Minggu, 29 Oktober 2017

HADIS TENTANG MAHAR

HADIS TENTANG MAHAR
A.    Latar Belakang
Hadis adalah sumber rujukan kedua setelah al-Qur’an. Hadis dan al-Qur’an bagaikan kepingan mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan umat islam. Salah satu problematika yang sering muncul adalah seputar pernikahan.
Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasulullah yang dianjurkan bagi umatnya, karena pernikahan merupakan salah satu upaya untuk menjaga keturunan (hifz an-nasl). Pernikahan adalah berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra.[1]
Didalam suatu pernikahan sering kita dengar dengan istilah mahar. Mahar adalah hak murni yang diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sebagai ungkapan keinginan laki-laki terhadap perempuan, dan sebagai salah satu bukti rasa cinta dan kasih sayang calon suami kepada calon istri, mahar juga merupakan simbol untuk memuliakan, menghormati dan membahagiakan perempuan yang akan menjadi istrinya.[2]
Berkaitan dengan mahar banyak sekali nash al-Qur’an ataupun Hadis Nabi tentang hal tersebut, akan tetapi terkait pemberian mahar didalam realitas masyarakat masih banyak sekali persoalan mahar yang masih belum terjawab mengenai hukum pelaksanaan, kriteria mahar, bentuk mahar dan hal-hal lain yang berkaitan dengan mahar khusunya ditinjau berdasarkan hadis Nabi, maka dari itu menarik sekali pembahasan tentang mahar dalam perpektif hadis untuk dikaji lebih dalam.



B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Hadis tentang mahar ?
2.      Apa pengertian mahar?
3.      Bagaimana Hukum Mahar dan pandangan Ulama’ tentang Mahar ?
4.      Bagaimana Kontekstualisasi Hadis?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana hadis tentang Mahar
2.      Untuk mengetahui pengertian Mahar
3.      Untuk mengetahui Hukum dan Pandangan Ulama tentang Mahar.
4.      Untuk mengetahui Kontestualisasi Hadis tentang Mahar.















 PEMBAHASAN
1)      Teks Hadis Tentang Mahar.
a. Teks Hadis
حدثنا إِسْحَاقَ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ  وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَرَ الْمَكِّيُّ، وَاللَّفْظُ لَهُ: حدثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ، عَنْ يَزِيدَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ  كَمْ كَانَ صَدَاقُ رَسُولِ اللَّه قَالَت: " كَانَ صَدَاقُهُ لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً وَنَشًّا "، قَالَت: أَتَدْرِي مَا النَّشُّ، قَالَ: قُلْتُ: لَا، قَالَت: نِصْفُ أُوقِيَّةٍ، فَتِلْكَ خَمْسُ مِائَةِ دِرْهَمٍ، فَهَذَا صَدَاقُ رَسُولِ اللَّهِ  لِأَزْوَاجِهِ ( رواه مسلم )
 Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibn Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Abdul Aziz Ibn Muhammad telah menceritakan kepadaku Yazid Ibn Abdullah Ibn Usamah Ibn Mahdi. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibn Abi Umar al-Makki sedangkan lafadnya dari dia, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Ibn Abdurrahman bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya kepada ‘Aisyah. Berapakah maskawin Rasulullah SAW? Dia menjawab; mahar beliau kepada istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu Nasy itu? Abu Salamah berkata: menjawab; Tidak. ‘Aisyah menjawab; setengah uqiyah, jumlahnya sama dengan lima ratus dirham. Demikianlah maskawin Rasulullah kepada masing-masing istri beliau. ( HR Muslim no 1326).[3]
b.      Takhrij Hadis
Berdasarkan hadis diatas tentang mahar,  terdapat bebarapa hadis yang selafadz dan makna yang sama yaitu terdapat pada 22 macam redaksi yang terbagi dalam Kitab hadis maupun Sekunder, yaitu diantaranya:
Sunan Ibn Majah ( 470), Sunan ad-Darimi (496), Musnad Ahmad Ibn Hanbal (6246), Sunan Abi Awanah (1148), Sunan Daruqutni ( 957), Sunan Saghir Baihaqy (498), Sunan Kabir Baihaqy (2717) dan (5175), dan lain sebagainya.[4]
c.       Mufrodat
صَدَاقُ adalah Mahar atau Maskawin.[5]
أُوقِيَّةً  Menurut Hijaz 1 Uqiyah sebesar 40 dirham[6].
النَّشُّ 1 Nasy adalah  1/2 Uqiyah = 20 dirham.[7]
Dengan demikian, berdasarkan hadis di atas bahwa mahar nabi adalah:
12 Uqiyyah + 1 Nasy
12 (40) +  (20)
480 + 20 = 500 dirham
Sedangkan nilai 1 dirham = 3 gram (perak)[8]. Harga 1 gram(perak) saat ini sekitar Rp 11,000. Jadi 11,000 x 3= 33,000  Maka total mahar Nabi jika berbentuk rupiah yaitu: 500 x 33,000 = Rp 16,500,000     
d.      Asbabul Wurud
Secara implisit tidak ada riwayat yang jelas menggambarkan bagaimana asbabul wurud hadis tersebut, akan tetapi secara eksplisit ada sedikit penjelasan mengenai asbabul wurud mengenai hadis tentang mahar. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Uqbah, bahwa Rasulullah bertemu dua seseorang laki-laki dan perempuan, kemudian Rasulullah bertanya kepada laki-laki, “ Apakah kau rela menikahi si dia? Jawabnya : Ya. Kemudian Rasulullah bertanya kepada si wanita. “ Apa kau suka? Ya. Akhirnya menikahlah mereka tanpa mahar. Kemudian suatu hari seorang laki-laki tersebut ikut serta dalam perang khaibar dan ia memesankan pada saat menjelang kematiannya dengan wanita yang dikawininya untuk mengambil anak panahnya sebagai pemberian mahar, lalu wanita tersebut menjual panah tersebut seharga 100 dirham, Kemudian Rasulullah bersabda : Maskawin yang paling baik adalah yang mudah, sedangkan maskawin yang paling sedikit dapat memberikan kesaksian dan diharapkan berkahnya, Oleh sebab itu, Umar bin Khattab telah melarang maskawin yang berlebih-lebihan, lalu katanya: Rasulullah dan putri-putrinya menikah dengan maskawin yang tidak lebih dari 12 Uqiyah.[9]
2)      Pengertian Mahar
Mahar merupakan bentuk masdar dari kata mahara- yamhuru- mahran, yang berarti mahar, emas kawin.[10] Sedangkan menurut istilah, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berupa barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam (pasal 1 huruf d KHI).[11]  Di dalam al-Qur’an mahar disebut dengan beberapa istilah yaitu shadaq, ujr.[12]
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah An-Nisa’: 4, yang berbunyi :
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) dengan senang hati.
Dalam ayat tersebut, menyebut mahar dengan kata shaduq yang dimaknai sebagai pemberian yang penuh keikhlasan.
Sedangkan Kata ujr, terdapat dalam surah An-Nisa’:25

 فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ...
Artinya:
Karena itu, nikahilah budak tersebut atas izin tuannya dan berikahlah mahar yang pantas.
Dalam ayat tersebut digunakan kata ajrun. Makna asalnya adalah upah. Tetapi, yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah mahar atau maskawin bagi hamba sahaya perempuan yang hendak dinikahi, disamping harus atas izin orang tuanya juga harus dibayar maharnya.
Istilah mahar dalam al-Qur’an identik dengan istilah shadaq atau nihlah. Tapi kedua istilah itu jarang digunakan, baik dalam realitas di masyarakat indonesia maupun dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. istilah lain yang memasyarakat adalah istilah maskawin, yang seolah-olah setiap mahar yang diberikan laki-laki selalu berupa emas, meskipun kenyataanya hanya seperangkat alat shalat.[13]
Adapun macam-macam mahar ada 3, yaitu :
1)      Mahar al-Musamma, yaitu mahar yang disebutkan dalam akad nikah atau selepas akad nikah dengan keridhaan kedua belah pihak.[14]
2)      Mahar Mistl, dalam menentukan mahar jenis ini ada perbedaan pendapat oleh ulama’ fikih, Menurut Hanafiyah mengemukakan bahwa mahar ini sama nilainya dengan mahar yang diterima oleh perempuan yang menikah dari pihak ayahnya ( seperti kakak, adik perempuan dan keponakan perempuan ayah).[15] Sedangkan menurut Hanbaliyyah adalah sejumlah mahar yang berlaku bagi keluarga wanita baik dari pihak ayah dan ibu (seperti kakak, adik perempuan dan keponakan perempuan ayah dan ibu)[16]. Ulama Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa mahar mistl dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku didalam keluarga tersebut.[17]

3)      Mahar Sir, yaitu mahar yang tidak disebutkan ketika akad nikah, namun sudah disepakati jumlahnya sebelum akad nikah dilangsungkan.[18]

3)      Hukum Memberikan Mahar dan Pendapat Ulama’.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa mahar tetap wajib diberikan kepada istrinya, yang jumlah dan bentuknya diserahkan kepada pemufakatan bersama antara calon mempelai wanita dan pria.[19] Mengenai ukuran besar kecilnya atau sedikit banyaknya mahar yang diberikan pihak laki-laki, Islam tidak menetapkannya dengan tegas, karena adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rizki. Pemberian mahar terutama didasarkan kepada nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Karenanya Islam menyerahkan masalah ini kepada masing-masing sesuai dengan kemampuan dan adat yang berlaku, dengan syarat tidak berbentuk sesuatu yang mendatangkan madharat, membahayakan atau berasal dari usaha yang haram.[20]
Para ulama dahulu berbeda pendapat dalam menentukan kadar minimal maskawin:
1)      Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Mereka meng-Qiyas-kan (menyamakan) hal ini dengan wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai 3 dirham atau lebih. Dalam hal mahar, Imam Malik berpendapat bahwa besarnya mahar minimal adalah sebesar 3 dirham atau seperempat dirham[21]
2)      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau dengan yang senilainya. Ini berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang dari 10 dirham. Imam Hanafi juga menyatakan bahwa mahar di-Qiyas-kan dengan hukum potong tangan bagi pencuri, yang mana menurut Imam Hanafi batas minimal curian adalah 10 dirham.[22]
3)      Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal dalam mahar, mahar dapat berupa apapun dari mempelai pria baik berupa materi maupun immateri.[23]Golongan ketiga ini mendasarkan pendapatnya pada tiga dalil, yaitu dari  al-Qur’an dan Sunnah. Pertama, Firman Allah yang artinya: “Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (wanita yang telah disebutkan dalam ayat 23-24 surat al-Nisa’), yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai” (Q.S. al-Nisa’ : 24). Kalimat “amwaal” (harta) dalam ayat ini lafadznya umum tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu, dan tidak ada dalil lain dari hadits atau ijma’ para sahabat yang mengkhususkan kalimat ini, maka keumumannya wajib diamalkan. Kedua, Hadits Rasulullah yang artinya : “Dari Sahl bahwasannya seorang wanita menyerahkan dirinya kepada Nabi SAW,. Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata: Ya Rosulullah, kawinkanlah saya dengan wanita ini. Maka Rosulullah besabda apa yang ada disisimu? Laki-laki tersebut menjawab: “saya tidak memiliki sesuatu” Rosulullah bersabda: pergilah mencari sekalipun sebentuk cincin yang terbuat dari besi. Maka laki-laki tersebut pergi kemudian kembali lagi, lalu berkata: “ demi Allah saya tidak mendapatkan sesuatu, dan tidak memiliki cincin besi, akan tetapi inilah sarung saya dan baginya separuh. Rosul berkata: maka tidak ada baginya yang dikembalikan dengan sarungmu, jika kau memakainya maka kau tidak dapat apa-apa. Maka laki-laki itupun duduk dalam waktu yang lama danketika ia berdiri, Rosulullah melihatnya dan memanggilnya. Maka Rosulullah berkata kepadanya: apa yang ada padamu dari (hafalan) al-Qur’an? Dia menjawab: “ saya menghafal surat begini dan surat begini hingga beberapa surah. Maka Nabi Muhammad SAW berkata: saya menjadikannya milikmu (menikahkanmu) dengan hafalan al-Qur’an yang ada padamu.[24] Ketiga, Hadis Rosulullah SAW,. Dari Anas berkata: Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim maka dia berkata: Demi Allah, tidak ada (lelaki) yang sama sepertimu. Akan tetapi, kau adalah seorang yang kafir sedang saya adalah seorang muslimah, dan tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika kau muslim (masuk Islam), maka itu adalah maharku, dan saya tidak meminta kepadamu selain hal itu. Maka diapun (Abu Thalhah) masuk Islam dan itu adalah maharnya.[25]
Dengan demikian, pendapat yang disepakati oleh jumhur Ulama adalah pendapat yang terakhir. Jelaslah dengan demikian, bahwa mahar itu tidak ada batasannya. Apapun bentuknya, berapapun jumlahnya, sampai barang yang paling sederhana sekali, bahkan berupa bacaan al-Qur’an, yang penting bernilai dan berharga, maka sah (layak) dijadikan mahar. Dan pendapat yang terakhir inilah yang paling rajih (pendapat yang paling kuat argumen serta dalilnya).
4)      Kontekstualisasi Hadis
Melihat dalil-dalil tentang mahar secara komparatif, hadis pada kajian kali ini bahwa Rosul memberikan 500 dirham mahar pada setiap istri beliau merupakan salah satu dari sekian banyak hadis yang membahas tentang kadar mahar yang wajib diberikan. Mengacu pada pembahasan sebelumnya, bahwa mahar bersifat relatif, yaitu sesuai kemampuan dan kesepakatan bersama antara calon pasutri, menunjukkan bahwa Rosul adalah orang yang mampu dan orang yang sangat menghargai perempuan. Hemat penulis, Rosul memberikan mahar secara sama rata adalah bentuk keadilan Rosulullah kepada para isrinya. Jumlah Mahar yang diberikan Rosul semata-mata adalah bentuk penghargaan dan kasih sayang yang Rosul berikan kepada para istrinya.
Pada zaman sekarang banyak kasus tentang mahar yang mustinya diluruskan, seperti pemberian mahar justru dari mempelai wanita kepada pria, karena sudah membudaya maka hal itu sulit untuk diluruskan. Kasus lain adalah orang tua atau wali dari seorang perempuan yang menentukan mahar, bukan dari perempuan itu sendiri, padahal seperti yang telah dijelaskan diatas, mahar adalah hak mutlaq seorang istri yang diberikan oleh suami dengan suka rela.
Lalu pada kasus lain, pada hari ini telah menjadi tren bahwa mahar adalah ”hiasan” seperti uang yang disusun sedemikian rupa menjadi indah padahal nominalnya tidak seberapa, tentu hal ini telah memenuhi syarat mahar apabila ini adalah permintaan sang istri, namun dari segi kemanfaatan, sebaiknya bagi para wanita memilih mahar yang memiliki azas manfaat didalamnya, hal ini lebih baik dari pada memilih mahar yang tidak memiliki manfaat didalamnya, apalagi kalau sang pria adalah orang yang mampu.








PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berupa barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Perintah mahar sendiri dilaksanakan Rasulullah kepada para istrinya sebesar 500 dirham, dan hukumnya wajib. Sedangkan masalah batasan mahar terdapat beberapa pendapat oleh Ulama’ Fiqh seperti halnya, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham. Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal dan maksimal dalam mahar. Dengan demikian, Hadis Nabi tersebut tetap relevan jika diaplikasikan pada kontemporer saat sekarang ini. Karena perintah memberikan mahar dan ukuran seberapa besar ukuran mahar tidak hanya berlandasakan pada satu hadis akan tetapi banyak hadis lain yang menyinggung tentang topik yang sama. Oleh karena itu yang perlu ditekankan adalah perintah memberikan mahar tersebut adalah wajib bagi setiap muslim.










DAFTAR PUSTAKA

Muslim Ibn al-Hajaj, Abu al-Husain al-Naisaburi al-Qusayairi, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008.
Boedi Abdullah, Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim, Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Zainuddin, Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Nawawi, Muhyiddin, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim, Beirut: Daar al-Ma’rifah, 2007.
Iqbal, Muhaimin, Dinar The Real Money, Jakarta: Gema Insani, 2009.
Warson, A Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Ad-Dardir Abdul Barakat, Asy-Syarhush Shaqir ‘Ala Aqrabil Musalik Lid Dardir, Mesir: Dar Al-Ma’rifah, 1992
Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu  , Damaskus: Daar al-Fikr, 2008
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007.
Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Halb: Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah, 1986.






[1] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2013), hlm. 20.
[2] Shalih bin Ghanim, al-Sadlan, Seputar Pernikahan, (Jakarta: Darul Haq, 2002), hlm. 27.
[3] Muslim Ibn al-Hajaj, Abu al-Husain al-Naisaburi al-Qusayairi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), juz 2, hlm 344.
[4]  Software Gawami’ al-Kaleem.
[5] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 770
[6] Muhyiddin An-Nawawi, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Ma’rifah, 2007), Juz 9, hlm. 218
[7] Muhyiddin An-Nawawi, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim, hlm 218.
[8] Muhaimin Iqbal, Dinar The Real Money, (Jakarta: Gema Insani, 2009), hlm. 30.
[9] Ibnu Hamzah al-Husaini, Asbabul Wurud: Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul, (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), Jilid 2, hlm. 337.
[10] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1363
[11] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 24
[12] Boedi Abdullah, Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 69-70
[13] Boedi Abdullah, Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 70-71
[14] Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2008), juz 7, hlm. 260.
[15] Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 261.
[16] Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 261.
[17] Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 262.
[18] Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 263.
[19] M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja Prenada Media Group, 2006), cet. 2 hal. 116-118.
[20] D. Zainuddin, “ Fiqih Madrasah Aliyah “. (Jakarta: Pt Karya Thoha Putra, 2003), hal. 190.
[21] Ad-Dardir Abdul Barakat, Asy-Syarhush Shaqir ‘Ala Aqrabil Musalik Lid Dardir, Jilid II,  (Mesir: Dar Al-Ma’rifah, 1992), hal. 28.
Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu  , (Damaskus: Daar al-Fikr, 2008),juz 7,  hlm. 252
[23] Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2008), juz 7, hlm. 252.
[24] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah), Juz 3, hal. 246.
[25] Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Juz VI, (Halb: Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah, 1986) Cet. II hal. 144HADIS TENTANG MAHAR
A.    Latar Belakang
Hadis adalah sumber rujukan kedua setelah al-Qur’an. Hadis dan al-Qur’an bagaikan kepingan mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan umat islam. Salah satu problematika yang sering muncul adalah seputar pernikahan.
Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasulullah yang dianjurkan bagi umatnya, karena pernikahan merupakan salah satu upaya untuk menjaga keturunan (hifz an-nasl). Pernikahan adalah berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra.[1]
Didalam suatu pernikahan sering kita dengar dengan istilah mahar. Mahar adalah hak murni yang diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sebagai ungkapan keinginan laki-laki terhadap perempuan, dan sebagai salah satu bukti rasa cinta dan kasih sayang calon suami kepada calon istri, mahar juga merupakan simbol untuk memuliakan, menghormati dan membahagiakan perempuan yang akan menjadi istrinya.[2]
Berkaitan dengan mahar banyak sekali nash al-Qur’an ataupun Hadis Nabi tentang hal tersebut, akan tetapi terkait pemberian mahar didalam realitas masyarakat masih banyak sekali persoalan mahar yang masih belum terjawab mengenai hukum pelaksanaan, kriteria mahar, bentuk mahar dan hal-hal lain yang berkaitan dengan mahar khusunya ditinjau berdasarkan hadis Nabi, maka dari itu menarik sekali pembahasan tentang mahar dalam perpektif hadis untuk dikaji lebih dalam.



B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Hadis tentang mahar ?
2.      Apa pengertian mahar?
3.      Bagaimana Hukum Mahar dan pandangan Ulama’ tentang Mahar ?
4.      Bagaimana Kontekstualisasi Hadis?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana hadis tentang Mahar
2.      Untuk mengetahui pengertian Mahar
3.      Untuk mengetahui Hukum dan Pandangan Ulama tentang Mahar.
4.      Untuk mengetahui Kontestualisasi Hadis tentang Mahar.















 PEMBAHASAN
1)      Teks Hadis Tentang Mahar.
a. Teks Hadis
حدثنا إِسْحَاقَ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ  وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَرَ الْمَكِّيُّ، وَاللَّفْظُ لَهُ: حدثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ، عَنْ يَزِيدَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ  كَمْ كَانَ صَدَاقُ رَسُولِ اللَّه قَالَت: " كَانَ صَدَاقُهُ لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً وَنَشًّا "، قَالَت: أَتَدْرِي مَا النَّشُّ، قَالَ: قُلْتُ: لَا، قَالَت: نِصْفُ أُوقِيَّةٍ، فَتِلْكَ خَمْسُ مِائَةِ دِرْهَمٍ، فَهَذَا صَدَاقُ رَسُولِ اللَّهِ  لِأَزْوَاجِهِ ( رواه مسلم )
 Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibn Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Abdul Aziz Ibn Muhammad telah menceritakan kepadaku Yazid Ibn Abdullah Ibn Usamah Ibn Mahdi. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibn Abi Umar al-Makki sedangkan lafadnya dari dia, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Ibn Abdurrahman bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya kepada ‘Aisyah. Berapakah maskawin Rasulullah SAW? Dia menjawab; mahar beliau kepada istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu Nasy itu? Abu Salamah berkata: menjawab; Tidak. ‘Aisyah menjawab; setengah uqiyah, jumlahnya sama dengan lima ratus dirham. Demikianlah maskawin Rasulullah kepada masing-masing istri beliau. ( HR Muslim no 1326).[3]
b.      Takhrij Hadis
Berdasarkan hadis diatas tentang mahar,  terdapat bebarapa hadis yang selafadz dan makna yang sama yaitu terdapat pada 22 macam redaksi yang terbagi dalam Kitab hadis maupun Sekunder, yaitu diantaranya:
Sunan Ibn Majah ( 470), Sunan ad-Darimi (496), Musnad Ahmad Ibn Hanbal (6246), Sunan Abi Awanah (1148), Sunan Daruqutni ( 957), Sunan Saghir Baihaqy (498), Sunan Kabir Baihaqy (2717) dan (5175), dan lain sebagainya.[4]
c.       Mufrodat
صَدَاقُ adalah Mahar atau Maskawin.[5]
أُوقِيَّةً  Menurut Hijaz 1 Uqiyah sebesar 40 dirham[6].
النَّشُّ 1 Nasy adalah  1/2 Uqiyah = 20 dirham.[7]
Dengan demikian, berdasarkan hadis di atas bahwa mahar nabi adalah:
12 Uqiyyah + 1 Nasy
12 (40) +  (20)
480 + 20 = 500 dirham
Sedangkan nilai 1 dirham = 3 gram (perak)[8]. Harga 1 gram(perak) saat ini sekitar Rp 11,000. Jadi 11,000 x 3= 33,000  Maka total mahar Nabi jika berbentuk rupiah yaitu: 500 x 33,000 = Rp 16,500,000     
d.      Asbabul Wurud
Secara implisit tidak ada riwayat yang jelas menggambarkan bagaimana asbabul wurud hadis tersebut, akan tetapi secara eksplisit ada sedikit penjelasan mengenai asbabul wurud mengenai hadis tentang mahar. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Uqbah, bahwa Rasulullah bertemu dua seseorang laki-laki dan perempuan, kemudian Rasulullah bertanya kepada laki-laki, “ Apakah kau rela menikahi si dia? Jawabnya : Ya. Kemudian Rasulullah bertanya kepada si wanita. “ Apa kau suka? Ya. Akhirnya menikahlah mereka tanpa mahar. Kemudian suatu hari seorang laki-laki tersebut ikut serta dalam perang khaibar dan ia memesankan pada saat menjelang kematiannya dengan wanita yang dikawininya untuk mengambil anak panahnya sebagai pemberian mahar, lalu wanita tersebut menjual panah tersebut seharga 100 dirham, Kemudian Rasulullah bersabda : Maskawin yang paling baik adalah yang mudah, sedangkan maskawin yang paling sedikit dapat memberikan kesaksian dan diharapkan berkahnya, Oleh sebab itu, Umar bin Khattab telah melarang maskawin yang berlebih-lebihan, lalu katanya: Rasulullah dan putri-putrinya menikah dengan maskawin yang tidak lebih dari 12 Uqiyah.[9]
2)      Pengertian Mahar
Mahar merupakan bentuk masdar dari kata mahara- yamhuru- mahran, yang berarti mahar, emas kawin.[10] Sedangkan menurut istilah, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berupa barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam (pasal 1 huruf d KHI).[11]  Di dalam al-Qur’an mahar disebut dengan beberapa istilah yaitu shadaq, ujr.[12]
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah An-Nisa’: 4, yang berbunyi :
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) dengan senang hati.
Dalam ayat tersebut, menyebut mahar dengan kata shaduq yang dimaknai sebagai pemberian yang penuh keikhlasan.
Sedangkan Kata ujr, terdapat dalam surah An-Nisa’:25

 فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ...
Artinya:
Karena itu, nikahilah budak tersebut atas izin tuannya dan berikahlah mahar yang pantas.
Dalam ayat tersebut digunakan kata ajrun. Makna asalnya adalah upah. Tetapi, yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah mahar atau maskawin bagi hamba sahaya perempuan yang hendak dinikahi, disamping harus atas izin orang tuanya juga harus dibayar maharnya.
Istilah mahar dalam al-Qur’an identik dengan istilah shadaq atau nihlah. Tapi kedua istilah itu jarang digunakan, baik dalam realitas di masyarakat indonesia maupun dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. istilah lain yang memasyarakat adalah istilah maskawin, yang seolah-olah setiap mahar yang diberikan laki-laki selalu berupa emas, meskipun kenyataanya hanya seperangkat alat shalat.[13]
Adapun macam-macam mahar ada 3, yaitu :
1)      Mahar al-Musamma, yaitu mahar yang disebutkan dalam akad nikah atau selepas akad nikah dengan keridhaan kedua belah pihak.[14]
2)      Mahar Mistl, dalam menentukan mahar jenis ini ada perbedaan pendapat oleh ulama’ fikih, Menurut Hanafiyah mengemukakan bahwa mahar ini sama nilainya dengan mahar yang diterima oleh perempuan yang menikah dari pihak ayahnya ( seperti kakak, adik perempuan dan keponakan perempuan ayah).[15] Sedangkan menurut Hanbaliyyah adalah sejumlah mahar yang berlaku bagi keluarga wanita baik dari pihak ayah dan ibu (seperti kakak, adik perempuan dan keponakan perempuan ayah dan ibu)[16]. Ulama Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa mahar mistl dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku didalam keluarga tersebut.[17]

3)      Mahar Sir, yaitu mahar yang tidak disebutkan ketika akad nikah, namun sudah disepakati jumlahnya sebelum akad nikah dilangsungkan.[18]

3)      Hukum Memberikan Mahar dan Pendapat Ulama’.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa mahar tetap wajib diberikan kepada istrinya, yang jumlah dan bentuknya diserahkan kepada pemufakatan bersama antara calon mempelai wanita dan pria.[19] Mengenai ukuran besar kecilnya atau sedikit banyaknya mahar yang diberikan pihak laki-laki, Islam tidak menetapkannya dengan tegas, karena adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rizki. Pemberian mahar terutama didasarkan kepada nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Karenanya Islam menyerahkan masalah ini kepada masing-masing sesuai dengan kemampuan dan adat yang berlaku, dengan syarat tidak berbentuk sesuatu yang mendatangkan madharat, membahayakan atau berasal dari usaha yang haram.[20]
Para ulama dahulu berbeda pendapat dalam menentukan kadar minimal maskawin:
1)      Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Mereka meng-Qiyas-kan (menyamakan) hal ini dengan wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai 3 dirham atau lebih. Dalam hal mahar, Imam Malik berpendapat bahwa besarnya mahar minimal adalah sebesar 3 dirham atau seperempat dirham[21]
2)      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau dengan yang senilainya. Ini berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang dari 10 dirham. Imam Hanafi juga menyatakan bahwa mahar di-Qiyas-kan dengan hukum potong tangan bagi pencuri, yang mana menurut Imam Hanafi batas minimal curian adalah 10 dirham.[22]
3)      Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal dalam mahar, mahar dapat berupa apapun dari mempelai pria baik berupa materi maupun immateri.[23]Golongan ketiga ini mendasarkan pendapatnya pada tiga dalil, yaitu dari  al-Qur’an dan Sunnah. Pertama, Firman Allah yang artinya: “Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (wanita yang telah disebutkan dalam ayat 23-24 surat al-Nisa’), yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai” (Q.S. al-Nisa’ : 24). Kalimat “amwaal” (harta) dalam ayat ini lafadznya umum tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu, dan tidak ada dalil lain dari hadits atau ijma’ para sahabat yang mengkhususkan kalimat ini, maka keumumannya wajib diamalkan. Kedua, Hadits Rasulullah yang artinya : “Dari Sahl bahwasannya seorang wanita menyerahkan dirinya kepada Nabi SAW,. Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata: Ya Rosulullah, kawinkanlah saya dengan wanita ini. Maka Rosulullah besabda apa yang ada disisimu? Laki-laki tersebut menjawab: “saya tidak memiliki sesuatu” Rosulullah bersabda: pergilah mencari sekalipun sebentuk cincin yang terbuat dari besi. Maka laki-laki tersebut pergi kemudian kembali lagi, lalu berkata: “ demi Allah saya tidak mendapatkan sesuatu, dan tidak memiliki cincin besi, akan tetapi inilah sarung saya dan baginya separuh. Rosul berkata: maka tidak ada baginya yang dikembalikan dengan sarungmu, jika kau memakainya maka kau tidak dapat apa-apa. Maka laki-laki itupun duduk dalam waktu yang lama danketika ia berdiri, Rosulullah melihatnya dan memanggilnya. Maka Rosulullah berkata kepadanya: apa yang ada padamu dari (hafalan) al-Qur’an? Dia menjawab: “ saya menghafal surat begini dan surat begini hingga beberapa surah. Maka Nabi Muhammad SAW berkata: saya menjadikannya milikmu (menikahkanmu) dengan hafalan al-Qur’an yang ada padamu.[24] Ketiga, Hadis Rosulullah SAW,. Dari Anas berkata: Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim maka dia berkata: Demi Allah, tidak ada (lelaki) yang sama sepertimu. Akan tetapi, kau adalah seorang yang kafir sedang saya adalah seorang muslimah, dan tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika kau muslim (masuk Islam), maka itu adalah maharku, dan saya tidak meminta kepadamu selain hal itu. Maka diapun (Abu Thalhah) masuk Islam dan itu adalah maharnya.[25]
Dengan demikian, pendapat yang disepakati oleh jumhur Ulama adalah pendapat yang terakhir. Jelaslah dengan demikian, bahwa mahar itu tidak ada batasannya. Apapun bentuknya, berapapun jumlahnya, sampai barang yang paling sederhana sekali, bahkan berupa bacaan al-Qur’an, yang penting bernilai dan berharga, maka sah (layak) dijadikan mahar. Dan pendapat yang terakhir inilah yang paling rajih (pendapat yang paling kuat argumen serta dalilnya).
4)      Kontekstualisasi Hadis
Melihat dalil-dalil tentang mahar secara komparatif, hadis pada kajian kali ini bahwa Rosul memberikan 500 dirham mahar pada setiap istri beliau merupakan salah satu dari sekian banyak hadis yang membahas tentang kadar mahar yang wajib diberikan. Mengacu pada pembahasan sebelumnya, bahwa mahar bersifat relatif, yaitu sesuai kemampuan dan kesepakatan bersama antara calon pasutri, menunjukkan bahwa Rosul adalah orang yang mampu dan orang yang sangat menghargai perempuan. Hemat penulis, Rosul memberikan mahar secara sama rata adalah bentuk keadilan Rosulullah kepada para isrinya. Jumlah Mahar yang diberikan Rosul semata-mata adalah bentuk penghargaan dan kasih sayang yang Rosul berikan kepada para istrinya.
Pada zaman sekarang banyak kasus tentang mahar yang mustinya diluruskan, seperti pemberian mahar justru dari mempelai wanita kepada pria, karena sudah membudaya maka hal itu sulit untuk diluruskan. Kasus lain adalah orang tua atau wali dari seorang perempuan yang menentukan mahar, bukan dari perempuan itu sendiri, padahal seperti yang telah dijelaskan diatas, mahar adalah hak mutlaq seorang istri yang diberikan oleh suami dengan suka rela.
Lalu pada kasus lain, pada hari ini telah menjadi tren bahwa mahar adalah ”hiasan” seperti uang yang disusun sedemikian rupa menjadi indah padahal nominalnya tidak seberapa, tentu hal ini telah memenuhi syarat mahar apabila ini adalah permintaan sang istri, namun dari segi kemanfaatan, sebaiknya bagi para wanita memilih mahar yang memiliki azas manfaat didalamnya, hal ini lebih baik dari pada memilih mahar yang tidak memiliki manfaat didalamnya, apalagi kalau sang pria adalah orang yang mampu.








PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berupa barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Perintah mahar sendiri dilaksanakan Rasulullah kepada para istrinya sebesar 500 dirham, dan hukumnya wajib. Sedangkan masalah batasan mahar terdapat beberapa pendapat oleh Ulama’ Fiqh seperti halnya, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham. Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal dan maksimal dalam mahar. Dengan demikian, Hadis Nabi tersebut tetap relevan jika diaplikasikan pada kontemporer saat sekarang ini. Karena perintah memberikan mahar dan ukuran seberapa besar ukuran mahar tidak hanya berlandasakan pada satu hadis akan tetapi banyak hadis lain yang menyinggung tentang topik yang sama. Oleh karena itu yang perlu ditekankan adalah perintah memberikan mahar tersebut adalah wajib bagi setiap muslim.










DAFTAR PUSTAKA

Muslim Ibn al-Hajaj, Abu al-Husain al-Naisaburi al-Qusayairi, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008.
Boedi Abdullah, Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim, Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Zainuddin, Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Nawawi, Muhyiddin, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim, Beirut: Daar al-Ma’rifah, 2007.
Iqbal, Muhaimin, Dinar The Real Money, Jakarta: Gema Insani, 2009.
Warson, A Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Ad-Dardir Abdul Barakat, Asy-Syarhush Shaqir ‘Ala Aqrabil Musalik Lid Dardir, Mesir: Dar Al-Ma’rifah, 1992
Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu  , Damaskus: Daar al-Fikr, 2008
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007.
Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Halb: Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah, 1986.





[1] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2013), hlm. 20.
[2] Shalih bin Ghanim, al-Sadlan, Seputar Pernikahan, (Jakarta: Darul Haq, 2002), hlm. 27.
[3] Muslim Ibn al-Hajaj, Abu al-Husain al-Naisaburi al-Qusayairi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), juz 2, hlm 344.
[4]  Software Gawami’ al-Kaleem.
[5] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 770
[6] Muhyiddin An-Nawawi, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Ma’rifah, 2007), Juz 9, hlm. 218
[7] Muhyiddin An-Nawawi, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim, hlm 218.
[8] Muhaimin Iqbal, Dinar The Real Money, (Jakarta: Gema Insani, 2009), hlm. 30.
[9] Ibnu Hamzah al-Husaini, Asbabul Wurud: Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul, (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), Jilid 2, hlm. 337.
[10] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1363
[11] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 24
[12] Boedi Abdullah, Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 69-70
[13] Boedi Abdullah, Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 70-71
[14] Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2008), juz 7, hlm. 260.
[15] Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 261.
[16] Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 261.
[17] Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 262.
[18] Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 263.
[19] M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja Prenada Media Group, 2006), cet. 2 hal. 116-118.
[20] D. Zainuddin, “ Fiqih Madrasah Aliyah “. (Jakarta: Pt Karya Thoha Putra, 2003), hal. 190.
[21] Ad-Dardir Abdul Barakat, Asy-Syarhush Shaqir ‘Ala Aqrabil Musalik Lid Dardir, Jilid II,  (Mesir: Dar Al-Ma’rifah, 1992), hal. 28.
Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu  , (Damaskus: Daar al-Fikr, 2008),juz 7,  hlm. 252
[23] Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2008), juz 7, hlm. 252.
[24] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah), Juz 3, hal. 246.
[25] Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Juz VI, (Halb: Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah, 1986) Cet. II hal. 144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar