Minggu, 07 Januari 2018

MUSLIM SEJATI DAN KEPEDULIAN LINGKUNGAN DI ERA MODERN PRESPEKTIF SAYYID QUTB Althaf Husein Muzakky (No.11 NIM: 15530045)



MUSLIM SEJATI DAN KEPEDULIAN LINGKUNGAN
DI ERA MODERN PRESPEKTIF SAYYID QUTB
Althaf Husein Muzakky (No.11 NIM: 15530045)
Pendahuluan
            Islam merupakan agama Allah, yang dibawa nabi Muhammad SAW. Sebagai nabi terakhir, penutup segala nabi.[1] Oleh karena itu saat nabi Muhammad yang telah wafat pada abad ke sepuluh hijriyyah, yaitu pada 8 Juni 632 M.[2] Tetap menuntun umatnya hingga saat ini dengan al-Qur’an dan Sunnahnya. Beliau tak pernah sedikitpun lalai dan senantiasa menuntun umatnya agar kembali ke jalan yang lurus, yaitu jalan yang diridlai oleh Allah SWT. Seperti dalam sebuah hadist nabi:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Artinya; kutinggalkan kalian dua perkara yang tidak akan membuat kalian tersesat apabila kalian berpegang teguh kepada dua perkara tersebut, yaitu kitab allah dan sunnah nabi.[3] Itulah mengapa kajian al-Qur’an terus berkembang sampai sekarang, karena sifatnya yang shalih likulli zaman wa makan.[4] Perkembangan dalam dunia penafsiran merupakan bagian dari proses umat Islam yang dari masa ke masa mencari kebenaran dan solusi dan jawaban dari sebuah permasalahan yang sifatnya semakin kompleks seperti permasalahan sosial, permasalan kemiskinan, bahkan juga persoalan yang rumit seperti etnis, dan hak waris.[5]
Tidak hanya itu, manusia yang merupakam komponen paling penting dalam sirkulasi keberlangsungan dunia ini juga harus berkembang, apalagimanusi yang notabene Islam, tentu juga harus berkembang, mengikuti arus zaman. Seperti halnya komunitas muslim di bangsa Arab yang dikemukakan oleh fazlur rahman, bahwasannya semuanya itu berkembang atas benyak faktor termasuk juga seorang muslim yang kemudian menjadi komunitas muslim, itu tidak terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi ada tiga faktor yang melatarbelakanginya seperti faktor al-Qur’an yang diwahyuukan dengan bahasa Arab, adanya Nabi Muhammad yang memang menerima wahyu untuk orang arab pada zaman itu, yang terakhir yaitu nabi Muhammad yang memang berkebangsaan Arab. Dalam hal ini maka koherensi dari semua faktor kelompok muslim adalah sebuah proses yang panjang sehingga tidak terjadi secara praktis.[6]  
Umat islam (Muslim) bukanlah manusia yang apatis atas daerah sekitarnya, oleh karena itu sudah seharusnya umat muslim wajib memiliki etos atau ghirah atas kaum muslim lainnya, seperti dalam al-Qur’an dijelaskan bahwasannya umat pada masa nabi merupakan umat terbaik untuk manusia lainnya yakni QS. ali Imron 110.
كنتم خير أمة أخرجت للناس
                        Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah fi al-Ard yang memiliki tanggung jawab besar, terutama seperti uraian Ali Syariati bahwasannya sikap manusia selain beragama sesuai kodrat dari ilahi, maka dia harus melakukan tindakan kemanusiaan (Humansime).[7] Manusia diberi intelektual sebagai monitor atas segala yang baik dan buruk dalam setiap lingkup kehidupannya, melalui Al-Qur’an yang merupakan sumber segala petunjuk, firmanNYa yang dapat digunakan sebagai spirit kesolehan spriritual maupun kesempurnaan moral sosial, yang semuanya itu dapat dicapai lewat berdoa dan mengabdi akan kemaslahatan dunia.[8]
                        Dalam hal ini posisi umat muslim sangatlah penting sebagai penggagas perubahan, karena yang kita tahu bahwasannya umat muslim adalah penganut agama yang besar sehingga macan yang sudah lama tertidur itu harus cepat dibangunkan agar gigi tarinya tidak tumpul. Akan tetapi sering kali umat muslim diketahui terlena dalam dunia spiritual saja, sehingga menurut Clifford Geertz dalam bukunya abangan santri priyayi, kadang kurang adanya keselarasan bagi umat muslim antara sholih sosial dan dan sholih Individual, semacam adanya sekat dalam umat muslim yang hingga saat ini sekat itu masih berdiri kokoh membatasi dalam segala aspek kehidupan baik, sosial, ekonomi, budaya, bahkan juga masalah agama.[9]
                        David memberikan sebuah uraian tentang sikap yang harus dijalani umat Muslim dalam menyikapi kehidupan yaitu Islam yang progresif dalam gerakan sosial dawam raharjo, beliau menyebutkan bahwa dalam dunia ini terjadi banyak penyimpangan dan bperilaku yang dzalim, dari mulai kemiskinan, kebodohan ketertinggalan dalam bidang teknologi, padahal Islam telah lahir melawati banyak proses yang dahsyat, namun mengapa pemerataan kesejahteraan sosial semacam utopis yang belum sepenuhnya terealisasi. Sehingga banyak dalam pemikiran Islam memberikan solusi atas ketimpangan tersebut yang salah satunya adalah Islam progresif.[10]
                        Sebuah kemakmuran dalam Islam itu tidak tercipta dengan sendirinya, pergolakan pemikiran atas solusi dari sebuah masalah sering kali terlalu kekanan menjadi islamis, ataupun sangat kekiri menjadi sekulerisme, dengan kata lain semua yang telah diupayakan adalah untuk satu tujuan yaitu sebuah solusi atas banyak hal, semisal agama dan politik, penerapan agama, atau bahkan sistem isnstitusi Khilafah, kebenaran yang sering dilupakan oleh umat Islam seakan kemakmuran itu atas dasar kuasa tuhan, padahal kuasa tuhan itu perlu diupayakan.[11] Oleh karena itu maka timbul sebuah pertanyaan yang besar, (1) bagaimana sikap umat muslim pada abad modern (2) apa yang semestinya diupayakan dan dilakukan oleh umat muslim di masa modern.

Pembahasan
                        Diskursus teologis pemikiran dan pemikiran keagamaan pada umumnya telah memasuki dalam dunia tafsir dan dunia ta’wil, seperti dalam surat al-A’anbiya: 107 bahwasannya Nabi Muhammad Itu tidak diutus melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Melihat dari ayat tersebut penulis memiliki gagasan polemik lalu bagaimana rahmatan lil alamin itu dapat diwujudkan, sudah seharusnya dalam agama ini memiliki pendekatan atas pengembangan mental spirit umat islam yang tidak jumud dan selalu di nina bobokkan atas dunia sufistik belaka.  Menurut Amin Abdullah harus ada pendekatan Visi keindonesiaan Pembaharuan Pemikiran Islam yang dapat merombak pergolakan umat Islam, bahwasannya selama kajian keislaman hanya terkungkung ke dalan wilayah kalam, hermeneutika, tasawwuf dan falasafah teori-konseptual, dan kurang tersalurkan atas manifestasi dalam kehidupan sosial-budaya maka umat Islam hanya akan termakan oleh perkembangan zaman.[12]
                        Pembahasan tentang perkembangan dalam agama Islam harus diawali dengan Tajdid yang digagas oleh M. Abduh melalui pemikiran yang lebih rasional, Islam yang berintelektual, Islam yang substansional, dan Islam transformatif, melalui hal tersebut umat Islam dapat memiliki pola yang lebih luas dari pada seputar norma-norma dan nilai keislaman saja. Menurut Amin abdullah bahwa akar permasalahan dari kejumudan yang ada adalah terdapat pada umat muslim di era sekarang yang seakan malas dan belum mampu menerima perkembangan zaman yang semakin terang, seperti halnya mentalitas yang berhubungan dengan kebudayaan ( cara berpikir dan kemajuan teknologi) oleh karena itu manusia perlu di upgrade  menjadi muslim di era now. [13]
                        Dalam al-Qur’an ada term ayat yaitu “al-mu’minu haqqa” yaitu muslim sejati, atau sebenar-benarnya muslim yang ada. Jika kita tarik ulur tujuan dari pemahaman Amin Abdullah yang di tuangkan dalam pemikirannya yaitu Islamic studies  dengan term “al-mu’minu haqqa” pada zaman sekarang adalah  sebuah trobosan pemikiran, yang kemudian timbul pertanyaan lantas bagaimana al-Mu’minuna haqqa dipahami pada era millenial. Perlu diketahui bahwasannya sebenarnya sudah banyak ulama’ yang menggagas atas pemikiran ini, mulai dari Abdul Karim Al-jili yang memiliki teori Insan Kamil dengan menyadarkan manusia yang merupakan makhluk sempurna dan aharus mengupayakan apa saja menjadi sempurna karena telah diciptakan menjadi makhluk yang sempurna denga nakal dan fisik yang memadai, lantas penulis juga ingin mengkaji hal yang setema insan al-kamil seperti yang ditulis oleh Abdul Karim Al-Jili yaitu tema Al-Mu’minuna Haqqa.[14]
1.      Al-Mu’minuna Haqqa dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang paling otentik, dan paling orisinil, suci dan terperi. Namun apakah hanya seperti itu al-Qur’an ada dalam kehidupan manusia, tentunya tidak, menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an merupakan al-Huda yaitu kitab petunjuk atas segala problem manusia, artinya jika ada permasalahan dalam realita, maka sebuah konteks al-Qur’an seharusnya mampu menjawabnya, hanya saja manusia kadang memiliki kapasitas dalam memahami bahasa dan makna dalam al-Qur’an tersebut.[15]
Yang paling unik dari kitab al-Qur’an yang pada awal masa penurunannya di bangsa Arab, dengan segala problematika pada awal hijriyyah akan tetapi Al-Qur’an mampu menelurkan pemahaman yang merombak ke dalam sosial budaya yang ada, ibarat yang ada adalah langit dan bumi dimanapun ia berada maka semua akan cocok karena dalam dunia ini semua akan selalu terjamah oleh al-Qur’an, akan tetapi al-Qur’an lebih dari luasnya langit dan bumi tersebut, bahkan al-Qur’an dalam al-Manar disebutkan dengan selalu benar dimanapun dan dalam keadaan apapun.[16]
Namun apakah sesederhana demikian memahami al-Qur’an, tentunya banyak ilmuwan cendikiawan mencoba memahami al-Qur’an dengan berbagai macam pendektan yang biasa disebut tafsir, namun tafsir siapa yang dapat mencakup segala bentuk kelahiran permasalahn yang ada dalam masyarakat, permasalahan yang ada dalam masyarakat kini semakin dinamis sedangkan al-Qur’an bersifat statis. Sehingga khazanah penafsiran dan pemikiran adalah keilmuan yang tak akan pernah sirna selagi problem masalah masih ada.[17]
Sehingga muncul beberapa ulama’ tafsir dari masa-kemasa dari mulai masa klasik abad pertengahan dan abad kontemporer.[18] Semua ulama’ tersebut sebenarnya gelisah dari mulai Ibnu Abbas, al-Zamakhsyari, al-Razi, al-Suyuti, dari berbagai daerah berbagai keadaan berbagai ciri penafsiran, mencoba mengupas hal-hal Musykilat  yang sebenarnya dipecahkan dengan solusi ilmiyyah lewat petunjuk tuhan yaitu al-Qur’an.[19]
Dan salah satu problem dalam masa modern seperti saat ini adalah tentang apatisasi kaum muslimin akan masalah sosial yang ada, salah satunya kebingungan mereka terhadap menjalani hidup sebagai semestinya umat muslim yang sesungguhnya. dan adalam kesempatan berikutnya penulis akan menjelaskan apa itu mu’min sejati dan apa yang harus dilakukan di abad modern seperti sekarang.
 Dalam kamus Mu’jam al-mufahras li alfadz al-Qur’an menyebutkan bahwa lafadz Mu’minun dan derifasinya terdapat 180 kali, sedangkan jika disandingkan dengan lafadz al-haqqa maka hanya akan ada dua ayat. Yaitu dalam surat al-Anfal Ayat 4, dan al-Anfal ayat 74.[20] Yaitu:
أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Artinya: “Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”
Dan juga Al-Anfal ayat 74:
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Artinya: Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.
Jika ditinjau dari makna bahasa makna almu’min berasal dar lafadz amana yu’minu imanan yang memiliki arti percaya mempercayai kepercayaan sedangkan lafadz mu’minu menganut wazan isim fail yaitu muf’ilun menjadi Mu’minun, yang memiliki faidah li taf’dlil yaitu orang yang sangat percaya.[21] Sedangkan makna Haqq menurut kamus  Mufradat li-Alfadz al-Quran mengatakan bahwa al-haqqu itu bermakna, Muthabaqah, muwafaqah, atau bisa juga dimkanai dengan hikmah, kebenaran atau petunujk, bisa juga dimaknai kepemilikan mutlaq.[22] Oleh karena itu makna al-mu’minu haqqa dapat diartikan sebagai makna mu’min yang sejati atau yang sebenarnya.
Sebelum membahas pembahasan ulama’ modern yaitu sayyid Qutub, maka perlu ditinjau dulu pemetaan dalam dunia penafsiran, jika dilihat dari periodesasi yang dilakukan oleh Mustaqim maka akan terlihat jelas bahwa tafsir secara umum itu melewati tiga dinamika sejarah tafsir, yaitu masa klasik, pertengahan dan kontemporer.[23] Oleh karena itu ulama’ klasik dan ulama’ kontemporer itu memiliki perbedaaan gaya penafsiran atau sederhananya, jika ulama’ klasik dan pertengahan memiliki gaya makna tekstualis dan lebih buruknya dalam penafsirannya terdapat bias idiologi, maka dalam ulama’ kontemporer mereka lebih bijaksana dalam menyikapi perkembangan zaman, yaitu dengan menempatkan nalar kritis dalam epistemologis secara kontekstualis, keluhan problem yang ada dalam aspek sosial maupun budaya.[24]
Maka dalam kajian ini penulis akan menyampaikan uraian pendapat ulama’ tafsir abad klasik dan pertengahan sehingga jelas penafsirannya berbeda dengan ulama’ abad modern saat ini. Karena dalam sepak terjang dunia penafsiran, pemahaman itu selalu nerkembang seiring dengan perkembangan zaman, bukan berarti mengatakan bahwa tafsir abad klasik dan pertengahan itu salah, akan tetapi dibutuhkan pemikiran-pemikran baru yang menjadikan antara pemahaman dan kenyataan itu tidak tersekat oleh dinding kokoh yang tak bisa dijatuhkan, akan tetapi dalam hal ini mencoba menselaraskan antara pemahaman lama dan pemahaman baru guna terciptanya pemahaman yang progresif, konserfatif, juga komprehensif.
Dalam tafsir Jami’ al Bayan an ta’wil Ay al-Qur’an karya Ibn Jarir At-Thabari , dari basar berkata dari yazid berkata telah mengabarkan kepada kita Said dari Qatadah, yang dimaksud dari ayat
أولئك هم المؤمنون حقًّا
“Orang yang memiliki iman secara iman yaitu melakukan apa yang diperintahkan Allah dengan sebaik-baiknya.” Yaitu arti dari kebaikan adalah yang dijelaskan dalam ayat sebelumnya yaitu orang-orang yang melakukan sholat dan menginfaqkan rezeki mereka.[25] Sedngakan dalam al-Anfal ayat 74 mengatakan
أولئك هم أهل الإيمان بالله ورسوله حقًّا
Yaitu orang-orang yang memiliki keimanan kepad allah dan Rasulnya secara benar.[26]
Menurut Muhammad Ibn Umar al-Ma’ruf Fakhruddin Al-Razi bahwa makna al-mu’mununa haqqa dalam al-Anfal ayat 4 memiliki dua arti bahwasannya yang pertama adalah tidak adanya keraguan dalam keimanan seseorang tersebut (yaqin). Yang kedua yaitu adalah Mu’min yang telah miliki kelima sifat yaitu, takut kepada Allah, ikhlas dalam agama Allah, Tawakkal kepada Allah, mendatangi shalat ketika, zakat semerta-merta karena ridla kepada Allah. Itulah penjelasan dari Al-Razi mengutip dari pendapat Imam Syafi’i bahwa haqq itu dapat dimaknai tidak Syak (bimbang).[27]
Sedangkan menurut Fakhruddin Al-Razi dalam QS. Al-Anfal ayat 74 memberika 4 uraian yaitu sebagai berikut:
1.      Sesungguhnya orang yang Iman kepada Allah, malaikat, kitab, Rasul, hari akhir, menerima segala bentuk perintah kewajiban yang sudah di berikan rasulullah dan juga menjauhi yang dilarang oleh rasul.
2.       Orang yang meninggalkan kemewahannya menuju keridlaaan Allah.
3.      Menginfaqqakan zakat dan amal perbuatannya atas jalan Allah.
4.      Selalu melakukan perbuatan dan tindakan yang dapat taqwiyyah al-Din (menguatkan agamanya).[28]
Jika ditinjau dari aspek permasalahan yang ada, maka tidak cukup bagi seorang mu’min sejati hanya melakukan sebuah upaya yang hanya notabene menuju kepada sholih terhadap alam eskatologi atau akhirat saja, tentu dalam dunia ini permasalahan seperti alam yang dirusak, kemiskinan, korupsi, permasalah idieologi negara, perpecahan umat, semua itu tidak bisa cukup hanya dengan penafsiran yang dilakukan oleh ulama’ klasik seperti itu saja, yaitu yang berkutat pada spiritual keimanan. Oleh karena itu perlu solusi penafsiran dari ulama’ modern yang mengembangkan penafsairan dari ulama’ klasik tersebut. Salah satunya yaitu sayyid Qutb.
2.      Sayyid Qutb
Nama lengkap beliau adalah Qutb Ibrahim Husain Shadili, beliau lahir di mesir pada tanggal 9 oktober 1906, ayah dari sayyid Qutb merupakan aktifis dalam partai Nasional Musthafa kamil dan juga giat dalam penggerak pengelola majalah al-Liwa’, Sayyid Qutb adalah orang yang cerdas, bahkan usia sepuluh tahun beliau sudah hafal al-Qur’an di luar kepala. Karir dalam dunia akademiknya sangat gemilang sampai beliau masuk dalam universitas Dar Ulum (universitas Mesir Modern) hingga memperoleh gelar sarjana dalam bidang Art.[29]
Di antara para ulama’ kontemporer yang sangta concern terhadap penafsiran Al-Qur’an adalah Syyid Qutb (1906-1966 M.) salah seorang ulama’ terkemuka terutama dalam organisasi masyarakat Ikhwanul Muslimin, mungkin karena kiprah seorang ayahnya yang juga berkutat dalam hal tulis menulis, hal ini tentunya sang anak yaitu Sayyid Qutb yang memiliki basic al-Qur’an yang luar biasa, hal ini dibuktikan dengan gerakan literasinya yang sukses menghasilkan sebuah kitab tafsir berjudul Fi Dzilal al-Qur’an, tafsir ini memiliki keunikan karena anaslisi sosiologis yang kental dengan berbagai macam uraian signikansi konteks ayat pada zaman sekarang, oleh karena itu banyak muslim kontemporer merujuk kitab ini sebagai dasar bahan penelitian.[30]
Corak penafsiran Sayyid Qutb merupakan cora sastrawi atau adab al-ijtima’i seperti yang dilakukan juga oleh Amin al-Khulli, beliau juga merupakan salah satu tokoh yang disebut sebgai pencetus adanya tafsir bercorak sastrawi yang meiliki beberapa murid terkemuka seperti Aisyah Abdurrahman atau biasa dikenal dengan nama penanya yaitu Bintu Syati’, begitu juga Tantowi jauhari, maupun Ahmad khalafallahh, yang kemudian diteruskan oleh Nasr Hamid Abu zayd, hanya saja tafsir sayyid Qutb lebih diterima dengan nilai positif dari pada Amin Al-Khulli(1895-1966) maupun Nasr Hamid Abu Zayd (1943-2010).[31]
Sayyid Qutb mendapatkan sambutan yang hangat dalam pemikirannya oleh masyarakat yang mayoritas sunni, bukan berarti mengatakan kalau selain sunni tidak menerima pemikiran selain Sayyid Qutb hanya saja, dibanding yang lain Sayyid Qutb memiliki posisi yang menarik dengan karyanya tafsir fi dzilal al-Qur’an, memiliki corak yang lebih sejuk dengan bahasan yang ditelaah beliau dari tafsir-tafsir lama kemudian memberikan uraian di masa sekarang, seperti tafsiran al-Mukminuna Haqqa yang tekstualis beliau juga menyebutkannya dalam tafsirnya, akan tetapi dalam pembahasan selanjutnya beliau Sayyid Qutb melengkapi dengan kajian kontekstualis, lewat munasabah al-ayat dan juga logika yang mendasar.[32]
Beliau memberi sebuah statment yang sangat menarik, meskipun al-Qur’an yang diturunkan kepada masyarakat arab artinya tertentu akan suatu masyarakat, akan tetapi keberlangsungan ajaran al-Qur’an itu sepanjang zaman. Karena ibarat sebuah rel kereta al-Qur’an dapat dilewati oleh gerbong kereta mana saja dan dapat menghatarkan kepada masa selanjutnya dengan al-Huda dan al-Muttaqin secara benar dan tanpa kepentingan-kepentiangan.[33]
Perlu diketahui bahwasannya dalam setiap tafsir pasti terdapat pra-konsepsi karena setiap manusia pasti memiliki bias dalam kehidupannya masing-masing, jadi akan sia-sia jika mufassir mencoba untuk menghindari istilah Subyektifis karena hal tersebut dapat merusak pemahaman sang mufassir terhadap obyek penafsirannya yaitu al-Qur’an.[34] Akan tetapi pra-konsepsi dalam dunia lain sering disebutkan dengan pra- pemahaman atau sering disebut dengan Horizon, sehingga antara teks yang dibaca harus siap dikritik sesuai dengan lingkup penjumpaaan teks.[35]
3.      Penafsiran Sayyid Qutb terhadap Al-Mu’minuna Haqqa
Dalam surat al-Anfal Ayat 4 sayyid Qutb menjelaskan bahwa yang dimaksud dari Al-Mu’minuna Haqqa yaitu Al-Iman al-Kamil (keimanan yang sempurna). Dalil tersebut menunjukkan yaitu muslim mukmin yang selalu mau berusaha merubah keadaan menjadi lebih baik, artinya jika ada sebuah keadaan yang tidak baik akan tetapi dia hanya berdiam saja itu namanya hanya muslim dan mu’min yang biasa, bukan yang al-haqq.[36] Sayyid Qutb memberikan ta’bir dengan perbandingan ayat yang lain yaitu pada surat Yunus ayat  32:
فَما ذا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
Artinya: “Maka tidak ada itu setelah kebenaran melainkan kesesatan. Maka mengapatan kamu berpaling?”. Maka jika manusia hanya berdiam saja akan sebuah keadaan dan hanya menikmati kehidupannya tanpa berusaha menuju lebih baik, maka dia belum menjadi Mu’min al-Kamil.[37]
Jika seperti itu, maka apabila ada sebuah ketidakadilan yang dilakukan akan orang muslim tersebut, akan tetapi orang muslim tersebut hanya diam saja dianiaya dan hanya memilih pasrah dipenjara dan lain macam sebagainya, sebagai perlakuan yang tidak enak. Maka engkau boleh curiga akan muslim tersebut, bagaimana bisa dia menyandang aqidah yang begitu kuat, syariat Islam yang begitu kuat, tetapi hanya diam atas yindakan jahat.[38]
Salah satu faktor yang penyebab gagalnya menjadi manusia kamil adalah memiliki intelektual separuh-separuh, hal itu dikarenakan tidak adanya keselarasan antara pemahaman agama dan pemahaman sosial politik dan budaya, yang mengakibatkan dia sulit menerima perubahan, dan prematur atas sebuah upaya, setidaknya ketika da sebuah hal yang janggal khususnya pada masyarakat seorang yang memiliki jiwa muslim harus menegakkan keadilan.[39]
Setelah Surat al-Anfal ayat 4 menerangkan signifikansi yang berkaitan dengan upaya apa yang harus dilakukan muslimdalam menyikapi problem sosial, maka pada ayat selanjutnya yang menyebutkan lafadz al-Mu’minuna Haqqa adalah QS. Al-Anfal ayat 74, karena memang term Lafadz al-mu’minuna Haqqa hanya ada dua[40] yaitu:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Artinya: Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.
Dalam Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an beliau mengatakan dengan lantang dan tegas bahwasannya, ayat ini adalah sebuah gambaran bagaimana sebuah manusia yang harus memahami hakikat dari sebuah agama, bahwasannya agama bukanlah hal yang melulu berkutat atas aqidah agama yang menteorisasikan sesuatunya hingga terlihat nyata, atau melakukan peribadatan sembahyang ubudiyyah dengan begitu menikmatinya, karena sesungguhnya kehidupan adalah sebuah jalan hidup yang tidak bisa disamakan dengan pekerjaan, kecuali kehidupan ini untuk bergerak atau merubah menuju hal yang lebih baik, yaitu merubah hal yang baik pada masa sekarang (al-Harrakah al-Waqi’iyyah).[41]
Lantas jika dipahami dan di lihat dari kajian tafsir seluruh lafadz al-mu’minuna Haqqa ini berada dalam surat al-Anfal yang memiliki arti Harta rampasan perang, yaitu memiliki makna pesan beribadah dalam dua cermin sisi, bukan dalam satu sisi saja, seprti halnya harta rampasan, seperti amal dunia dengan perang, padahal juga amal akhirat dengan berani membela keislamannya, akan tetapi pahalanya juga diberikan di dunia lewat al-ghanimah (Harta rampasan perang), begitu juga hal lil akhirat.
إعلان عام لتحرير «الإنسان» في «الأرض» من العبودية للعباد - ومن العبودية لهواه أيضا وهي من العبودية للعباد - وذلك بإعلان ألوهية اللّه وحده - سبحانه - وربوبيته للعالمين  أي  الكامل على كل وضع في أرجاء الأرض
Yaitu memberikan pengumuman kepada kebanyakan umum atas posisi manusia di bumi yang harus melakukan kewajiban beribadah sebagi hamba Allah, begitu juga seruan Iluhiyyah Allah SWT yang menjadi rabb seluruh alam yaitu seruan untuk menjadi al-Kamil (sempurna) atas seluruh tempat pijakan di dunia.[42]
Muslim sejati tidak boleh ahnya berdiam, dia harus bersungguh-sungguh dalam urusan apapun, artinya Mu’min dapat dikatakan menjadi al-Mu’minuna Haqqa jika dalam urusan Hukum syariat, Politik, sosial dan budaya tidak acuh dan berdiam saja, atau malah hanya masuk kenikmatan dalam dunia ibadah, seakan Islam baik-baik saja dan tidak terjadi masalah apa-apa, ini menurut sayyid Qutub bukanlah hal yang tidak baik, muslim tidak boleh hanya berdiam juga dalam rizki sebelum rizki tersebut diupayakan dengan semaksimal mungkin dalam kehidupan. Lantas bagaimana seseorang dapat menolong orang lain jika dirinya sendiri masih belum bisa mengatasi masalah rizki, oleh karena itu berdiam bukanlah solusi untuk umat islam yang sejati.[43]
4.      Mu’min Sejati dan Kepedulian Lingkungan
Sebuah pembenaran bahwa sudah seharusnya umat muslim adalah umat yang tidak boleh diam atas sebuah ketidakadilan, penindasan, krisis ekonomi, bahkan juga terhadap pengrusakan alam sosial. Ibarat sebuah parasit sudah seharusnya dihilangkan dari buah maupun tananaman kehidupan. Oleh karena itu seperti yang dikatakan Sayyid Qutub yang dikemukakan oleh Eko Prasetyo mengatakan bahwasannya Islam merupakan gerakan yang selalu mencita-citakan atas revolusioner. Ia adalah sebuah sosok yang selalu melawan akan pendewasaan manusia, melawan ketidakadilan, melawan bias prasangka politik, ekonomi yang tidak seimbang, ras dan etnis karena dalam hakikat keimanan adalah menghalangkan segala bentuk dan seluruh keturunannya dari sebuah penindasan, sehingga perlawanan dalam sebuah keimanan adalah hal yang tak bisa terhindarkan.[44]
Dalam ruang linkup manusia muslim, sering dikenal dengan dua kaum yang saling bertolak belakang, dan menjadi kunci akan sebuah kegagalan akan arti kata dari kemakmuran yang sering di elu-elukan oleh banyak pemimpin, yaitu kaum Mustadhafin (orang-orang yang dilemahkan, atau tertindas), kemudian yang kedua adalah Mustakbirin (orang-orang yang sombong) terbangun atas ruang sosial yang tidak ekploitatif, karenanya sebuah keselarasan dalam dua kaum tersebut harus di pupuk perlahan agar pertumbuhan antar kaum tidak terlalu runcing. Dalam hal ini Asghar Ali Engineer memberikan sebuah uraian bahwa dalam kehidupan berikutnya nabi telah menuntun umatnya agar tidak tersesat dalam kegelapan, mungkin hal tersebut rasulullah disebut dengan Rahmatan Lil Alamin, yaitu Implementasi dari keimanan sudah seharusnya konotasinya terhadap ruang lingkup lingkungan sosial, Asghar Ali Engineer memberikan sebuah konstruk atas Responsif Implementasi keimanan adalah dengan menyerukan Islam Pembebasan, yaitu membangun dan menelurkan masyarakat yang memiliki mental yang militan terhadap perubahan kehidupan akan tetapi bukan bersifat anarkis, melainkan bersifat egaliter emansifatif dan empatif.[45]
Umat Islam sudah seharusnya memiliki kepedulian yang lebih, dan kepekaan sosial tanpa pamrih seperti yang diajarkan rasulullah dengan kelembutan namun tegas akan sebuah ketidakbenaran, artinya semua yang dilakukan semata-mata adalah hati nurani yang tulus yang tidak diracuni dengan eksploitatif, atau teror kompetitif, melainkan semua yang dilakukan muslim adalah sebuah sensifitas yang reseptif atas segala bentuk dan model yang dibangun atas cita-cita bersama dengan keinginan kehidupan yang memiliki peran masyarakat inklusif bukan eksklusif, begitu juga tidak melakukan tindakan anarkis dan radikalis, namun segala sesuatunya yang dilakukan umat islam harus damai sejuk dengan nilai etis dan estetis.[46]
Perlu diketahui umat Islam dalam sebuah kepedulian sosial sering kali dinina bobokkan akan kegiatan spiritual, mereka berlarut-larut akan kegiatan sholih individual, padahal dalam hal urusan pewahyuan adalah progresifitas.[47] Sebuah kejumudan bila dilihat muslim yang ada selalu buta dan tuli akan saudara-saudara nya yang tertimpa musibah diluar sana, mereka tetap tenang dan tidak memahami realitas sosial, bisa jadi ketika saudara yang disana tertindas kemudian berimbas pad esok hari muslim tersebut mengalami nasib yang sama pada fase selanjutnya, katakanlah sebuah ekonomi global yang membunuh begitu banyak pasar tradisional, hal ini seharusnya dipandang serius umat muslim dengan mengkaji islam secara hormatif bukan hanya Islam historis, akan tetapi jika keduanya diketahui maka itulah muslim sejati.[48]
Tentu sangat ”lucu dan wagu” jika dilihat dari beberapa Islam Fundamentalis yang begitu yakin dengan keabsulutan sebuah hukum yang kemudian dengan tiba-tiba seperti dalam film Harry Potter (film yang menceritakan tentang sebuah kekuatan magic yang dengan tiba-tiba sesuatu halnya depat tercapai dengan sendirinya atau dengan keyakinan semata),  mereka selalu percaya bahkan terkadang taklid buta akan sebuah doktrin yang terus dipegangnya dengan kokoh membabi buta.
Sayyid Qutb mengatakan bahwa hidup haruslah memahami kondisi sosial yang ada, bahkan kitab suci al-Qur’an merupacan Pollitical Document, artinya dalam menyikapi kehidupan haruslah disertai dengan kebijaksanaan dan muslim sekarang jarang memiliki semua itu yaitu kebijaksanaan berpikir sacara teoritis menggunakan akal sehat. Namun  kalau diketahui manusia muslim dalam dunia tidak seperti yang dicita-citakan dalam al-Qur’an sebagai mana menjadi umat yang berada diantara kedua kutub sekuler dan liberal  namun seharusnya lebih moderat dan progresif. [49]
Umat mu’min atau muslim saat ini seperti kembali dalam masa jahiliyyah dimana mereka lebih mudah menganggapa berbagai persoalan secara klaim sepihak, semisal jika mereka seorang muslim mengembangkan pemikiran barat maka mereka dengan mudahnya menganggap dengan sekuler dan ateis, bahwasannya dalam fase sekarang dunia barat (Western) adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak, seharusnya upaya yang dilakukan adalah mengkonsep pola dunia barat yang masuk dengan hal yang sesuai dengan koridor batas Islam, bukan malah menolaknya secara mentah dan dibuangnya seperti sampah.[50]



Kesimpulan
            Muslim pernah berjaya dalam masa sejarah lalu, maka seruan untuk kembali bersaing dengan dunia atas keterpurukan umat mu’min yang dinina bobokkan atas sebuah realita, bahkan juga apatis akan sebuah keadaan sosial terlalu disibukkan dengan kegiatan ibadah yang sifatnya individual belaka, sehingga ia lupa bahwa manusia adalah zoon politicon yaitu makhluk yang senantiasa bijaksana dalam menyikapi keadaan yang ada. Al-Qur’an sebagai pollitical Documen seharusnya digunakan umat mu’min untuk berubah menjadi pribadi yang lebih dahsyat.
            Orang muslim zaman dulu dan zaman sekarang tentu berbeda, upaya ibadah tanpa pemikiran yang kuat akan pertikaian dan pergolakan perekonomian dunia dapat menjadikan umat mu’min terpuruk dan tertindas terjajah bukan hanya soal materiil namun juga bisa secara spiritual. Oleh karenanya dalam al-Qur’an jika dilihat ada al-Mu’minuna Haqqa yang membuat penulis tergugah menjawab problem esensi kehidupan yang lama telah duduk bersila, lewat pemikiran penafsiran yang tergolong modern yaitu Sayyid Qutb dalam surat al-Anfal ayat 4 dan ayat 74 mengajarkan bahwa berdiam atas keadaan tanpa merubahnya menjadi lebih sejahtera adalah tindakan dosa.
            Oleh karena itu umat mu’min perlu berbenah dalam setiap lini kehidupannya baik secara sosial, budaya, lingkungan, ekonomi, moral bahkan juga agama, karena jika terlarut dalam keadaan yang nyaman yaitu beribadah karena akhirat dan terhadap masalah realitas permasalahan dunia tidak dilihat, maka umat islam tidak dapat dikatakan insan kamil, muslim progresif atau hanya islam biasa dan bukan al-Mukminuna Haqqa, padahal dalam al-Qur’an jelas bahwa menjajikan dalam al-An fal 74 yaitu “Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.”


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
K. Hitti, Philip, 2006History of The Arabs, (jakarta, Serambi).
Anas, Malik Ibn, 2004, Muwatto’ Imam Malik, (maktabah Syamilah:) Juz 5
Mustaqim, Abdul,  2014 , Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press
Rachman, Iman. 2011, Islam Jawaban Swmua Masalah Hidup, (Surabaya :Erlangga).
Assa’idi, Sa’dullah. 2013Pemahaman Tematik Al-Qur’an menurut Fazlurrahman, (Yogyakarta, Pustakan Pelajar:).  Saduran dari Fazlur Rahman Major of Themes.
Syariati, Ali. 1987Tugas cendekiawan Muslim, (jakarta, rajawali press).
Geertz, Clifford, 1989 Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat jawa, (Jakarta, Pustaka jaya) Cet. Ketiga
David, Ahmad. Islam Progresif Dalam gerakan Sosial dawam raharjo, dalam Jurnal Pemberdayaan Masyarakat. Vol 1 No. 1 (2017), ISSN; 2850-863X Hlm. 45.
Farag Fouda, 2003, kebenaran yang hilang, (Jakarta, Demokrasi Project).
Baqi, Fuad Abdul, 1998Mu’jam al-Mufahrasy Li al-Fadz al-Qur’an, ( Beirut, Dar Kutub al-Alamiyyah).Juz 1
Sayyid Qutb, Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3
Abdullah, Amin . 2012, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar) Cet. Ke 3
Busyro, Muhtarom. 2007, Shorof Krapyak, (Yogyakarta, Putera mahkota).
al-Asyfihani, Al-Raghib. 1998,  Mufradat Li-Alfadz al-Qur’an, (Beirut, dar Ma’arif).
Abdul Karim Al-Jilli, Al-Insan al-kamil Fi makrifah awaikhir wal Awail, (Beirut, dar Kutub Al-Ilmiyyah: 1418)
Abduh, Muhammad, 1996 Tafsir Al-Manar (beirut, dar Ibnu Ashosoh). Juz 1
Mustaqim, Abdul, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2008).
Ibn Jarir At-Thabari, Jami al-Bayan Fi ta’wil Al-Qur’an, (Beirut, dar Ibnu Ashashah: 2000).
Muhammad Ibn Umar al-Ma’ruf Fakhruddin Al-Razi, mafatih Al-Ghaib, (Beirut, dar Ihya’). Juz 15
Arif , Muhammad, 2002 Studi Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta, Tiara Wacana)
Syamsuddin, Sahiron, 2009, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta, Pesantren Nawapress). Hlm 29.
Sayyid Qutb, Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3
Yusuf Rahman, 2011, Akidah Sayyid Qutb (1906-1966) dan penafsiran sastrawi terhadap al-Qur’an, , dalam jurnal Tsaqafah Vol 7, No. 1 (2011). 70
Sayyid Qutub, Fiqih Dakwah, (AL-Risalah:1970),
Eko Prasetyo, 2014 Islam Kiri: jalan menuju revolusi sosial, (Yogyakarta, Resist Book).
Convulsions of Modern Times, Al-Banna Al-Mawdudi, Al-Qutb, 156 H.
Asghar Ali Engineer, 1999Asal Usul dan perkembangan Islam, (Yogyakarta, Insist Press dan Pustaka Pelajar,)
Ashgar Ali Enginer, 1999 Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar:)
essack,  Farid, 2000 membebaskan yang tertindas, (Yogyakarta, Mizan).



[1]QS. 9: 36. 30:30.
[2] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (jakarta, Serambi:2006) . Hlm. 150.
[3] Malik Ibn Anas, Muwatto’ Imam Malik, (maktabah Syamilah: 2004) Juz 5 Hlm. 297
[4] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2014 , Hlm.xii-xiv.
[5] Iman Rachman, Islam Jawaban Swmua Masalah Hidup, (Erlangga: 2011). Hlm. Ix-x
[6] Sa’dullah Assa’idi, Pemahaman Tematik Al-Qur’an menurut Fazlurrahman, (Yogyakarta, Pustakan Pelajar: 2013) .Hlm 241. Saduran dari Fazlur Rahman Major of Themes.
[7]Ali Syariati, Tugas cendekiawan Muslim, (jakarta, rajawali press:1987). Hlm.7
[8]Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm 18.
[9]Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat jawa, (Jakarta, Pustaka jaya:1989) Cet. Ketiga Hlm.6
[10] Ahmad David, Islam Progresif Dalam gerakan Sosial dawam raharjo, dalam Jurnal Pemberdayaan Masyarakat. Vol 1 No. 1 (2017), ISSN; 2850-863X Hlm. 45.
[11] Farag Fouda, kebenaran yang hilang, (Jakarta, Demokrasi Project: 2003). Hlm x-xi
[12]Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar:2012) Cet. Ke 3 Hlm.245.
[13] Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Hlm. 246.-237.
[14] Abdul Karim Al-Jilli, Al-Insan al-kamil Fi makrifah awaikhir wal Awail, (Beirut, dar Kutub Al-Ilmiyyah: 1418) Hlm. 207
[15] Tafsir Al-Manar, Muhammad Abduh, (beirut, dar Ibnu Ashosoh: 1996). Juz 1 Hlm. 4
[16] Tafsir Al-Manar, Muhammad Abduh, Hlm. 6
[17] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2014 , Hlm. 12.
[18] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2014 , Hlm.xii-xiv.
[19] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2008). Hlm. 98
[20] Fuad Abdul Baqi, Mu’jam al-Mufahrasy Li al-Fadz al-Qur’an, ( Beirut, Dar Kutub al-Alamiyyah: 1998).Juz 1 Hlm. 93-94.
[21] Muhtarom Busyro, Shorof Krapyak, (Ypgyakarta, Putera mahkota:2007). Hlm. 82
[22] Al-Raghib al-Astfihani, Mufradat Li-Alfadz al-Qur’an, (Beirut, dar Ma’arif: 1998). Hlm. 246
[23] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2014 , Hlm.xii-xiv.
[24] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2008). Hlm. vii
[25] Ibn Jarir At-Thabari, Jami al-Bayan Fi ta’wil Al-Qur’an, (Beirut, dar Ibnu Ashashah: 2000). Juz 13. Hlm 387
[26] Ibn Jarir At-Thabari, Jami al-Bayan Fi ta’wil Al-Qur’an, (Beirut, dar Ibnu Ashashah: 2000). Juz 14. Hlm 88
[27] Muhammad Ibn Umar al-Ma’ruf Fakhruddin Al-Razi, mafatih Al-Ghaib, (Beirut, dar Ihya’). Juz 15 Hlm 453
[28] Muhammad Ibn Umar al-Ma’ruf Fakhruddin Al-Razi, mafatih Al-Ghaib, (Beirut, dar Ihya’). Juz 15 Hlm 516
[29]Studi Al-Qur’an Kontemporer,Muhammad Arif , (Yogyakarta, Tiara Wacana:2002) Hlm. 111 
[30] Studi Al-Qur’an Kontemporer,Muhammad Arif , (Yogyakarta, Tiara Wacana:2002) Hlm. 110 
[31] Yusuf Rahman, Akidah Sayyid Qutb (1906-1966) dan penafsiran sastrawi terhadap al-Qur’an, , dalam jurnal Tsaqafah Vol 7, No. 1 (2011).  70
[32] Sayyid Qutb, Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3 Hlm 1560.
[33] Sayyid Qutub, Fiqih Dakwah, (AL-Risalah:1970), Hlm. 17
[34] Bultman, “The problem of Hermeneutic”, Hlm. 241-242 yang di kutip oleh Yusuf Rachman, Akidah Sayyid Qutb dan penafsiran sastrawi dalam al-Qur’an, dalam Jurnal Tsaqofah, vol. 7 No.1  April 2011.
[35] Sahiron syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta, Pesantren Nawapress;  2009). Hlm 29.
[36]Sayyid Qutb, Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3 Hlm 1474
[37] Sayyid Qutb, Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3 Hlm 1474
[38] Beberapa Studi tentang Islam, (Dar Fath:1372 H.) Hlm. 23
[39] Ali Syariati, Tugas cendekiawan Muslim, (jakarta, rajawali press:1987). Hlm.242
[40] Fuad Abdul Baqi, Mu’jam al-Mufahrasy Li al-Fadz al-Qur’an, ( Beirut, Dar Kutub al-Alamiyyah: 1998).Juz 1 Hlm. 93-94.
[41] Sayyid Qutb, Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3 Hlm 1560.
[42] Sayyid Qutb, Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3 Hlm 1433.
[43] Sayyid Qutb, Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3 Hlm 1560.
[44] Eko Prasetyo, Islam Kiri: jalan menuju revolusi sosial, (Yogyakarta, Resist Book: 2014). Hlm. 305
[45]Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan perkembangan Islam, (Yogyakarta, Insist Press dan Pustaka Pelajar, 1999) Hlm. 30.
[46] Ashgar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1999) Hlm. 23-24.
[47]Farid essack, membebaskan yang tertindas, (Yogyakarta, Mizan: 2000). Hlm. 20
[48] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2006). Hlm. 45
[49] Yusuf Rahman, Akidah Sayyid Qutb (1906-1966) dan penafsiran sastrawi terhadap al-Qur’an, , dalam jurnal Tsaqafah Vol 7, No. 1 (2011).  69
[50] Convulsions of Modern Times, Al-Banna Al-Mawdudi, Al-Qutb, 156 H.