Minggu, 29 Oktober 2017

SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI AGAMA

1.      Ayat al-Qur’an

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah “ Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka  sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya dialah yang maha pengampun lagi maha penyayang. ( QS az-Zumar 53)

2.      Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul ayat ini adalah berkenaan dengan kaum musyrikin Mekkah yang keterlaluan melakukan maksiat. Ayat ini memperingatkan mereka untuk tidak putus harapan mencari ampunan Allah. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang shahih yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Ibnu Umar berkata: “ Pernah kami menganggap bahwa taubat seseorang yang menyeleweng dari agama Islam, Bahkan meninggalkannya dengan penuh kesadaran tidak akan diterima”. Ketika Rasulullah tiba ke Madinah (Hijrah dari Mekkah), turunlah ayat ini ( az-Zumar 53), yang menegaskan bahwa Allah akan mengampuni dosanya walaupun telah melampaui batas.
Dalam riwayat lain yaitu dari al-Hakim dan al-Thabarani yang bersumber dari Ibnu Umar. Dikemukan bahwa Rasulullah mengirim utusan kepada Wahsyi (Pembunuh Hamzah) agar dia masuk Islam, Kemudian Wahsyi menjawab: Bagaimana mungkin kau mengajaku masuk Islam padahal engkau menganggap bahwa orang yang membunuh, zina dan syirik, akan mendapat siksa bahkan dilipat gandakan siksaaanya pada hari kiamat serta abadi didalamnya dan terhina. Aku adalah seseorang yang seperti itu, Apakah ada pengecualian bagiku? Aku masih ragu apakah aku termasuk orang yang dikehendaki Allah untuk diampuni?. Maka Allah menurunkan ayat ini (az-Zumar 53) yang melarang berputus asa dari rahmat Allah. Stelah turunnya ayat ini Wahsyi berkata: “Inilah yang aku harapkan”. Kemudian ia masuk Islam.

3.      Konteks Sosial
Kondisi sosial bangsa Arab pra Islam merupakan jaman jahiliyyah (masa kebodohan), dinamakan demikian karena memang keadaan Arab pada saat itu benar-benar dalam kondisi kesesatan yang nyata, jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Kesesatan yang dialami bangsa Arab dapat dilihat dalam berbagai bidang diantaranya adalah:
1)      Bidang Agama
Sebelum masuknya agama Islam bangsa Arab tidak mengenal agama tauhid dengan menyembah Allah, mereka pada umumnya menyembah Berhala, Matahari, Api,Air dan Pepohononan. Penyembahan yang mereka lakukan merupakan perbuatan syirik yang pada hakikatnya telah merendahkan dirinya sendiri sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah. Dari kemusyrikan inilah yang berdampak pada buruknya moral dengan timbulnya perbudakan dan penindasan hak asasi manusia.
2)      Bidang Ekonomi
Sebagaimana letak geografis bangsa Arab yang merupakan daerah yang tandus dan gersang, keadaan ini menimbulkan lemahnya perekonomian. Sehingga mata pencaharian mereka adalah beternak. Selain itu dalam bidang perdagangan lebih didominasi oleh kaum bangsawan, sehingga dengan hal tersebut menimbulkan kesenjangan dan kesesatan dalam bidang ekonomi yang mengakibatkan adanya gap antara kaum kaya dan kaum tertindas, sehingga dengan kondisi seperti itu praktek menghalalkan segala cara mengakar kuat, seperti mencuri, menipu, memeras, merampok, berjudi dan lain sebagainya.
3)      Bidang Sosial dan Moral
Bangsa Arab terkenal dengan karakter pemberani, memiliki ketahanan fisik yang kuat, daya ingatan yang kuat, dan kesadaran akan harga diri martabat terhadap  suku dan pemimpinnya. Akan tetapi mereka juga mimilki keboborokan sosial dan moral yaitu sikap diskriminatif (membedakan) antara ras, suku, bahasa, warna kulit, jenis kelamin dan status sosial. Mereka menganggap kaum wanita sebagai binatang piaraan yang senantiasa bisa dinikmati, dan terkadang pula bayi wanita dibunuh dan dikubur hidup-hidup karena merupakan suatu aib bagi mereka. Sistem perbudakaan juga merupakan identitas dari bangsa Arab yang diberlakukan secara tidak manusiawi bahkan majikannya bisa dijadikan sebagai tolok ukur hidup dan mati pada sistem perbudakaan yang berkembang pada saat itu. Kejahatan, kedzaliman, kekejaman dan tahayul senantiasa menjadi rutinitas mereka sehari-hari.
4)      Bidang Politik
Dalam bidang politik dibuktikan dengan sikap penguasa yang diktator, otoriter, dzalim dan korup. Sehingga membuat rakyat yang hidup dibawah kepemimpinan mereka merasa tercekik dan tertutupnya hak yang mereka miliki, sehingga mengakibatkan perpecahan antar suku dan fanatisme yang berlebihan. Mereka juga tidak segan-segan turun ke medan perang untuk membela kehormatan sukunya, sekalipun harus terjadi pertempuran darah.
5)      Bidang Ilmu dan Budaya
Perkembangan ilmu dan kebudayaan bangsa Arab memang sangat kuat, tidak dapat dipungkiri banhwa bangsa Arab merupakan bangsa yang terkenal mahir bidang bahasa dan syi’ir. Akan tetapi kemajuan mereka dalam bidang bahasa dan sya’ir hanya digunakan sebagai bentuk semangat kesukuan, banyak dari mereka membanggakan para pujangga-pujangga syair untuk membanggakan suku. Sehingga ilmu pengetahuan yang seharusnya dapat dimiliki bersama menjadi suatu hal yang istimewa dan hak prerogatif laum elit. Ilmu pengetahuan tidak boleh dimiliki oleh kaum-kaum tertidas dan rakyat jelata sehingga mereka terus menderita dengan kedobohan dan ketidaktahuan.
4.      Asosiatif dan Disasosiatif
1)      Asosiatif
a.       Koorporasi
Hubungan positif yang terjadi dalam masyarakat salah satunya adalah bentuk kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Peradaban yang terjadi bangsa Arab salah satunya adalah semangat kesukuan dengan saling bahu membahu, gotong royong membantu anggota sukunya untuk mendapatkan cita-cita yang mereka inginkan.
b.      Akomodasi
Meskipun fanatisme kesukuan bangsa Arab terkenal sangat loyal, bukan berarti didalamnya tidak ada pertentangan, salah satu bentuk upaya mengatasi pertentangan dikalangan bangsa Arab adalah dengan adanya pemimpin suku, karena dengan hal itu akan meminimalisir apabila terjadi pertentangan. Seperti contoh ketika adanya perselisihan antar anggota suku maka kepala sukulah yang akan membantu untuk meredakan kasus tersebut karena kepala suku memiliki otoritas tertingggi dan berhak memberikan keputusan kepada kedua belah pihak.
c.       Asimilasi
Melihat konteks sosial yang terjadi pada bangsa Arab bahwa problem terbesar yang mengakibatkan adanya berbagai macam pertentangan dan perbedaan adalah fanatisme kesukuan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya seorang khalifah pemimpin yang dapat memberikan tuntunan dan ajaran dalam berkehidupan yang sejahtera dan hal iru mulai terwujud setelah datang Nabi Muhammad dan syariah Islamiyyah.
2)      Disasosiatif
a.       Kompetisi
Bangsa Arab merupakan salah satu bangsa yang sangat kuat terhadap sastra bahasa dan sya’ir, sehingga mereka berlomba-lomba dan bersaing untuk menjadi yang terbaik sampai-sampai terdapat pasar syair dimana disitulah mereka semua berkompetisi memamerkan karyanya untuk menjadi yang terbaik.
b.      Kontravensi
Bentuk persaingan, pertentangan ataupun pertikaian memang suatu hal yang tidak dapat dihindari pada kehidupan masyarakat Arab. Hal dapat dibuktikan dari banyak pertumpahan darah pada bangsa Arab untuk membela suku-suku mereka, penindasan terhadap perempuan dan lain sebagainya, dengan pola kehidupan seperti itu dapat diminimalisir dengan adanya ajaran Islam yang dapat mengjarkan nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan.
5.      Stratifikasi dan Diferensiasi
Berdasarkan konteks sosial yang berkembang di bangsa Arab bahwa pengelompokan dan pembedaan kelas dalam masyarakat sudah terjadi pada masa itu. Diantara bentuk stratifikasi dan diferensiasi sosial adalah :
a.       Stratifikasi sosial
1). Perbudakan
Perbudakan adalah budaya yang melekat kuat pada bangasa Arab hingga menjadi salah satu kegiatan perekonomian dengan cara jual beli budak, perbudakan merupakan salah satu bentuk stratifikasi sosial karena adanya ranking ketidaksetraan antar manusia (majikan dan budak).
2). Feodalisme
Merupakan sistem lapisan kelompok masyarakat yang terjadi kesenjangan antara hak dari beberapa kelas kaum lapisan masyarakat, contoh kaum bangsawan memiliki hak yang lebih tinggi dibandingkan dengan rakyat jelata.
b.      Diferensiasi Sosial
1). Perbedaan antar suku bahwa suku Quraisy dan Bani Hasyim merupakan suku yang tertinggi dan paling dihormati dikalangan bangsa Arab.
2). Perbedaan kemampuan intelektul yang mengakibatkan adanya kelas antara kaum bangsawan dan rakyat jelata yang berimplikasi pada ilmu pengetahuan yang tidak merata.
3). Perbedaan antara kaum laki-laki dan wanita yang mengakibatkan adanya diskriminasi gender.
4). Perbedaan antara kaum kaya dan miskin yang mengakibatkan adanya kesenjangan ekonomi.
6. Analisis
Berdasarkan realita kehidupan konteks sosial bangsa Arab secara syari’at telah menyalahi aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT, akan tetapi Allah telah memberikan petunjuk melalui utusannya ( Nabi Muhammad SAW) dan al-Qur’an. Bahwa hakikatnya manusia adalah sama disisi Allah SWT yang membedakan hanyalah amal perbuatan kita. Al-Qur’an surah az-Zumar 53 Allah menegaskan bahwa seburuk apapun perbuatan yang dilakukan oleh hambanya selama dia meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang wajib disembah, dan mereka tidak pernah putus asa untuk meminta ampunan kepadanya. Niscaya Allah akan memberikan rahmat kepadanya atas kesungguhan yang mereka lakukan, dengan ampunan atas segala dosa yang pernah mereka perbuat.


PERKEMBANGAN TAFSIR AL-QUR'AN

PERKEMBANGAN TAFSIR AL-QUR'AN
Nama               : Muhammad Munif
NIM                : 15530076

Judul               : Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an
Pengarang       : Dr. H. Abdul Mustaqim
Penebit            : Adab Press
Tahun Terbit    : 2014
Dimensi           : 21x14.5 cm, hlm xiv+212
Halaman          : 212
ISBN               : 987-979-854-806-2
Harga Buku     : Rp 39,000.00


Buku Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an  merupakan salah satu karya tulis yang mencoba mengungkap sejarah perkembangan Tafsir al-Qur’an dari aspek Periodesasi dan aspek epistemologi. Pengklasifikasian sejarah perkembangan tafsir tersbut yang mencajkup kedua aspek diatas,secara tidak langsug menimbulkan golongan-golongan tersendiri yang disebut dalam buku ini dengan istilah mazhab (aliran) .
Mazhab merupakan metode yang ditempuh seseorang untuk mencapai sebuah tujuan. Mazhab sendiri memiliki berbagai macam bentuk baik fikih, teologi, filsafat bahkan tafsir. Berbicara mazhab penafsiran berbicara kapan perkembangan sejarah tafsir itu muncul, tafsir sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu yang memiliki prinsip kerja memahami teks.
Mazhab penafsiran tidak muncul begitu saja, dalam perkembangannya mazhab penafsiran muncul memalui dua faktor, yaitu internal maupun eksternal. Adapun faktor internal adalah kondisi yang ada pada objek pembahasan, yaitu al-Qur’an, karena pada dasarnya al-Qur’an diturunkan dari berbagai macam dialek sehingga bukan tidak mungkin akan menimbulkan perbedaan pemahaman bagi setiap orang. Faktor eksternal meliputi berbagai macam aspek diantaranya aspek sosio- kultural, konteks politik, pra anggapan, dan tentu latar belakang mufasirnya. Dari kedua faktor tersebutlah muncul mazhahibut tafsir.
Perkembangan tafsir sendiri secara periodesasi terbagi menjadi tiga, yaitu : periode klasik, periode pertengahan, dan periode modern. Periode klasik merupakan cikal bakal munculnya penafsiran yaitu pada masa Nabi, Sahabat dan Tabiin, periode ini tafsir bersifat otoritatif karena pada dasarnya orang yang diberi kepercayaan merima wahyu al-Qur’an adalah nabi Muhammad saw sehingga tidak dipungkiri lagi tidak ada manusia lain yang berani menfasirkan selain Nabi, oleh karena itulah nabi Muhammad merupakan the first interpreter of the Qur’an ( orang pertama yang menafsirkan al-Qur’an). Pada periode klasik bukan berarti otoritatif tafsir tesebut melekat selamanya, karena penafsiran nabi terhadap al-Qur’an hanya bersifat universal atau hanya ayat-ayat tertentu, sehingga jelas adanya ayat lain yang mungkin belum sempat Nabi tafsirkan hingga beliau wafat. Dari sinilah peran sahabat muncul sebagai generasi awal penerus Nabi.
Tafsir pada masa sahabat merupakan kelanjutan dari penafsiran pada masa Nabi yang mana para sahabat mengembangakn potensi akal dan pikirannya unutk menafsirkan Al-Qur’an dengan bersumber pada al-Qur’an itu sendiri, Sunnah Nabi, Ijtihad ragam qiraat dan keterangan ahli kitab. Kecenderungan metode penafsiran bil riwayah sangat melekat pada masa ini, yaitu sahabat hanya sekedar meriwayatkan tafsir-tafsir dari nabi dan sahabat lain. sehingga menimbulkan karakter atau identitas yang terdapat pada penafsiran masa sahabat itu sendiri. Diantara karakter tersebut : Pertama, Penafsiran hanya bersifat global. Kedua, Sedikitnya perbedaan dalam memahami al-Qur’an. Ketiga, Belum adanya pembukuan tafsir.
Berakhirnya masa sahabat bukan berarti perkembangan tafsir berhenti, justru dari sinilah perkembangan mulai terlihat signifikan karena pada masa ini muncul persoalan-persoalan yang sulit dipahami. Pada masa inilah yang dinamakan tarfsir era Tabi’in, dari problema yang muncul di masa sebelumnya., pada generasi Tabiin ingin menyempurnakan kekurangan-kekurangan dalam penafsiran pada masa Sahabat. Seiring perkembangan peradaban dunia, islam terus memperluas ekspansinya, yang menimbulkan Aliran-aliran tafsir khususnya pada masa Tabi’in, yang secara garis besar terbagi menjadi tiga, yaitu :Aliran Mekkah, Aliran Madinah dan Aliran Iraq. Dari ketiga aliran inilah mulai adanya pergeseran cara berpikir dari masa sebelumnya, sehinngga sedikit banyak mulai adanya perbedaan penafsiran dan sektarianisme ideologi.
            Pada masa Tabi’in penafsiran bersumber pada al-Qur’an, Hadis Nabi, pendapat Sahabat, keterangan ahli kitab baik Nasrani maupun Yahudi dan ijtihad para Tabi’in itu sendiri, hanya saja pada masa ini sudah mulai terkontaminasi terhadap kisah- kisah israiliyat. Meskipun pada massa ini tafsir bi riwayah masih mendominasi namun karena adanya peranan ra’yu mulai menonjol, sehingga menimbulkan karakteristik penafsiran yang berbeda dengan masa sebelumnya, adapun karakteristik tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, Masuknya kisah-kisah Israiliyyat dalam penafsiran. Kedua,Tafsir belum terkodifikasi. Ketiga, Munculnya benih-benih fanatisme mazhab. Keempat, Mulai banyak timbul perbedaan pendapat.
Pergeseran epistemologi penafsiran yang sudah muncul benih-benihnya pada masa Tabi’in mencapai puncaknya pada Periode Tafsir Pertengahan, tepatnya pergeseran epistemologi tradisi penafsiran bil ma’tsur ke bil ra’yi. Kurun waktu periode pertengahan yang cukup panjang  sekitar enam abad, yaitu pada abad ke II sampai VIII H, selain itu juga periode ini juga merupakan periode keemasan bagi umat Islam didunia, sehingga disiplin keilmuan berkembang pesat yang terbukti dengan banyaknya  produk-produk tafsir yang dibukukan. Diantara produk tafsir yang muncul di era kememasan islam adalah Al-Kashaf a`n Haqa’iq al- Qur’an karya Abu al- Qasim Mahmud ibn Umar al- Zamaksyari (w.1144 M). Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi ( w.1209 M). Tafsir al-Qur’an karya Ali Ibrahim al-Qummi (w.929 M).Al-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad ibn al-Hasan al-Thusi (w.1067 M).Majma’ al- Bayan li U’lum al-Quran karya Abu Ali Fadll al-Thabarsi (w.1153 M). Al-Shafi fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Murtadha al-Kasyi (w.1505 M). Pengaruh dari pergeseran epistem tersebut memberikan warna tersendiri pada perkembangan tafsir yaitu munculnya berbagai macam corak penafsiran, seperti corak fikih, corak sufistik, corak linguistik. Berangkat dari pergeseran epistemologi, pengaruh peradaban barat, dan banyaknya model produk penafsiran sehingga memberikan gambaran bagaimana karakteristik yang mewarnai penafsiran pada era ini, diantara karakteristik tersebut adalah : Pertama, Adanya pemaksaan terhadap gagasan Al-Qur’an. Kedua, Bersifat ideologis. Ketiga, Bersifat repetitif. Keempat, Bersifat Parsial.
 Kekuatan fanatisme mufasir terhadap penafsirannya menyebabkan legitimasi terhadap al-Qur’an yang dianggap hanya sebagai objek kepentingan mazhabnya, sehingga muncul kecenderungan taqlid dan menghapus toleransi. Mengutip pendapat Abdullah Al-Karakhi :
“ setiap ayat atau hadis yang menyalahi mazhab kami, maka harus ditakwil (agar sesuai mazhab kami) atau (jika tidak dapat ditakwil) maka harus dihapuskan.”
Pendapat dari Abdullah al-Karakhi tersebut menggambarkan identitas penafsiran pada periode pertengahan.
            Periode terakhir dalam dinamika sejarah tafsir adalah periode modern-kontemporer, periode ini merupakan periode reformatif dengan penciptaan teori dan metodologi penafsiran baru yang lebih dinamis dalam merespon isu-isu yang terjadi sesuai tuntutan zaman. Para mufasir pada periode ini memiliki perbedaan kecenderungan dalam merespon isu-isu yang terjadi pada dunia modernisasi. Menurut riset J.J.G. Jansen kecenderungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu :
1)      Kecenderungan terhadap tafsir ilmi yaitu dengan pengadopsian terhadap temuan-temuan teori ilmiah.
2)      Kecenderungan tafsir lingustik dan filologi.
3)      Tafsir praktis yaitu penafsiran yang berusaha menjawab problematika yang berkembang di masyarakat.
Selain itu ada lagi pendapat dari Dr. Abdul Majid Salam al-Muhtasib, beliau juga mengemukakan ada tiga kategori tafsir yang berkembang di periode modern-kontemporer, yaitu :
1)      Kecenderungan tafsir terhadap ulama salafi.
2)      Kecenderungan rasional yang berusaha mengkompromikan peradaban islam dengan peradaban barat.
3)      Kecenderungan saintifik.
Asumsi dasar yang paradigma tafsir modern adalah kecenderungan mengemukakan ide-ide rasional-kritis dalam penafsiran terhadap al-Qur’an  karena adanya motivasi untuk lebih bersifat kontekstualisasi  dan fungsional untuk menyelesaikan problematika modernisasi. Jelas sekali posisi al-Qur’an disini sebagai petunjuk tidak hanya bagi zaman terdahulu namun bagi manusia hingga akhir dalam menyelesaikan persoalan hidup. Oleh karena itulah al-Qur’an menjadi kitab yang shahih li kulli zaman wa makan. Karakteristik tafsir modern-kontemporer yaitu : Pertama, Memposisikan al-Qur’an sebagai petunjuk. Kedua, Bernuansa Hermenetis. Ketiga, Kontekstual dan berorientasi pada spirit al-Qur’an. Keempat, Ilmiah, kritis dan non-sektarian.
 Sumber penafsiran yang ditetapkan pada tafsir modern-kontemporer bersumber kepada al-Qur’an, akal dan realitas. Sehingga paradigma yang dikembangkan dari ketiga sumber tersebut mengarah paradigma fungsional atau kontekstualisi.
 Metode-pendekatan yang digunakan oleh mufasir modern-kontemporer lebih banyak dibandingkan mufasir tradisional yang cenderung dengan metode tahlili (tematik) dan deduktif. Sedangkan dalam modern kontemporer menggunakan metode interdisipliner,tematik, linguistik, hermeneutik,semiotik, sosio-historis, analisis gender, antropologi dan lain sebagainya. Produk dan Tokoh penafsiran modern-kontemporer sangat banyak sekali dan tidak asing dikalangan akademisi khususnya mahasiswa al-Qur’an dan Tafsir diantaranya adalah Mahasin al-Takwil karya jamaluddin al-Qasimi, al-Tafsir al-Hadist karya Izza Darwazah, al-Tafsir al-Qur’an lil Qur’an karya abdul karim al Khattib, Tafsir fi dhilal al Kutub karya Sayyid Qutbh, Tafsir al-Mannar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Maraghi karya Musthafa al- Maraghi dan lain sebagainya. Kesimpulan dinamika sejarah tafsir dari periode klasik, periode pertengahan hingga periode modern-kontemporer  terus mengalami pergeseran epistemologi dari yang sifatnya Formatif (Nalar Quasi-Kritis), Afirmatif (Ideologis) hingga Reformatif (Nalar Kritis).
Kelebihan Buku. Pertama, Pemilihan kata yang digunakan penulis dalam penyusunan buku ini seolah-olah membawa pembaca untuk tidak melewatkan satu katapun karena hampir semua kata yang digunakan merupakan kata ilmiah saling terkait dengan yang lain sehingga menimbulkan anggapan semuanya penting. Kedua,  Aspek pembahasan mengenai sejarah tafsir cukup padat dan jelas. Ketiga, sistematika penulisan sudah bagus, sehingga mampu mempermudah pembaca dalam memahami isi buku.
Kekurangan Buku. Pertama, Buku ini bukanlah karya murni, dalam arti penulis tidak benar-benar ingin membuat buku, karena buku ini berangkat dari disertasi penulis, sehingga timbul prasangka pembaca bahwa ini merupakan ringkasan disertasi penulis.
Kedua,  Kekurangan penjelasan pada bagian-bagian tertentu yang mana menurut pembaca bagian-bagian tersebut layak untuk dikembangkan lebih karena merupakan topik yang menarik.

Ketiga, Cenderung adanya kesamaan substansi isi buku dengan buku Epistemologi Tafsir Kontemporer.

Gambaran Umum Kajian Orientalisme dalam Islamic Studies

Gambaran Umum Kajian Orientalisme dalam Islamic Studies
Disusun guna untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Pemikiran Hadis Orientalis









Disusun oleh :
M. Zia al-Ayyubi                    (15530057)
Muhammad Munif                  (15530076)
Lukmanul Chakim                  (15530078)
Kelas: IAT C

Dosen Pengampu:
Bapak Ali Imron S. Th. I, M. S. i


Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
2017


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kajian pemikiran orientalis menjadi salah satu topik yang menarik untuk dikaji. Pandangan dunia barat terhadap dunia timur memiliki daya tarik tersendiri yang begitu menggairahkan bagi generasi muda didunia barat, sehingga memunculkan hasrat untuk menggali lebih dalam perihal seluk beluk dunia ketimuran. Ketertarikan sarjana barat terhadap dunia timur secara eksplisit memberikan dampak positif bagi kita semua, akan tetapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa didalam keseriusan para orientalis mengakaji dunia timur secara mendalam, mereka juga memiliki motif untuk menghancurkan Islam secara perlahan. Banyak sekali orientalis yang memutar balikan fakta mengenai kebenaran-kebenaran ajaran Islam, sehingga berimplikasi pada keraguan bagi sebagian muslim yang memiliki keterbatasan pengetahuan, akan tetapi banyak juga orientalis yang memang berusaha mendalami Islam secara jujur dan benar-benar ingin mengetahui Islam secara obyektif.  Oleh karena itu dalam pembahasan kali ini pentingnya mengakaji pemikiran-pemikiran para orientalis sehingga memberikan pengetahuan bagi kita supaya menjustifikasi bahwa semua orientalis merupakan musuh besar bagi kita umat Islam.

B.         Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pembahasan makalah ini akan difokuskan pada masalah-masalah sebagai berikut:
1.            Bagaimana Klasifikasi dari Orientalisme?
2.            Apa Faktor-faktor Pendorong dan Tujuan gerakan Orientalisme?
3.            Apa Jasa Orientalisme terhadap Islam?


C.         Tujuan Penulisan
1.            Untuk mengetahui Klasifikasi dari Orientalisme.
2.            Untuk mengetahui faktor-faktor pendorong dan tujuan orientalisme.
3.            Untuk mengetahui Jasa Orientalisme terhadap Islam.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Klasifikasi Orientalisme
Sebelum membahas klasifikasi Orientalisme secara umum, perlu diketahui bahwa Orietalisme sendiri adalah susunan dua kata yaitu orient dan isme. Orient berarti timur sedangkan isme berarti faham.[1] Jadi jika menyebutkan orient adalah semua wilayah yang terbentang dari Timur dekat hingga jauh dan juga negara-negara yang berada di Afrika Utara dan Tengah. Menurut Abdul Haq Adnan Adivar mengatakan dalam bukunya “ Turkish Account of Orientalism”. Orientalis adalah suatu pengertian yang lengkap dimana dikumpulkannya pengetahuan yang berasal dari sumbernya yang asli yang berkenaan dengan bahasa, agama, kebudayaan, sejarah, kesusasteraan yang berada di Timur.[2] Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa orientalis adalah orang-orang barat yang giat mengumpulkan ilmu pengetahuan yang berasal dari Timur akan tetapi bukan tidak mungkin orang timur sendiri terjun kedalam golongan Orientalisme.
Secara garis besar orientalis dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar. Pertama, Kelompok Moderat ( Non Skeptis). Kedua, Kelompok Ekstrem ( Skeptis).
1.      Orientalis Moderat ( Non-Skeptis)
Kelompok Orientalis yang mempelajari keilmuan timur dan keislaman secara ilmiah dan jujur, moderat dalam memberikan penilaian, demi mencari kebenaran, bahkan sampai memeluk Islam. Orientalis Moderat sendiri terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang berpegang teguh dalam dalam penelitiannya dengan prinsip keilmuan, penuh kejujuran dan bersikap apa adanya. Kedua, Kelompok yang senantiasa berkomitmen terhadap keilmuan dan setelah melakukan penelitian mereka mendapat hidayah sehingga masuk Islam. Adapun Tokoh-Tokoh yang termasuk  dalam aliran Orientalis Moderat kelompok pertama diantaranya Reenan, Jenny Piere, Carl Leil, Tolstoy.
Tokoh Orientalis Moderat kelompok kedua dimana mereka merupakan orang-orang yang mendapat hidayah Allah SWT hingga memeluk Islam. mereka adalah Lord Headly, Ethan Deneeh, Dr Greeneh.[3]
2.      Orientalis Ekstrem ( Skeptis)
Orientalis Ekstrem merupakan aliran Orientalis yang dikenal menyelewengkan kebenaran dan melakukan penyimpangan dalam memahami kajian Timur dan ajaran Islam serta tidak tematik dalam penelitiannya. Adapun tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran ini seperti A.J Arberry, Alfred Geom, Baron Carrade Vaux, Ignaz Goldziher, Josep Schacht, A J Vensink, Hanry Lammens dan masih banyak tokoh-tokoh lain.[4]
B.     Faktor-faktor Pendorong dan Tujuan Orientalisme
Adapun faktor-faktor pendorong yang melatarbelakangi para orientalis dalam mengkaji studi ketimuran adalah sebagai berikut :
1.      Faktor Agama
Faktor agama merupakan motif utama bagi para orientalis dalam menjalankan misi mereka, yakni pada saat pendeta dari agama Nasrani, melihat umatnya yang dalam jumlah besar masuk agama Islam. Kemudian mereka melihat kemajuan dan keunggulan yang telah dicapai kaum muslimin, yang meliputi militer kaum muslimin, peradaban yang dimiliki umat Islam yang mempunyai pengaruh dalam menipiskan akidah umat Nasrani. Sehingga pada akhirnya, mereka memandang Islam sebagai musuh bagi agama Nasrani.
Dalam penyerangannya terhadap agama Islam, mereka menggambarkan bahwasanya agama Islam adalah bentuk agama yang apatis dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, para orientalis juga mempunyai tujuan untuk menciptakan sebuah kajian untuk membuat jiwa menjadi lemah dan merasa pesimis dalam pribadi-pribadi umat islam dan bangsa timur lainnya ketika mempelajari agamanya. Mereka juga mencari celah dari kejelekan umat Islam, untuk kemudian dipublikasikan sebagai sebuah kenyataan yang dimaksudkan untuk memperlemah akidah umat Islam.[5]
2.      Faktor Imperialisme dan kolonialisme.
Faktor yang melatarbelakangi orang-orang untuk mempelajari dunia Timur salah satunya adalah sebab dunia Eropa tidak putus asa atas kekalahan yang mereka derita dalam perang salib, tujuannya adalah untuk kembali menjajah bangsa Arab selaku negara yang identik dengan Islam. Oleh karena itu, mereka mempunyai kecenderungan untuk mempelajari hal-hal yang menyangkut tentang negara-negara tersebut, baik dari segi akidah, kesusasteraan, etika dan sumber-sumber kekayaan alam, agar mereka dapat mengetahui titik-titik lemah, dan titik kekuatan negara Islam yang harus dilumpuhkan.[6]
Untuk membuat impian mereka benar-benar terwujud, para orientalis berusaha mempelajari keadaan negara yang akan dijajahnya, dan kemudian menghilangkan nilai-nilai sejarah kebangsaan mereka. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam memecah belah persatuan negara yang akan dijajahnya. Dengan cara apapun, mereka ingin merampas sumber daya, hak kemerdekaan, mengikis persatuan tanah air di dunia Timur, demi kejayaan dunia Baratnya.
3.      Faktor Politik
Melihat kebutuhan politiknya yang salah satunya melegalkan imperialisme dan kolonialisme, disini dapat terlihat bagaimana memang ada sekelompok orientalis yang ditugasi oleh pejabat negara mereka. Sehingga dalam kajian mereka tidak murni ingin mengenal dunia ketimuran. Dengan cara tersebut mereka akan dapat menjalankan kepentingan-kepentingan politik yang menguntungkan bagi mereka.


4.      Faktor keilmuan  
Hanya sekelompok kecil dari para orientalis yang murni melakukan kajian ini sebab ingin benar-benar mempelajari dunia Timur, khsusnya kajian keislaman. Faktor keilmuan tentu berarti mempunyai tujuan untuk mempelajari kebudayaan manusia, agama, bahasa, dan ilmu pengetahuan. Sehingga presentase kesalahpahaman mereka ini terhadap kajian islam lebih sedikit dari pada kelompok orientalis lainnya, sebab mungkin para orientalis di sini dengan ketertarikannya dari diri sendiri yang ingin mengenal bagaimana dunia Timur dan kajian keislaman. Dan di faktor inilah orientalis memberikan sumbangsih yang besar terhadap kajian keislaman.
            Mereka para orientalis secara jujur dalam menelaah literatur-literatur Islam sebagai sebuah kebudayaan dan peradaban. Sehingga tidak menutup kemungkinan, faktor inilah yang telah membuka lebar-lebar ruang kekeliruan, serta kesalahan dalam memahami Islam.[7]

            Adapun orientalisme mempunyai tujuan yang bermacam-macam. Di antara tujuannya adalah sebagai berikut:
1.      Memurtadkan kaum muslim dari agamanya sendiri, dengan cara memutus dan memecah belah jamaah mereka kepada kelompok-kelompok kecil yang saling membenci satu sama lain.
2.      Melemahkan rohani umat Islam dan menciptakan perasaan selalu kekurangan dalam jiwanya, untuk kemudian membawa mereka pada sikap pasrah dan tunduk kepada kehendak serta arahan orang-orang Barat.
3.      Menutup-nutupi kebenaran dan kebakan ajarannya, supaya masyarakat awam menganggap bahwa Islam sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya tidak layak untuk dijadikan pedoman hidup. Hal ini adalah sesuatu yang paling berbahaya yang selalu dipropagandakan para orientalis dan misionaris.
4.      Mendukung segala bentuk penjajahan  terhadap negara-negara Islam dan melaksanakan segala bentuk perlawanan terhadap Islam itu sendiri.
5.      Memisahkan kaum muslim dari akar-akar kebudayan Islam mereka yang kuat dari sumber-sembernya yang asli serta menghancurkan nilai-nilai dasarnya, untuk menghancurkan keberlangsungan individu, masyarakat, jiwa, dan akal pikiran kaum muslim.[8]
6.      Mempelajari Islam dan kaum muslim secara ilmiah dan jujur, moderat dalam memberikan penilaian, demi mencari kebenaran, bahkan sampai masuk Islam.[9]

C.    Jasa Orientalis terhadap Islam.
Para orientalis telah dapat mengabdikan dirinya pada pembahasan-pembahasan keilmuan. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah: kebaikan dari kawan-kawan senegerinya (bangsanya) untuk memberikan harta dan kesempatan, adnya perpustakaan-perpustakaan yang penuh dengan hasil pembahasan dan manuskrip yang sukar didapat, dan para orientalis tersebut sebelumnya telah mengenal keadaan Timur dan Barat.
Sudah barang tentu, setiap pembahasan mereka mempunyai corak ketelitian, penelelitian yang luas perbandingannya, memakai buku-buku yang pokok dan manuskrip-manuskrip, pembuatan indeks-indeks yang kesemuanya ini tidak didapat pada kitab-kitab Arab kuno. Penyiaran mereka terhadap manuskrip-manuskrip terbitan yang rapi dan dilengkapi penjelasan-penjelasan serta indeks-indeks persoalan, tempat nama-nama cukup memudahkan bagi orang yang akan melakukan sebuah pembahasan atau penelitian.
Orang-orang orientalis juga terkenal dengan penelitiannya dalam bahasa Arab, penemuan-penemuan dari berkas peninggalan kono di negeri Arab. Ternyata penemuan-penemuan tersebut telah banyak mengubah teori-teori sejarah dan pendapat-pendapat yang telah banyak beredar. Hasil-hasil penelitian mereka menjadi pegangan bagi para ilmuwan-ilmuwan di negeri Aran dan Islam. Adapun karya terbesar yang dipersembahkan oleh para oerientalis adalah Encyclopedia of Islam, di mana mereka bekerja sama dan saling membantu dalam menerbitkannya. Hasil kerjasamanya dengan ilmuwan dan sarjana-sarjana dari Timur ini membuahkan hasil yang mempunyai peran penting dalam kajian Islam.[10]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Orientalisme adalah suatu pengertian yang lengkap di mana dikumpulkan pengetahuan yang berasal dari sumbernya yang asl yang berkenaan dengan bahasa, agama, kebudayaan, sejarah, kesusteraan, yang berada di Timur. Kegigihan para orientalis dalam menjajaki paradigma pengetahuan Timur sangat besar sekali, hal ini dapat dibuktikan dari perjalanan awal mula kertertarikan degan dunia Timur yang sudah muncul sejak abad 10 hingga abad 20, bahkan masih terus berkembang hingga sekarang. Secara garis besar, orientalis sendiri dibagi menjadi tiga, yakni orientalis yang bermadzhab skeptis, orientalis yang bermadzhab sanguin, dan orientalis yang bermadzhab non-skeptis. Bukti faktual yang dapat dikaji yang merupakan hasil dari pemikiran para orientalis yakni adanya pemikiran-pemikiran orientalis yang berupa kritikan-kritikan dari berbagai bidang keilmuan dunia Timur, seperti bahasa, sastra, kebudayaan, bahkan agama dalam bentuk buku-buku, ataupun majalah, artikel, dan sebagainya. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa peran orientalis dalam khazanah pengetahuan dunia sangat besar sekali.

B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis telah mencurahkan segala tenaga, upaya, dan pemikiran penulis untuk menyelesaikan penulisan makalah ini dengan sebaik-baikya, agar memperoleh hasil yang mendekati sempurna. Agar dapat dikaji dan difahami oleh pembaca. Namun tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, penulis menyadari akan adanya kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, diharapkan kepada pembaca untuk mengkoreksi dan menelaah kembali makalah ini. Penulis dengan senang dan sangat berterimakasih dan akan menerima segala kritik dan masukan untuk memperbaikinya lagi. Akhir kata, sekian dari penulis, atas kurang dan lebihnya, penulis ucapkan mohon maaf. Semoga makalah ini dapat membawa manfaat bagi seluruh pihak.



DAFTAR PUSTAKA

Bathh, Hasan, 2004, Anatomi Orientalisme Menguak Tujuan dan Bahaya Orientalisme serta Cara Umat Islam Menghadapinya, Yogyakarta: Menara Kudus Yogyakarta.
Hanafi, Ahmad, 1981, Orienalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama, Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Muin, Umar, 1978, Orientalisme dan Studi Tentang Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Rauf, Hasan Abdul, dan Ghirah, Abdurrahman, 2007, Orientalisme dan Misionarisme Menelikung Pola Pikir Umat Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.    
Said, Edward W, 2010, Orientalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur Sebagai Subjek, diterjemahkan oleh Achmad Fawaid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.




[1] Muin, Umar, Orientalisme dan Studi tentang Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 7.
[2] Muin, Umar, Orientalisme dan Studi tentang Islam, hlm. 7.
[3] Hasan Abdul Rauf dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme Dan Misionarisme Menelikung Pola Pikir Umat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm.33-34.
[4] Hasan Abdul Rauf dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme Dan Misionarisme Menelikung Pola Pikir Umat Islam, hlm 39-40
[5] Dr. Hasan Bathh, Anatomi Orientalisme Menguak Tujuan dan Bahaya Orientalisme serta Cara Umat Islam Menghadapinya, (Jogjakarta: Menara kudus Jogjakarta, 2004), hlm. 46.
[6] Dr. Hasan Bathh, Anatomi Orientalisme Menguak Tujuan dan Bahaya Orientalisme serta Cara Umat Islam Menghadapinya, (Jogjakarta: Menara kudus jogjakarta, 2004), hlm. 52.

[7] Hasan Abdul Rauf dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme Dan Misionarisme Menelikung Pola Pikir Umat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 16.

[8] Hasan Abdul Rauf dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme Dan Misionarisme Menelikung Pola Pikir Umat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 18-19.
[9] Hasan Abdul Rauf dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme Dan Misionarisme Menelikung Pola Pikir Umat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 30.
[10] A. Hanafi, Orientalisme Menurut Kacamata Agama, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981), hlm. 17-18.