Minggu, 29 Oktober 2017

PERKEMBANGAN TAFSIR AL-QUR'AN

PERKEMBANGAN TAFSIR AL-QUR'AN
Nama               : Muhammad Munif
NIM                : 15530076

Judul               : Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an
Pengarang       : Dr. H. Abdul Mustaqim
Penebit            : Adab Press
Tahun Terbit    : 2014
Dimensi           : 21x14.5 cm, hlm xiv+212
Halaman          : 212
ISBN               : 987-979-854-806-2
Harga Buku     : Rp 39,000.00


Buku Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an  merupakan salah satu karya tulis yang mencoba mengungkap sejarah perkembangan Tafsir al-Qur’an dari aspek Periodesasi dan aspek epistemologi. Pengklasifikasian sejarah perkembangan tafsir tersbut yang mencajkup kedua aspek diatas,secara tidak langsug menimbulkan golongan-golongan tersendiri yang disebut dalam buku ini dengan istilah mazhab (aliran) .
Mazhab merupakan metode yang ditempuh seseorang untuk mencapai sebuah tujuan. Mazhab sendiri memiliki berbagai macam bentuk baik fikih, teologi, filsafat bahkan tafsir. Berbicara mazhab penafsiran berbicara kapan perkembangan sejarah tafsir itu muncul, tafsir sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu yang memiliki prinsip kerja memahami teks.
Mazhab penafsiran tidak muncul begitu saja, dalam perkembangannya mazhab penafsiran muncul memalui dua faktor, yaitu internal maupun eksternal. Adapun faktor internal adalah kondisi yang ada pada objek pembahasan, yaitu al-Qur’an, karena pada dasarnya al-Qur’an diturunkan dari berbagai macam dialek sehingga bukan tidak mungkin akan menimbulkan perbedaan pemahaman bagi setiap orang. Faktor eksternal meliputi berbagai macam aspek diantaranya aspek sosio- kultural, konteks politik, pra anggapan, dan tentu latar belakang mufasirnya. Dari kedua faktor tersebutlah muncul mazhahibut tafsir.
Perkembangan tafsir sendiri secara periodesasi terbagi menjadi tiga, yaitu : periode klasik, periode pertengahan, dan periode modern. Periode klasik merupakan cikal bakal munculnya penafsiran yaitu pada masa Nabi, Sahabat dan Tabiin, periode ini tafsir bersifat otoritatif karena pada dasarnya orang yang diberi kepercayaan merima wahyu al-Qur’an adalah nabi Muhammad saw sehingga tidak dipungkiri lagi tidak ada manusia lain yang berani menfasirkan selain Nabi, oleh karena itulah nabi Muhammad merupakan the first interpreter of the Qur’an ( orang pertama yang menafsirkan al-Qur’an). Pada periode klasik bukan berarti otoritatif tafsir tesebut melekat selamanya, karena penafsiran nabi terhadap al-Qur’an hanya bersifat universal atau hanya ayat-ayat tertentu, sehingga jelas adanya ayat lain yang mungkin belum sempat Nabi tafsirkan hingga beliau wafat. Dari sinilah peran sahabat muncul sebagai generasi awal penerus Nabi.
Tafsir pada masa sahabat merupakan kelanjutan dari penafsiran pada masa Nabi yang mana para sahabat mengembangakn potensi akal dan pikirannya unutk menafsirkan Al-Qur’an dengan bersumber pada al-Qur’an itu sendiri, Sunnah Nabi, Ijtihad ragam qiraat dan keterangan ahli kitab. Kecenderungan metode penafsiran bil riwayah sangat melekat pada masa ini, yaitu sahabat hanya sekedar meriwayatkan tafsir-tafsir dari nabi dan sahabat lain. sehingga menimbulkan karakter atau identitas yang terdapat pada penafsiran masa sahabat itu sendiri. Diantara karakter tersebut : Pertama, Penafsiran hanya bersifat global. Kedua, Sedikitnya perbedaan dalam memahami al-Qur’an. Ketiga, Belum adanya pembukuan tafsir.
Berakhirnya masa sahabat bukan berarti perkembangan tafsir berhenti, justru dari sinilah perkembangan mulai terlihat signifikan karena pada masa ini muncul persoalan-persoalan yang sulit dipahami. Pada masa inilah yang dinamakan tarfsir era Tabi’in, dari problema yang muncul di masa sebelumnya., pada generasi Tabiin ingin menyempurnakan kekurangan-kekurangan dalam penafsiran pada masa Sahabat. Seiring perkembangan peradaban dunia, islam terus memperluas ekspansinya, yang menimbulkan Aliran-aliran tafsir khususnya pada masa Tabi’in, yang secara garis besar terbagi menjadi tiga, yaitu :Aliran Mekkah, Aliran Madinah dan Aliran Iraq. Dari ketiga aliran inilah mulai adanya pergeseran cara berpikir dari masa sebelumnya, sehinngga sedikit banyak mulai adanya perbedaan penafsiran dan sektarianisme ideologi.
            Pada masa Tabi’in penafsiran bersumber pada al-Qur’an, Hadis Nabi, pendapat Sahabat, keterangan ahli kitab baik Nasrani maupun Yahudi dan ijtihad para Tabi’in itu sendiri, hanya saja pada masa ini sudah mulai terkontaminasi terhadap kisah- kisah israiliyat. Meskipun pada massa ini tafsir bi riwayah masih mendominasi namun karena adanya peranan ra’yu mulai menonjol, sehingga menimbulkan karakteristik penafsiran yang berbeda dengan masa sebelumnya, adapun karakteristik tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, Masuknya kisah-kisah Israiliyyat dalam penafsiran. Kedua,Tafsir belum terkodifikasi. Ketiga, Munculnya benih-benih fanatisme mazhab. Keempat, Mulai banyak timbul perbedaan pendapat.
Pergeseran epistemologi penafsiran yang sudah muncul benih-benihnya pada masa Tabi’in mencapai puncaknya pada Periode Tafsir Pertengahan, tepatnya pergeseran epistemologi tradisi penafsiran bil ma’tsur ke bil ra’yi. Kurun waktu periode pertengahan yang cukup panjang  sekitar enam abad, yaitu pada abad ke II sampai VIII H, selain itu juga periode ini juga merupakan periode keemasan bagi umat Islam didunia, sehingga disiplin keilmuan berkembang pesat yang terbukti dengan banyaknya  produk-produk tafsir yang dibukukan. Diantara produk tafsir yang muncul di era kememasan islam adalah Al-Kashaf a`n Haqa’iq al- Qur’an karya Abu al- Qasim Mahmud ibn Umar al- Zamaksyari (w.1144 M). Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi ( w.1209 M). Tafsir al-Qur’an karya Ali Ibrahim al-Qummi (w.929 M).Al-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad ibn al-Hasan al-Thusi (w.1067 M).Majma’ al- Bayan li U’lum al-Quran karya Abu Ali Fadll al-Thabarsi (w.1153 M). Al-Shafi fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Murtadha al-Kasyi (w.1505 M). Pengaruh dari pergeseran epistem tersebut memberikan warna tersendiri pada perkembangan tafsir yaitu munculnya berbagai macam corak penafsiran, seperti corak fikih, corak sufistik, corak linguistik. Berangkat dari pergeseran epistemologi, pengaruh peradaban barat, dan banyaknya model produk penafsiran sehingga memberikan gambaran bagaimana karakteristik yang mewarnai penafsiran pada era ini, diantara karakteristik tersebut adalah : Pertama, Adanya pemaksaan terhadap gagasan Al-Qur’an. Kedua, Bersifat ideologis. Ketiga, Bersifat repetitif. Keempat, Bersifat Parsial.
 Kekuatan fanatisme mufasir terhadap penafsirannya menyebabkan legitimasi terhadap al-Qur’an yang dianggap hanya sebagai objek kepentingan mazhabnya, sehingga muncul kecenderungan taqlid dan menghapus toleransi. Mengutip pendapat Abdullah Al-Karakhi :
“ setiap ayat atau hadis yang menyalahi mazhab kami, maka harus ditakwil (agar sesuai mazhab kami) atau (jika tidak dapat ditakwil) maka harus dihapuskan.”
Pendapat dari Abdullah al-Karakhi tersebut menggambarkan identitas penafsiran pada periode pertengahan.
            Periode terakhir dalam dinamika sejarah tafsir adalah periode modern-kontemporer, periode ini merupakan periode reformatif dengan penciptaan teori dan metodologi penafsiran baru yang lebih dinamis dalam merespon isu-isu yang terjadi sesuai tuntutan zaman. Para mufasir pada periode ini memiliki perbedaan kecenderungan dalam merespon isu-isu yang terjadi pada dunia modernisasi. Menurut riset J.J.G. Jansen kecenderungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu :
1)      Kecenderungan terhadap tafsir ilmi yaitu dengan pengadopsian terhadap temuan-temuan teori ilmiah.
2)      Kecenderungan tafsir lingustik dan filologi.
3)      Tafsir praktis yaitu penafsiran yang berusaha menjawab problematika yang berkembang di masyarakat.
Selain itu ada lagi pendapat dari Dr. Abdul Majid Salam al-Muhtasib, beliau juga mengemukakan ada tiga kategori tafsir yang berkembang di periode modern-kontemporer, yaitu :
1)      Kecenderungan tafsir terhadap ulama salafi.
2)      Kecenderungan rasional yang berusaha mengkompromikan peradaban islam dengan peradaban barat.
3)      Kecenderungan saintifik.
Asumsi dasar yang paradigma tafsir modern adalah kecenderungan mengemukakan ide-ide rasional-kritis dalam penafsiran terhadap al-Qur’an  karena adanya motivasi untuk lebih bersifat kontekstualisasi  dan fungsional untuk menyelesaikan problematika modernisasi. Jelas sekali posisi al-Qur’an disini sebagai petunjuk tidak hanya bagi zaman terdahulu namun bagi manusia hingga akhir dalam menyelesaikan persoalan hidup. Oleh karena itulah al-Qur’an menjadi kitab yang shahih li kulli zaman wa makan. Karakteristik tafsir modern-kontemporer yaitu : Pertama, Memposisikan al-Qur’an sebagai petunjuk. Kedua, Bernuansa Hermenetis. Ketiga, Kontekstual dan berorientasi pada spirit al-Qur’an. Keempat, Ilmiah, kritis dan non-sektarian.
 Sumber penafsiran yang ditetapkan pada tafsir modern-kontemporer bersumber kepada al-Qur’an, akal dan realitas. Sehingga paradigma yang dikembangkan dari ketiga sumber tersebut mengarah paradigma fungsional atau kontekstualisi.
 Metode-pendekatan yang digunakan oleh mufasir modern-kontemporer lebih banyak dibandingkan mufasir tradisional yang cenderung dengan metode tahlili (tematik) dan deduktif. Sedangkan dalam modern kontemporer menggunakan metode interdisipliner,tematik, linguistik, hermeneutik,semiotik, sosio-historis, analisis gender, antropologi dan lain sebagainya. Produk dan Tokoh penafsiran modern-kontemporer sangat banyak sekali dan tidak asing dikalangan akademisi khususnya mahasiswa al-Qur’an dan Tafsir diantaranya adalah Mahasin al-Takwil karya jamaluddin al-Qasimi, al-Tafsir al-Hadist karya Izza Darwazah, al-Tafsir al-Qur’an lil Qur’an karya abdul karim al Khattib, Tafsir fi dhilal al Kutub karya Sayyid Qutbh, Tafsir al-Mannar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Maraghi karya Musthafa al- Maraghi dan lain sebagainya. Kesimpulan dinamika sejarah tafsir dari periode klasik, periode pertengahan hingga periode modern-kontemporer  terus mengalami pergeseran epistemologi dari yang sifatnya Formatif (Nalar Quasi-Kritis), Afirmatif (Ideologis) hingga Reformatif (Nalar Kritis).
Kelebihan Buku. Pertama, Pemilihan kata yang digunakan penulis dalam penyusunan buku ini seolah-olah membawa pembaca untuk tidak melewatkan satu katapun karena hampir semua kata yang digunakan merupakan kata ilmiah saling terkait dengan yang lain sehingga menimbulkan anggapan semuanya penting. Kedua,  Aspek pembahasan mengenai sejarah tafsir cukup padat dan jelas. Ketiga, sistematika penulisan sudah bagus, sehingga mampu mempermudah pembaca dalam memahami isi buku.
Kekurangan Buku. Pertama, Buku ini bukanlah karya murni, dalam arti penulis tidak benar-benar ingin membuat buku, karena buku ini berangkat dari disertasi penulis, sehingga timbul prasangka pembaca bahwa ini merupakan ringkasan disertasi penulis.
Kedua,  Kekurangan penjelasan pada bagian-bagian tertentu yang mana menurut pembaca bagian-bagian tersebut layak untuk dikembangkan lebih karena merupakan topik yang menarik.

Ketiga, Cenderung adanya kesamaan substansi isi buku dengan buku Epistemologi Tafsir Kontemporer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar