PERKEMBANGAN
TAFSIR AL-QUR'AN
Nama :
Muhammad Munif
NIM
: 15530076
Judul : Dinamika Sejarah Tafsir
Al-Qur’an
Pengarang : Dr. H. Abdul Mustaqim
Penebit : Adab Press
Tahun
Terbit : 2014
Dimensi : 21x14.5 cm, hlm xiv+212
Halaman : 212
ISBN : 987-979-854-806-2
Harga
Buku : Rp 39,000.00
Buku
Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an
merupakan salah satu karya tulis yang mencoba mengungkap sejarah
perkembangan Tafsir al-Qur’an dari aspek Periodesasi dan aspek epistemologi. Pengklasifikasian
sejarah perkembangan tafsir tersbut yang mencajkup kedua aspek diatas,secara
tidak langsug menimbulkan golongan-golongan tersendiri yang disebut dalam buku
ini dengan istilah mazhab (aliran) .
Mazhab
merupakan metode yang ditempuh seseorang untuk mencapai sebuah tujuan. Mazhab
sendiri memiliki berbagai macam bentuk baik fikih, teologi, filsafat bahkan
tafsir. Berbicara mazhab penafsiran berbicara kapan perkembangan sejarah tafsir
itu muncul, tafsir sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu yang memiliki prinsip
kerja memahami teks.
Mazhab
penafsiran tidak muncul begitu saja, dalam perkembangannya mazhab penafsiran
muncul memalui dua faktor, yaitu internal maupun eksternal. Adapun faktor
internal adalah kondisi yang ada pada objek pembahasan, yaitu al-Qur’an, karena
pada dasarnya al-Qur’an diturunkan dari berbagai macam dialek sehingga bukan
tidak mungkin akan menimbulkan perbedaan pemahaman bagi setiap orang. Faktor
eksternal meliputi berbagai macam aspek diantaranya aspek sosio- kultural,
konteks politik, pra anggapan, dan tentu latar belakang mufasirnya. Dari kedua
faktor tersebutlah muncul mazhahibut tafsir.
Perkembangan
tafsir sendiri secara periodesasi terbagi menjadi tiga, yaitu : periode klasik,
periode pertengahan, dan periode modern. Periode klasik merupakan cikal bakal
munculnya penafsiran yaitu pada masa Nabi, Sahabat dan Tabiin, periode ini
tafsir bersifat otoritatif karena pada dasarnya orang yang diberi kepercayaan
merima wahyu al-Qur’an adalah nabi Muhammad saw sehingga tidak dipungkiri lagi
tidak ada manusia lain yang berani menfasirkan selain Nabi, oleh karena itulah
nabi Muhammad merupakan the first interpreter of the Qur’an ( orang
pertama yang menafsirkan al-Qur’an). Pada periode klasik bukan berarti
otoritatif tafsir tesebut melekat selamanya, karena penafsiran nabi terhadap
al-Qur’an hanya bersifat universal atau hanya ayat-ayat tertentu, sehingga
jelas adanya ayat lain yang mungkin belum sempat Nabi tafsirkan hingga beliau
wafat. Dari sinilah peran sahabat muncul sebagai generasi awal penerus Nabi.
Tafsir
pada masa sahabat merupakan kelanjutan dari penafsiran pada masa Nabi yang mana
para sahabat mengembangakn potensi akal dan pikirannya unutk menafsirkan
Al-Qur’an dengan bersumber pada al-Qur’an itu sendiri, Sunnah Nabi, Ijtihad
ragam qiraat dan keterangan ahli kitab. Kecenderungan metode penafsiran bil
riwayah sangat melekat pada masa ini, yaitu sahabat hanya sekedar
meriwayatkan tafsir-tafsir dari nabi dan sahabat lain. sehingga menimbulkan
karakter atau identitas yang terdapat pada penafsiran masa sahabat itu sendiri.
Diantara karakter tersebut : Pertama, Penafsiran hanya bersifat global. Kedua,
Sedikitnya perbedaan dalam memahami al-Qur’an. Ketiga, Belum adanya
pembukuan tafsir.
Berakhirnya
masa sahabat bukan berarti perkembangan tafsir berhenti, justru dari sinilah
perkembangan mulai terlihat signifikan karena pada masa ini muncul
persoalan-persoalan yang sulit dipahami. Pada masa inilah yang dinamakan
tarfsir era Tabi’in, dari problema yang muncul di masa sebelumnya., pada generasi
Tabiin ingin menyempurnakan kekurangan-kekurangan dalam penafsiran pada masa Sahabat.
Seiring perkembangan peradaban dunia, islam terus memperluas ekspansinya, yang
menimbulkan Aliran-aliran tafsir khususnya pada masa Tabi’in, yang secara garis
besar terbagi menjadi tiga, yaitu :Aliran Mekkah, Aliran Madinah dan Aliran
Iraq. Dari ketiga aliran inilah mulai adanya pergeseran cara berpikir dari masa
sebelumnya, sehinngga sedikit banyak mulai adanya perbedaan penafsiran dan
sektarianisme ideologi.
Pada masa Tabi’in penafsiran
bersumber pada al-Qur’an, Hadis Nabi, pendapat Sahabat, keterangan ahli kitab
baik Nasrani maupun Yahudi dan ijtihad para Tabi’in itu sendiri, hanya saja
pada masa ini sudah mulai terkontaminasi terhadap kisah- kisah israiliyat.
Meskipun pada massa ini tafsir bi riwayah masih mendominasi namun karena adanya
peranan ra’yu mulai menonjol, sehingga menimbulkan karakteristik
penafsiran yang berbeda dengan masa sebelumnya, adapun karakteristik tersebut
adalah sebagai berikut : Pertama, Masuknya kisah-kisah Israiliyyat dalam
penafsiran. Kedua,Tafsir belum terkodifikasi. Ketiga, Munculnya
benih-benih fanatisme mazhab. Keempat, Mulai banyak timbul perbedaan
pendapat.
Pergeseran
epistemologi penafsiran yang sudah muncul benih-benihnya pada masa Tabi’in
mencapai puncaknya pada Periode Tafsir Pertengahan, tepatnya pergeseran
epistemologi tradisi penafsiran bil ma’tsur ke bil ra’yi. Kurun waktu
periode pertengahan yang cukup panjang
sekitar enam abad, yaitu pada abad ke II sampai VIII H, selain itu juga periode
ini juga merupakan periode keemasan bagi umat Islam didunia, sehingga disiplin
keilmuan berkembang pesat yang terbukti dengan banyaknya produk-produk tafsir yang dibukukan. Diantara
produk tafsir yang muncul di era kememasan islam adalah Al-Kashaf a`n
Haqa’iq al- Qur’an karya Abu al- Qasim Mahmud ibn Umar al- Zamaksyari
(w.1144 M). Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi ( w.1209 M). Tafsir
al-Qur’an karya Ali Ibrahim al-Qummi (w.929 M).Al-Tibyan fi Tafsir
al-Qur’an karya Muhammad ibn al-Hasan al-Thusi (w.1067 M).Majma’ al-
Bayan li U’lum al-Quran karya Abu Ali Fadll al-Thabarsi (w.1153 M). Al-Shafi
fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Murtadha al-Kasyi (w.1505 M). Pengaruh
dari pergeseran epistem tersebut memberikan warna tersendiri pada perkembangan
tafsir yaitu munculnya berbagai macam corak penafsiran, seperti corak fikih,
corak sufistik, corak linguistik. Berangkat dari pergeseran epistemologi,
pengaruh peradaban barat, dan banyaknya model produk penafsiran sehingga
memberikan gambaran bagaimana karakteristik yang mewarnai penafsiran pada era
ini, diantara karakteristik tersebut adalah : Pertama, Adanya pemaksaan
terhadap gagasan Al-Qur’an. Kedua, Bersifat ideologis. Ketiga, Bersifat
repetitif. Keempat, Bersifat Parsial.
Kekuatan fanatisme mufasir terhadap
penafsirannya menyebabkan legitimasi terhadap al-Qur’an yang dianggap hanya
sebagai objek kepentingan mazhabnya, sehingga muncul kecenderungan taqlid dan
menghapus toleransi. Mengutip pendapat Abdullah Al-Karakhi :
“ setiap ayat atau
hadis yang menyalahi mazhab kami, maka harus ditakwil (agar sesuai mazhab kami)
atau (jika tidak dapat ditakwil) maka harus dihapuskan.”
Pendapat
dari Abdullah al-Karakhi tersebut menggambarkan identitas penafsiran pada
periode pertengahan.
Periode terakhir dalam dinamika
sejarah tafsir adalah periode modern-kontemporer, periode ini merupakan periode
reformatif dengan penciptaan teori dan metodologi penafsiran baru yang lebih
dinamis dalam merespon isu-isu yang terjadi sesuai tuntutan zaman. Para mufasir
pada periode ini memiliki perbedaan kecenderungan dalam merespon isu-isu yang
terjadi pada dunia modernisasi. Menurut riset J.J.G. Jansen kecenderungan tersebut
dibagi menjadi tiga, yaitu :
1) Kecenderungan
terhadap tafsir ilmi yaitu dengan pengadopsian terhadap temuan-temuan teori
ilmiah.
2) Kecenderungan
tafsir lingustik dan filologi.
3) Tafsir
praktis yaitu penafsiran yang berusaha menjawab problematika yang berkembang di
masyarakat.
Selain
itu ada lagi pendapat dari Dr. Abdul Majid Salam al-Muhtasib, beliau juga
mengemukakan ada tiga kategori tafsir yang berkembang di periode
modern-kontemporer, yaitu :
1) Kecenderungan
tafsir terhadap ulama salafi.
2) Kecenderungan
rasional yang berusaha mengkompromikan peradaban islam dengan peradaban barat.
3) Kecenderungan
saintifik.
Asumsi
dasar yang paradigma tafsir modern adalah kecenderungan mengemukakan ide-ide
rasional-kritis dalam penafsiran terhadap al-Qur’an karena adanya motivasi untuk lebih bersifat
kontekstualisasi dan fungsional untuk
menyelesaikan problematika modernisasi. Jelas sekali posisi al-Qur’an disini
sebagai petunjuk tidak hanya bagi zaman terdahulu namun bagi manusia hingga
akhir dalam menyelesaikan persoalan hidup. Oleh karena itulah al-Qur’an menjadi
kitab yang shahih li kulli zaman wa makan. Karakteristik tafsir
modern-kontemporer yaitu : Pertama, Memposisikan al-Qur’an sebagai
petunjuk. Kedua, Bernuansa Hermenetis. Ketiga, Kontekstual dan
berorientasi pada spirit al-Qur’an. Keempat, Ilmiah, kritis dan
non-sektarian.
Sumber penafsiran yang ditetapkan pada tafsir modern-kontemporer
bersumber kepada al-Qur’an, akal dan realitas. Sehingga paradigma yang
dikembangkan dari ketiga sumber tersebut mengarah paradigma fungsional atau
kontekstualisi.
Metode-pendekatan yang digunakan oleh mufasir
modern-kontemporer lebih banyak dibandingkan mufasir tradisional yang cenderung
dengan metode tahlili (tematik) dan deduktif. Sedangkan dalam modern
kontemporer menggunakan metode interdisipliner,tematik, linguistik,
hermeneutik,semiotik, sosio-historis, analisis gender, antropologi dan lain
sebagainya. Produk dan Tokoh penafsiran modern-kontemporer sangat banyak sekali
dan tidak asing dikalangan akademisi khususnya mahasiswa al-Qur’an dan Tafsir
diantaranya adalah Mahasin al-Takwil karya jamaluddin al-Qasimi, al-Tafsir
al-Hadist karya Izza Darwazah, al-Tafsir al-Qur’an lil Qur’an karya
abdul karim al Khattib, Tafsir fi dhilal al Kutub karya Sayyid Qutbh, Tafsir
al-Mannar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Maraghi
karya Musthafa al- Maraghi dan lain sebagainya. Kesimpulan dinamika sejarah
tafsir dari periode klasik, periode pertengahan hingga periode
modern-kontemporer terus mengalami
pergeseran epistemologi dari yang sifatnya Formatif (Nalar Quasi-Kritis), Afirmatif
(Ideologis) hingga Reformatif (Nalar Kritis).
Kelebihan
Buku. Pertama, Pemilihan kata yang digunakan penulis dalam penyusunan
buku ini seolah-olah membawa pembaca untuk tidak melewatkan satu katapun karena
hampir semua kata yang digunakan merupakan kata ilmiah saling terkait dengan
yang lain sehingga menimbulkan anggapan semuanya penting. Kedua, Aspek pembahasan mengenai sejarah tafsir cukup
padat dan jelas. Ketiga, sistematika penulisan sudah bagus, sehingga
mampu mempermudah pembaca dalam memahami isi buku.
Kekurangan
Buku. Pertama, Buku ini bukanlah karya murni, dalam arti penulis tidak benar-benar
ingin membuat buku, karena buku ini berangkat dari disertasi penulis, sehingga
timbul prasangka pembaca bahwa ini merupakan ringkasan disertasi penulis.
Kedua, Kekurangan penjelasan
pada bagian-bagian tertentu yang mana menurut pembaca bagian-bagian tersebut
layak untuk dikembangkan lebih karena merupakan topik yang menarik.
Ketiga,
Cenderung
adanya kesamaan substansi isi buku dengan buku Epistemologi Tafsir Kontemporer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar