berpendapat bahwa besarnya
mahar minimal adalah sebesar 3 dirham atau seperempat dirham[21]
2)
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas
kawin paling sedikit 10 dirham atau dengan yang senilainya. Ini berlandaskan
bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang dari 10
dirham. Imam Hanafi juga menyatakan bahwa mahar di-Qiyas-kan dengan
hukum potong tangan bagi pencuri, yang mana menurut Imam Hanafi batas minimal
curian adalah 10 dirham.[22]
3)
Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada
batas minimal dalam mahar, mahar dapat berupa apapun dari mempelai pria baik
berupa materi maupun immateri.[23]Golongan
ketiga ini mendasarkan pendapatnya pada tiga dalil, yaitu dari al-Qur’an dan Sunnah. Pertama, Firman
Allah yang artinya: “Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (wanita yang
telah disebutkan dalam ayat 23-24 surat al-Nisa’), yaitu mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai” (Q.S.
al-Nisa’ : 24). Kalimat “amwaal” (harta) dalam ayat ini lafadznya umum
tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu, dan tidak ada dalil lain dari hadits
atau ijma’ para sahabat yang mengkhususkan kalimat ini, maka keumumannya
wajib diamalkan. Kedua, Hadits Rasulullah yang artinya : “Dari Sahl
bahwasannya seorang wanita menyerahkan dirinya kepada Nabi SAW,. Kemudian
tampil seorang laki-laki dan berkata: Ya Rosulullah, kawinkanlah saya dengan
wanita ini. Maka Rosulullah besabda apa yang ada disisimu? Laki-laki tersebut
menjawab: “saya tidak memiliki sesuatu” Rosulullah bersabda: pergilah mencari
sekalipun sebentuk cincin yang terbuat dari besi. Maka laki-laki tersebut pergi
kemudian kembali lagi, lalu berkata: “ demi Allah saya tidak mendapatkan
sesuatu, dan tidak memiliki cincin besi, akan tetapi inilah sarung saya dan
baginya separuh. Rosul berkata: maka tidak ada baginya yang dikembalikan dengan
sarungmu, jika kau memakainya maka kau tidak dapat apa-apa. Maka laki-laki
itupun duduk dalam waktu yang lama danketika ia berdiri, Rosulullah melihatnya
dan memanggilnya. Maka Rosulullah berkata kepadanya: apa yang ada padamu dari
(hafalan) al-Qur’an? Dia menjawab: “ saya menghafal surat begini dan surat
begini hingga beberapa surah. Maka Nabi Muhammad SAW berkata: saya
menjadikannya milikmu (menikahkanmu) dengan hafalan al-Qur’an yang ada padamu.[24]
Ketiga, Hadis Rosulullah SAW,. Dari Anas berkata: Abu Thalhah melamar
Ummu Sulaim maka dia berkata: Demi Allah, tidak ada (lelaki) yang sama
sepertimu. Akan tetapi, kau adalah seorang yang kafir sedang saya adalah
seorang muslimah, dan tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika kau
muslim (masuk Islam), maka itu adalah maharku, dan saya tidak meminta kepadamu
selain hal itu. Maka diapun (Abu Thalhah) masuk Islam dan itu adalah maharnya.[25]
Dengan demikian,
pendapat yang disepakati oleh jumhur Ulama adalah pendapat yang terakhir.
Jelaslah dengan demikian, bahwa mahar itu tidak ada batasannya. Apapun
bentuknya, berapapun jumlahnya, sampai barang yang paling sederhana sekali,
bahkan berupa bacaan al-Qur’an, yang penting bernilai dan berharga, maka sah
(layak) dijadikan mahar. Dan pendapat yang terakhir inilah yang paling rajih
(pendapat yang paling kuat argumen serta dalilnya).
4)
Kontekstualisasi Hadis
Melihat dalil-dalil
tentang mahar secara komparatif, hadis pada kajian kali ini bahwa Rosul
memberikan 500 dirham mahar pada setiap istri beliau merupakan salah satu dari
sekian banyak hadis yang membahas tentang kadar mahar yang wajib diberikan.
Mengacu pada pembahasan sebelumnya, bahwa mahar bersifat relatif, yaitu sesuai
kemampuan dan kesepakatan bersama antara calon pasutri, menunjukkan bahwa Rosul
adalah orang yang mampu dan orang yang sangat menghargai perempuan. Hemat
penulis, Rosul memberikan mahar secara sama rata adalah bentuk keadilan
Rosulullah kepada para isrinya. Jumlah Mahar yang diberikan Rosul semata-mata
adalah bentuk penghargaan dan kasih sayang yang Rosul berikan kepada para
istrinya.
Pada zaman sekarang
banyak kasus tentang mahar yang mustinya diluruskan, seperti pemberian mahar
justru dari mempelai wanita kepada pria, karena sudah membudaya maka hal itu
sulit untuk diluruskan. Kasus lain adalah orang tua atau wali dari seorang
perempuan yang menentukan mahar, bukan dari perempuan itu sendiri, padahal
seperti yang telah dijelaskan diatas, mahar adalah hak mutlaq seorang
istri yang diberikan oleh suami dengan suka rela.
Lalu pada kasus lain,
pada hari ini telah menjadi tren bahwa mahar adalah ”hiasan” seperti uang yang
disusun sedemikian rupa menjadi indah padahal nominalnya tidak seberapa, tentu
hal ini telah memenuhi syarat mahar apabila ini adalah permintaan sang istri,
namun dari segi kemanfaatan, sebaiknya bagi para wanita memilih mahar yang
memiliki azas manfaat didalamnya, hal ini lebih baik dari pada memilih mahar
yang tidak memiliki manfaat didalamnya, apalagi kalau sang pria adalah orang
yang mampu.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa. Mahar adalah
pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berupa
barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Perintah
mahar sendiri dilaksanakan Rasulullah kepada para istrinya sebesar 500 dirham, dan
hukumnya wajib. Sedangkan masalah batasan mahar terdapat beberapa pendapat oleh
Ulama’ Fiqh seperti halnya, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham. Ulama Syafi’iyah dan
Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal dan maksimal dalam
mahar. Dengan demikian, Hadis Nabi tersebut tetap relevan jika diaplikasikan
pada kontemporer saat sekarang ini. Karena perintah memberikan mahar dan ukuran
seberapa besar ukuran mahar tidak hanya berlandasakan pada satu hadis akan
tetapi banyak hadis lain yang menyinggung tentang topik yang sama. Oleh karena
itu yang perlu ditekankan adalah perintah memberikan mahar tersebut adalah
wajib bagi setiap muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Muslim
Ibn al-Hajaj, Abu al-Husain al-Naisaburi al-Qusayairi, Shahih Muslim, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008.
Boedi
Abdullah, Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim,
Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Zainuddin, Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2007.
Nawawi, Muhyiddin, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim, Beirut:
Daar al-Ma’rifah, 2007.
Iqbal, Muhaimin, Dinar The Real
Money, Jakarta: Gema Insani, 2009.
Warson, A Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Ad-Dardir Abdul Barakat, Asy-Syarhush
Shaqir ‘Ala Aqrabil Musalik Lid Dardir, Mesir: Dar Al-Ma’rifah, 1992
Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa
Adillatuhu , Damaskus: Daar al-Fikr, 2008
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007.
Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman al-Nasa’i, Sunan
al-Nasa’i, Halb: Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah, 1986.
[1]
Khoiruddin
Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2013), hlm. 20.
[3] Muslim Ibn
al-Hajaj, Abu al-Husain al-Naisaburi al-Qusayairi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), juz 2, hlm 344.
[4] Software Gawami’ al-Kaleem.
[5] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), hlm. 770
[6] Muhyiddin
An-Nawawi, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Ma’rifah,
2007), Juz 9, hlm. 218
[7] Muhyiddin
An-Nawawi, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim, hlm 218.
[8] Muhaimin
Iqbal, Dinar The Real Money, (Jakarta: Gema Insani, 2009), hlm. 30.
[9]
Ibnu Hamzah
al-Husaini, Asbabul Wurud: Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis
Rasul, (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), Jilid 2, hlm. 337.
[10] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), hlm. 1363
[11] Zainuddin Ali,
Hukum Perdata Islam Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 24
[12] Boedi
Abdullah, Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 69-70
[13] Boedi
Abdullah, Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 70-71
[14]
Az-Zuhaili, Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2008), juz 7, hlm. 260.
[15]
Az-Zuhaili, Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 261.
[19]
M. Ali
Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja
Prenada Media Group, 2006), cet. 2 hal. 116-118.
[21]
Ad-Dardir Abdul
Barakat, Asy-Syarhush Shaqir ‘Ala Aqrabil Musalik Lid Dardir, Jilid
II, (Mesir: Dar Al-Ma’rifah, 1992), hal.
28.
[23] Az-Zuhaili, Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2008), juz 7, hlm. 252.
[24]
Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar
al-Ma’rifah), Juz 3, hal. 246.
[25]
Ahmad bin Syu’aib Abu
Abdirrahman al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Juz VI, (Halb: Maktabah
al-Mathbu’at al-Islamiyah, 1986) Cet. II hal. 144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar