HAK-HAK PEREMPUAN DALAM
AL-QUR’AN
(Studi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dalam Kitab Dawair al-Khauf
Qira’ah fi Khittab al-Mar’ah)
Muhammad Munif (PTK C No
20/15530076)[1]
Pendahuluan
Perkembangan zaman menjadi tantangan tersendiri bagi Al-Qur’an
sebagai pedoman umat muslim diseluruh penjuru dunia. Al-Qur’an sebagai otorits
tertinggi rujukan umat Muslim selalu mendapat predikat buruk apabila tidak
dapat mengatasi isu-isu yang berkembang era modern saat ini. Al-Qur’an turun kurang lebih 14 abad lalu pada
ruang,waktu, sosial dan budaya. Waktu tidak berhenti begitu saja begitupun
persoalan kehidupan, dunia dengan segala fitur didalamnya akan membawa teks
suci untuk menyelami derasnya gelombang kehidupan di era modernisasi, sebagai teks
yang shalih li kulli zaman wa makan, sudah seharusnya al-Qur’an memperkenalkan
kepada dunia bahwa inilah teks suci yang tetap relevan untuk mengatasi
persoalan-persoalan umat. Di era modern kontemporer al-Qur’an selalu dibenturkan
dengan permasalahan umat khususnya persoalan gender, persoalan ini menjadi salah
satu penyebab kegaduhan yang tidak ada hentinya bahkan lebih tragisnya lagi, teks
suci (al-Qur’an) dianggap sebagai penyebab masalah.
Adanya diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan yang
menimpa perempuan menimbulkan budaya patriarki yang bersifat men oriented
(berpusat pada kekusaaan laki-laki). Budaya patriarki menjdi semakin kuat tatkala
mendapat dukungan teologis dari agama Islam melalui kitab suci al-Qur’an.
Padahal al-Qur’an sebagai pedoman masyarakat mengakui bahwa kedudukan antara
laki-laki dan perempuan adalah sama, karena mereka diciptakan dari satu nafs,
dimana yang satu tidak memiliki keunggulan satu dengan yang lain.[2]
Fakta sejarah telah membuktikan sebelum Islam datang, bahwa perempuan
dalam posisi yang sangat memprihatinkan serta jauh dari nilai-nilai kemanusiaan
(humanisme), perempun tidak memiliki kehidupan yang layak, dalam peradaban romawi
misalnya perempuan sepenuhnya berada dibawah kekuasaan sang ayah, setelah kawin
kekuasaan tersebut beralih kepada suami. Kekuasaan tersebut meliputi beberapa
aspek, seperti kewenangan untuk menjual, mengusir, menganiaya bahkan membunuh,
segala hasil usaha wanita menjadi hak milik laki-laki, melihat potret kehidupan
perempuan seperti itu, menempatkan perempuan pada posisi yang
serendah-rendahnya bahkan nyaris tidak ada bedanya dengan hewan dan barang yang
dapat diperlakukan sesuka hati oleh pemiliknya[3] Sejarah masyarakat
Makkah di masa Jahiliyyah seorang ayah diperbolehkan dan memiliki kewenangan
untuk membunuh anaknya sendiri ketika lahir perempuan, pada saat itu mereka
berkeyakinan bahwa anak perempuan yang lahir akan membawa bencana.[4] Setelah
masa peradaban Islam (masa Qur’ani) lahir, perempuan diberikan tempat yang
cukup layak dimasanya seperti diberikanya hak waris[5],
meskipun telah mengalami perubahan dari masa ke masa persoalan gender masih
diperselisihkan hingga saat ini, oleh karena itu tulisan ini mencoba membaca
dan mengungkapkan pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd terhadap hak-hak perempuan yang
harus di penuhi karena merupakan sebuah persoalan yang harus di selesaikan di
era modern kontemporer, sebagai upaya terpenuhinya kesetaraan dan keadilan bagi
kaum perempuan dalam bukunya “ Dawair al-Khauf: Qira’ah fi Khittab al-Mar’ah”
Biografi Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu
Zayd beliau lahir di sebuah desa kecil yang bernama Qahafah dekat kota Thanta,
Ibu kota Provinsi al-Gharbiyah, Mesir pada tanggal 10 Juli 1943 dari keluarga
taat beragama, maka tidak heran sejak kecil beliau ditempa pendidikan keagaaman
dari pengajaran di lingkungan keluarganya.[6] Sekitar
umur 4 tahun beliau belajar al-Qur’an di Kuttab di Desa Qahafah, dan
pada usia 8 tahun beliau berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’an 30 juz. [7]
Nasr Hamid Abu Zayd menyelesaikan karir pendidikan pada tahun 1960
di Sekolah Teknik Thanta, kemudian beliau melanjutkan rihlah ilmiahnya di
Universitas Kairo pada tahun 1968 jurusan Bahasa dan Sastra Arab, dengan
kegigihan dan ketekunannya akhirnya beliau mendapatkan gelar kesarjanaan pada
tahun 1972, dan pada tahun 1977 beliau menyelesaikan progr am Magister dengan karyanya berjudul “al-Ittijah
al-Aqli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat al-Majaz fi al-Qur’an inda
al-Mu’tazilah” karya fenomenalnya ini kemudian dipublikasikan pada tahun
1982. Pada tahun 1981 beliau meraih gelar Ph.D dalam bidang Islamic Studies
dengan fokus kajian Al-Qur’an dan Tafsir. Beliau menulis disertasi berjudul “Falsafah
al-Ta’wil : Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an inda Muhy al-Din Ibnu Arabi”.[8]
Pada tahun 1975-1977 Nasr Hamid Abu Zayd mendapatkan beasiswa dan
penghargaan dalam mengembangkan studi keislaman, beliau mendapatkan bantuan
dana beasiswa dari Ford Foundation Fellowship untuk belajar di
Universitas Amerika. Berkat kecemerlangannya dalam bidang studi keislaman, pada
tahun berikutnya sekitar 1978-1980 beliau mendapat penghargaan yang sama di Center
Middle East Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia, USA.
Disitulah Nasr Hamid mulai akrab dengan pemikiran hermeneutika barat, dengan
dibuktikan hasil penelitiannya dalam bentuk artikel yang berjudul “al-Hermeniyyuthiqa
wa Mu’dhilat Tafsir al-Nash ( Hermeneutika dan Problem Penafsiran Teks)”[9].
Karir pendidikan beliau yang mentereng sejak tahun 1985 sam pai
1989 beliau mendapatkan kehormatan menjadi professor tamu di Osaka University
of Foreign Studies, Jepang. Melihat gaya pemikirannya yang cukup nyentrik Nasr
Hamid Abu Zayd merupakan salah satu Pemikir Islam Kontemporer dan pemikir
revolusioner. Keinginan beliau mengabdikan diri untuk tanah kelahirannya
mendapat penolakan keras, ketika beliau mempromosikan profesor di Universitas
Kairo beliau mendapat kecaman karena dianggap pemikirannya yang
kontroversional, karyanya tidak bermutu bahkan menyimpang dan merusak ajaran
Islam, Belakangan ini beliau divonis “Murtad” oleh sebagaian oknum. Semenjak
kejadian tersebut beliau memantapkan hatinya untuk tinggal di Belanda bersama
Istrerinya. Sejak 26 juli 1995 beliau mendapat kehormatan menjadi prosfessor
tamu studi Islam di Universitas Leiden, Belanda hingga 27 Desember 2000, dan
saat itu juga beliau ditetapkan menjadi dosen tetap di Universitas tersebut.
Meskipun mendapat kecaman dan penolakan Nasr Hamid tidak pernah melupakan
kampung halamanya beliau sering berkunjung ke Mesir untuk sekedar mengunjungi
keluarga dan saudara-saudaranya.[10] Nasr
Hamid Abu Zayd menghembuskan napas terakhir pada hari Senin, 5 Juli 2010,
akibat serangan virus yang cukup langka dan
kabarnya virus tersebut didapatkan sejak kepulangannya dari Indonesia,
akan tetapi menurut isteri beliau bahwa Nasr Hamid sudah mengidap penyakit
sejak sebelum kunjungannya ke Indonesia. [11]
Sepanjang
perjalanan ilmiahnya Nasr Hamid merupakan ilmuawan muslim yang sangat produktif
terbukti sekitar kurang lebih 29 tahun, sejak 1964 hingga 1999 beliau telah
menuliskan karya dalam bentuk, buku, artikel ataupun jurnal yang sudah
dipublikasikan. Diantara karya-karya beliau adalah :
1.
The
al-Qur’an: God and Man and Communication (Leiden, 2000)
2.
Al-Khittab
wa al-Ta’wil (Daar al-Beida, 2000)
3.
Dawair
al-Khaouf: Qira’ah fi Khittab al-Mar’ah (Daar
al-Beida, 1999)
4.
Al-Nashal-Sulthoh
al-Haqiqah: al-Fikr al-Dini bayna Iradat al-Ma’rifah wa Iradat al-Haymanah.
5.
Al-Tafkir
fi Zaman al-Takfir: Didda al-Lahl wa al-Zayf wa al-Khurafat (Cairo, 1995)
6.
Naqd
Khittab al-Dini (Cairo, 1994)
7.
Mafhum
al-Nash : Dirasah fi Ulum al-Qur’an ( Cairo 1994)
8.
Falsafah
al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyi al-Din Ibn Araby (Beirut: 1993)
9.
Al-Ittijah
al-Aqli al-Tafsir: Dirasah Qadhiyyat al-Majaz fi al-Qur’an ‘inda Mu’tazilah (Beirut, 1982)
10. Al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sis al-Aidiulujiyyah
al-Wasathaniyyah.[12]
Kegelisahan Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd menjadi salah satu sosok yang merasakan
kejamnya dunia akdemik, meskipun berbagai kritikan dan kecaman beliau tetap
mempertahankan dan memperjuangkan keyakinan yang dianggapnya benar. Dalam
menjalani kehidupan yang sering kali menggetirkan, hujatan dan cacian dari berbagai
kalangan ( terutama dari kalangan tekstualis-tradisionalis yang masih dibawah
payung fantisme dan belenggu hadlarah al-nas dan belum dapat memposisikan
dirinya secara baik terhadap teks ), segala curahan hati dan kegundahannya terhadap paradigma pemikiran yang jumud beliau
tuangkan dalam judul dan pengantar karyanya “Dawair al-Khaouf: Qira’ah fi
Khittab al-Mar’ah”[13]
Kegelisahan tersebut semakin membuatnya tertantang dalam upaya melakukan pembaharuan. Karen baginya, berpikir bukanlah merupakan sebuah kejahatan, maka
segala bentuk produk pemikirn, yakni berijtihad merupkan sebuh kewjiban yang
selalu menyelimuti hatinya. Bebas berpikir dan berijtihad sepertinya sudah menjadi
nutrisi kehidupanya, tidak ada seorang pun yang dapat membatasi, membelenggu dan
mengekang setiap individu untuk mencurahkan segala pemikirannya. Nasr Hamid tidak
rela dan marah tatkala al-Qur’an dan Hadis diperkosa dijadikan tameng dan senjata
untuk menyenangkan kepuasan individu atau kelompok untuk meninds orang lain. aL-Qur’an
sebagai firman Allah harus mampu untuk terus berdilog dan menjawab situsi
kapanpun dan dimanpun sesuai tuntutan zaman. Bentuk dan upaya menjaga al-Qur’an
(Hifdzu al-Qur’an) tidak hanya dengan menghafalnya saja. Lebih dri itu penjagaan
al-Qur’an salahsatunya menjaga keaslian teks agar dapat berguna dan bermanfaat
bagi manusia di zaman yang berbeda dengan situasi dan kondisi dimana al-Qur’an
itu diturunkan hingga hari kiamat nanti (shalil li kulli zaman wa makan).
Oleh karena itu, ketika Nasr Hamid menemukan model pembacaan teks yang
dapat merugikan atau bahkan menindas individu atau kelompok bahkan cenderung
distordif beliau terpanggil untuk berijtihad dan berijtihad, maka perlu adanya
pembacaan teks yang produktif ( al-Qira’ah al-muntijah) bukan hanya pembacaan
terhadap teks yang berulang-ulang (al-Qira’ah al-mutakarrirah). Termasuk
persoalan yang harus dapat dibaca secara produktif adalah masalah ketertindasan
kaum perempuan dan hilangnya hak-hak perempuan, adanya deskriminasi antara
laki-laki dan perempuan, inilah penyebab pincangnya relasi laki-laki dan
perempuan sehingga timbul sifatsubordinatif; yang satu menguasai yang lain,
yang satu boleh yang satu tidak, yang satu tinggi dan mulia dan yang satu
rendah dan hina, alasanya hanya pada gender.
Dalam karya Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi
Khittab al-Mar’ah, beliau sangat geram ketika fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga Kajian dan Fatwa, Syekh Abdul Aziz bin Baz di
Saudi Arabia, yang mengatakan bahwa:
ان احرج المراة من بيتها الذي
هومملكتها ومنطلقهاالحيوي في هذه الحياة احرج لها عما تقضيه فطرتها وطبيعتها التي
جبلها لله عليها. فالدعوة الى نزول المراة الى الميادين التي تخص الرجل امر خطير
على المجتمع الاسلامى ومن اعظم اثاره الاحتلاط الذي يعتبر من اعظم وسائل الزنا
الذي فتك بالمجتمع ويهدم قيمه اخلاقه.[14]
‘Mengelurkan wanita dari rumah yang merupakan tempat tinggalnya,
hal ini merupakan suatu tindakan yaag dapat mengeluarkan wanita dari sifat fitrah
dan tabi’iatnya yang sudah diciptakan oleh Allah. Ajakan wanita untuk terjun
kedalam medan pekerjaan laki-laki merupakan suatu persoalan yang sangat berbahaya
bagi masyarakat Islam dang berpengaruh pada percampuran (antara laki-laki dan
perempuan), hal ini dianggap sebagai jalan yang menjerumuskan perzinaan yang
dapat menghancurkan masyarakat beserta nilai-nilai dan norma.”
Fatwa ini membuat Nasr
Hamid geram karena sangat menyudutkan perempuan. Pada kasus ini mendiskriminasikan kepada kaum perempuan
bahwa setiap kali terdapat kasus perzinaan perempun menjadi target kesalahan,
padahal perzinaan merupakan hubungn antara kedua belah pihak antara laki-laki
dan perempuan, dan lagi-lagi perempuan yang harus menerima imbasnya.
Dalam pandangan
Nasr Hamid Abu Zayd, salah satu bentuk persoalan yang mendasar pada
terkekangnya wanita karena fakta sejarah, tragedi keluarnya Nabi Adam dari
surga juga ikut memicu buruknya pandangan terhadap perempuan. Tafsir-tafsir klasik
tidak luput dari pandangan Abu Zayd ketika menafsirkan tentang kisah Adam dan
Hawa, terusirnya Adam dari surga sering digambarkan sebagai sebuah kesalahan
besar yang dilakukan oleh istrnya (Hawa). Hawa diilustrasikan sebagai perempuan
penggoda, bersama Iblis, bahkan digambarkan bahwa Hawa merayu Adam untuk
memakan buah yang terlarang tersebut dengan rayuan yang bersifat biologis.
Didalam tafsir tersebut diceritakan: maka Adam memanggil Hawa untuk memenuhi
hasrat biologisnya. Hawa berkata: “Tidak, kecuali engkau dating ke sini”. Maka
ketika Adam mendekat, Hawa berkata: “Tidak, kecuali engkau memakan buah dari pohon itu”. Maka, kemudian Adam pun
memakan buah itu, dan tersingkaplah aurat mereka.[15].
Lagi-lagi, perempuan terkena dampaknya dan dipersalahkan dengan sendirinya,
perempuan dilukiskan dengan makhluk misoginik (pembawa sial). Luka sejarah
inilah yang terus mengalir hingga saat ini, terutama dikalangan individu atau
sekelompok yang taklid buta dan fanatisme terhadap tafsir-tafsir klasik,
sementara persoalan dan waktu tidak hanya berhenti disitu saja.
Histori Perempuan
1.
Perempuan di Era Pra Islam
Derajat dan kedudukan perempuan
dalaam Islam akan dapat dipahami secara jelas dan proporsional apabila ditinjau
dari konteks historis era pra Islam. Hal ini untuk menunjukan bahwa Islam
(al-Qur’an) diturunkan sebagai bentuk revolusi sosio-keagamaan bagi umat
manusia. Jauh sebelum Islam datang terdapat banyak peradaban-peradaban besar
dari berbagai macam belahan dunia, seperti Romawi, Yunani, India dan Cina,
begitu pula terdapat agama-agama besar seperti Nasrani, Yahudi, Majusi dan lain
sebagainya.
Dalam kalangan elit Yunani
perempuan-perempuan disekap ditempatkan dalam istana-istana, sedangkan
perempuan dari kasta bawah mendapatkan perlakuan yang lebih keji dan
menyedihkan. Mereka diperjual belikan bagi mereka yang belum berumah tangga,
sedangkan mereka yang sudah memiliki suami, sepenuhnya dibawah kekuasaan sang
laki-laki. Mereka tidak memiliki hak sipil, bahkan hak waris pun mereka tidak
ada. Pada puncak peradabannya, masayarakat Yunani memberikan kebebasan
sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera laki-laki. Hubungan seksual
yang bebas tidak dianggap sebagai bentuk pelanggaran norma sosial.[16]
Sementara dalam peradaban Romawi,
perempuan sepenuhnya dalam kekuasaan laki-laki, yaitu Ayah dan Suami. Kekuasaan
tersebut meliputi hak untuk memperjual belikan perempuan, mengusir, menganiaya
dan bahkan membunuh.
Didalam ajaran Yahudi dan Nasrani
pun perempuan mendapatkan kedudukan yang kurang baik, martabat perempuan setara
dengan pembantu, mereka dianggap sebagai bencana, sumber laknat karena menyebabkan
terusirnya Adam dari surga. Wnita dalam ajaran agama juga diperumpmkn dengn
senjt Iblis yng senntis menyestkn mnusi. Bahkan pada sekitar abad
ke 6 Masehi seorang pemuka agama Nasrani mengadakan pertemun guna membahas apakah
wanita merupakan jelmaan manusia. Dari pertemun tersebut menyimpulkan bahwa wanita
merupakan ciptaan Tuhan yang semata-mata untuk melayani hasrat lelaki.
Sedangkan posisi perempuan pada masa
pra Islam (zaman jahiliyyah) tidak kalah buruk dan menyedihkan dari agama-agama
yang lain. Kaum perempuan saat itu dianggap tidak lebih berharga dari sebuah
komoditi. Mereka tidak hanya diperbudak tetapi mereka juga dinggap seperti
harta benda yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Bahkan setelah mewarisi
istri ayahnya seorang anak-anak laki-laki dapat mengawininya. Dikatakan oleh
Ashgar Ali Enginer bahwa “ di kalangan masyarakat Arab pra Islam, apabila
seorang laki-laki meninggal dunia, putranya yang lebih tua atau anggota
keluarga lainnya berhak untuk memilki janda atau janda-jandanya, mengawini
mereka jika mereka suka, tanpa memberikan mas kawin, mengawinkannya dengan
orang lain, atau melarang mereka kawin sama sekali.[17]
2.
Perempuan dalam Islam
Masuknya Islam pada bangsa Arab
memberikan angin segar, sebagai agama revolusioner Islam terbukti dapat
mengatasi dan menghapuskan nilai-nilai ketidakmusiaan pada bangsa Arab, khususnya
perihal perempuan. Kedudukan perempuan pada masa Islam (al-Qur’an) terbukti
memberikan perhatidan yang sangat besar terhadap kedudukan dan posisi
perempuan, landasan al-Qur’an bahwa tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, sebagaimana firman Allah swt pada (QS al-Hujurat 13).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Wahai seluruh manusia,
sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan
, dan Kami jadikan kamu berbnagsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesunguhnya
yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa.
Secara eksplisit ayat tersebut
membicarakan tentang asal asul kejadian manusia yang hakikatnya terdiri dari
laki-laki perempuan, suku dan bangsa, sedangkan substansi dasar bahwaa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling mulia dan senantiasa diperintahkan untuk bertakwa kepada-Nya.
Ayat
lain menegaskan, pada QS ali-Imran 195
أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى
“Sesungguhnya Aku tidak menyiayiakan amal orang-orang yang
beramal,baik laki-laki maupun perempuan”
Menurut M.Quraish Shihab esensi ayat
ini adalah upaya al-Qur’an untuk mengikis habis segala pandangan yang
membedakan laki-laki dengan perempuan, terkhusus dalam bidang kemanusiaa.[18] Semangat perubahan Islam yang dibawa melalui spirit al-Qur’an dalam mengangkat kaum perempun pada
derajat yang sangat diimpikan sebagaimana pendapat Mahmut Syaltut yang dikutip oleh Quraish Shihab:
“Tabi’at
kemanusiaan
antara laki-laki dan perempun hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan, sebagaimana
menganugerahkan laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggungjawab,
dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktifitas-aktifitas yang
bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum syariatpun meletakan kedunya dalam
satu kerangka. Yang laki-laki menjual dan perempun membeli, mengawinkan dan kawin,
melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan , dan perempun juga demikian, dapat
menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta
menuntut dan menyaksikan”.[19]
Al-Qur’an tidak berhenti
hanya disitu dalam memberikan informasi terhadap kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan. Melainkan al-Qur’an juga hadir dengan membawa kabar berita
berkaitan dengan hak-hak yang dapat diakses oleh kaum perempuan sebagai bukti
bahwa Islam benar-benar menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum perempuan. Al-Qur’an
membicarakan perempun dalam berbagai surah yang menyangkut berbagai sisi
kehidupan, menyangkut perempuan sebagai hamba Tuhan, sebagai seorang istri ataupun
seorang ibu.[20] Bahkan salah satu bentuk apresiasi
dan emansipsi dalam menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang perempun dengan
lahirnya nama-nama surah al-Qur’an berdimensi feminim seperti surah al-Nisa’, al-Thalaq,
al-Baqarah, al-Maidah, An-Nur, al-Ahzab, al-Mujadilah, al-Mumtahanah dan al-Tahrim.
Surah-surah tersebut sebagian besar membicarakan tentang hak-hak dan tanggung jawab
seorang perempun.[21]
Pembacaan Menuju Tafsir Pembebasan
Pembacaan terhadap permasalahan-permasalahan
tradisi keagamaan adalah salah satu unsur pokok dalam memahami suatu teks,
model pembacaan inilah yang disebut dengan “al-Qirah al-Siyaqiyah”. Upaya
melakukan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan tidak akan berhenti seiring
dengan realitas persoalan kemanusiaan yang senantiasa berubah (al-waqi’
al-mutaghayyir). Oleh karena itu tiada penafsiran yang memiliki kebenaran
mutlak.[22] Metode
pembacaan kontekstual (al-Qirah al-Siyaqiyah) adalah pengembangan dari
metode metode ushul fiqh tradisional yang kelanjutannya diadopsi pada
pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan Amin al-Khulli. Pembacaan kontekstual
jika ulama klasik merupakan konsep asbab an-nuzul untuk memahami suatu makna.
Pembacaan kontekstual akan memandang suatu permasalahan menjadi lebih luas
karena selain memandang konteks sosio-historis pada masa turunnya al-Qur’an
juga harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman, maka dari itu
pembacaan kontekstual membuat perbedaan antara “makna” historis yang diperoleh
dari suatu konteks pada satu sisi, dan signifikasi “maghza” yang diindikasikan
oleh makna dalam konteks sosio-historis yang penafsiran. seperti halnya
persoalan hak-hak perempuan.[23]
Metode pembacaan kontekstual menurut
Nasr Hamid terdapat beberapa level konteks lain yang harus diperhatikan selain
keseluruhan konteks sosio-historis pada masa turunnya al-Qur’an. Adapun level
konteks yang perlu diperhatikan antara lain adalah:
1.
Konteks
Runtutan Pewahyuan ( siyaq tartib al-nuzul)
Konteks historis-kronologis pewahyuan. Konteks ini diperuntukn
untuk mengetahui bahwa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai
dengan respon dan kesejarahannya. Mengetahui konteks runtutan ayat bukan hanya
mengungkap secara detail urutan turunnya ayat demi ayat, tetapi mengungkap
pengaruh psikologi atas prosesi pewahyuaan al-Qur’an sebagai sapaan atas
problematika bangsa Arab. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena kata-kata
al-Qur’an tidaklah bermakna tunggal dan statis, sebab al-Qur’an telah mengalami
perkembangan kurang lebih 20 thun dari masa pewahyuaanya. Oleh sebab itu
pembacaan kontekstual atas runtutan wahyu ini, adalah dengan konsistensi
menjaga pemahaman atas kesejarahan teks berikut dengan maknanya.
2.
Konteks
Naratif (siyaq as-sard)
Kandungn al-Qur’an yang berupa perintah ataupun larangan syara’,
dari kedua hal tersebut penting adanya pemahaman konteks naratif untuk
mendiskripsikan dan menggambarkan secara luas terkait dengan cerita-cerita,
seperti contoh kehidupan sosial umat terdahulu, kaum musyrikin, tantangan dakwah
Nabi Muhammad dan al-Qur’an, dan lain sebagainya. Hal ini tidak lain bertujun
untuk memantapkan dan membedakan antara teks yang diperlakukan sebagai syari’at
atau hanya teks yang hanya mengungkap teladan, pitutur, tahdid dan lain
sebagainya, (tidak termasuk syari’at)
3.
Struktur Kebahasaan ( tartib
al-lughowi)
Struktur bahasa merupakan aspek yang
sangat penting dalam memahami suatu teks. Menurut Nasr Hamid struktur
kebahasaan adalah level yang lebih kompleks dibandingkan dengan susunan
gramatikal. Gramatikal bahasa yang tersusun dari berbagai macam disiplin ilmu
(ilmu nahwu, sharaf , balaghah dan lain sebaginya), akan tetapi tidak hanya
pada itu saja, maka perlu adanya pemahaman terhadap relasi-relasi suatu teks,
seperti fasl (pemisah) dan wasl (penyambung), relasi antara taqdim
(pendahuluan) dan ta’khir (pengakhiran), idzmar (penyembunyian)
dan idzhar (penampakan) dan lain sebagainya. Semua itu merupakan
komponen dasar untuk menyingkap tabir suatu makna yang terkandung dalam teks.
Akan tetapi juga harus ditopang dengan penggunaan ilmu-ilmu yang berkembang di
era modern kontemporer. [24]
Hak-Hak Perempuan
1.
Pernikahan dan Talak
Persoalan pernikahan dan talak menjadi persoalan sub ordinat ketika
ditarik pada contoh kasus poligami dan talak. Pertanyannya kenapa laki-laki
boleh melakukan poligami dan perempun tidak? dan kenapa laki-laki bisa mentalak
istri sedangkan istri tidak?. Dalam menjelaskan persoalan ini Nasr Hamid menanggapi argumen yang dilontarkan oleh Profesor Muhammad at-Talibi yang bertitik
tolak dari pandangan bahwa poligami adalah perbuatan asing namun mana yang
lebih baik memperbaiki hal-hal yang asing dengan cara memperbolehkan zina atau
pembolehan poligami. Argumen yang diajukan ini alasannya adalah bahwa laki-laki memiliki libido seks
yang lebih daripada perempuan. Pemahaman inilah yang dirasakan Nasr Hamid terdapat
kekeliruan karena jika hanya terpaku pada penfsiran tekstual maka tidak akan
membebaskan dari nilai-nilai kemanusiaan, khususnya bagi perempuan[25]. Oleh
karena itu menurut Nasr Hamid kebolehan poligami harus dipahami secara kritis
karena hal tersebut adalah tabiat hubungan laki-laki dan perempuan dalam ruang
lingkup sosial Arab pra Islam. Kebolehan poligami juga dikhusukan pada Nabi
karena pada situasi dan kondisi yang mengharuskannya, dan poligami yang
dilakukan Nabi juga bisa katakan sebagai syari’at untuk umatnya. Poligami
dipandang tidak mudah karena untuk menciptakan keadilan merupakan hal yang
sulit diciptakan oleh manusia.[26]
2.
Kepemimpinan
Persolan kepemimpin tidak luput dari pandangan Nasr Hamid, menurut
beliau persoalan ini adalah konteks memahami ayat tentang kepemimpinn (qawwamah)
laki-laki atas perempuan yang dipahami sebagai tanggungjawab laki-laki terhadap
perempuan dengan segala implikasinya dari hal kesewenang-wenangan, sehingga
seolah-olah laki-laki bebas menghukum, mendiamkan dan memukul terhadap
istrinya.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيًّا كَبِيرًا
“kaum laki-laki
adalah pemimpin (qawwamun) bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah
telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian lain, dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang
shaleh, adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada. oleh karena itu Allah memilhara mereka, perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan
nusuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan mereka ditempat tidur mereka dan
pukulah mereka. Kemudin jika menaatimu maka janganlah kalian mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya, sesengguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar.
Pemaknaan terhadap qawamah
menurut Nasr Hamid bukanlah sebuah tasyri’ karena ayat tersebut hanya
mendiskripsikan atas suatu kondisi, dan kelebihan laki-laki atas perempuan, hal
ini bukanlah kodrat Illahi, maka dari itu dengan realitas yang berkembang,
perlu diubah demi mewujudkan kesetaraan dan keadilan yang hakiki. Jadi qawamah
adalah tanggungjawab yang ditanggung oleh orang yang mampu dari kedua belah pihak(
laki-laki atau perempuan).[27]
3.
Waris
Konsep pewarisan menjadi persoalan menarik untuk diperbincangkan ketika
didialogkan dengan kasus gender. Pemaknaa tekstulis pewarisan yaitu 2:1 antara laki-laki dan perempuan, pemahaman
tekstualis menjadi sebuah argumen ketidakadilan antara kaum lali-laki dan
perempuan. Nasr Hamid mengatakan konsep al-Quran tentang keadilan salah satunya
adalah mendistribusikan harta dan kekayaan jangan sampai harta itu berputar di
kalangan orang-orang kaya. Di dalam kerangka umum inilah analisis tentang makna
mawaris dalam al-Quran menjadi niscaya, kemudian setelah itu bergeser dari
makna kontestual historis kepada signifikansi. Setelah melakukan analisis
terhadap ayat waris dari sisi makna dan signifikansi menurut pandangan Nasr
Hamid bahwa konteks ayat menjelaskan bahwa sasaran al- Quran sebenarnya adalah memberikan
batasan atas bagian anak laki-laki. Maka
disini laki-laki terdapat batasan maksimal (hadd aqsa). Sedangkan bagi
perempuan ayat itu adalah batasan minimal (hadd adna) yang selama ini
tidak mendapat bagian sekurangnya mendapat bagian seperdua dari bagian anak
laki-laki. Ini akan lebih sesuai dengan tujuan universal dari hukum Islam untuk
mewujudkan persamaan. Persamaan disini dikarenkan batasan tadi, misal laki-laki
mendapatkan batas maksimal 2, dan perempuan mendapat batas minimal 1, maka
sejatinya perempuan bisa mendapatkan 1 atau lebih bahkan sampai 2[28]. Penyamaan
ini juga meliputi seluruh bidang yang dapat dipahami secara implisit yang
bertitik tolak dari nilai perempuan setengah laki- laki, seperti masalah
persaksian dan perempuan berkarir dalam posisi- posisi yang dapat dikuasainya
melalui proses belajar, seperti menjadi hakim. Ayat al-Quran mengenai
persaksian perempuan merupakan bentuk pendeskripsian atas kondisi saat itu,
bukan tasyri abadi. Saat ini ketika perempuan telah mulai bekerjasama dalam
segala bidang kehidupan, dan keahliaanya telah setara bahkan lebih dengan
keahlian laki-laki, dalam bidang-bidang tertentu, maka pendapat yang menyatakan saksi perempuan
bernilai setengah menjadi tidak berarti, disinilah hak perempuan atas laki-laki
harus di tegakkan.[29]
4. Hijab dan Aurat
Persoalan hijab dewasa ini tidak luput dalam pandangan Nasr Hamid, Persoalan aurat menurut beliau terbagi menjadi 2 (dua). Yaitu, Pertama.
Bahwa aurat perempuan secara dhohir yaitu, sesuatu yang melekat pada jasad
perempuan seperti, kepala, badan, tangan kaki dan lain sebagainya (aurat pada
umumnya). Kedua, yaitu aurat secara batin adalah sesuatu hal yang
berkaitan dengan akhlak. Hemat penulis menurut pandangan Nasr Hamid bahwa aurat
merupakan sebuah kebudayaan, misal kebudayaan Arab yang menggunakan pakaian
gamis dan tertutup, itu dianggap aurat apabila tidak sesuai dengan kebudayaan
yang berlaku di daerah tersebut.[30] Nasr Hamid menyatakan
bahwa konsep aurat
bukanlah konsep yang terpisah dari strutur kebudayaan di dalam konteks sosio
historisnya. Ia bukan konsep yang universal, statis dan permanen dalam
kesadaran kolektif manusia sebagaimana diduga oleh sementara orang.[31]
Penutup (Catatan Penulis)
Berdasarkan pemaparan di atas bahwa kegelisahan Nasr Hamid terhadap
diskriminsinya hak-hak perempuan karena terkekang pada model pembacaan teks
keagamaan tradisionalis dan bersifat ideologis, pemaksaan gagasan qur’ani
bermotif kepentingan pribadi membuat teks keagamaan sebagai senjata untuk
menindas kaum perempuan. Cara pandang seperti ini jelas berlawanan dengan
pengakuan dan kesepakatan kaum muslimin atas prinsip universalitas Islam
kesetaraan dan keadilan universal.
Kegelisahan terhadap realita sosial mendorong Nasr Hamid untuk
merumuskan formulasi revolusiner sebagai upaya membebaskan kaum perempuan dari
ketidakadilan, yaitu dengan metode penafsiran historis-kontekstual, dengan pengamatan
secara cerdas terhadap kandungan al-Qur’an, berani mengkritik secara tajam
terhadap kebudayaan Arab yang seharusnya perlu direkontruksi agar tidak terbawa
dalam pandangan masa depan. Teks suci harus dapat dipahami secara transformtif
menuju arah pembebasan manusia dari tradisi-tradisi ketidakmanusiawian, yang
menindaas, mengurung, merampas hak-hak individu.
Hak-hak menbicarakan tentang, banyak dengan sedikit, boleh dengan
tidak dan hal semacamnya. Nasr Hamid Abu Zayd berjihad untuk menegakkan
persamaan (al-musawah) dan keadilaan (al-adalah) terhadap dua
gender yang berbeda. Hemat penulis, berkaitan dengan persoalan waris,
pernikahan, kepemimpinan dan aurat, tidak semua perbedaan harus adanya musawah
(kesetaraan) sebagai solusi untuk menciptakan keadilan, seperti persoalan
waris, dimana dalam upaya pemerataan, hak perempuan adalah hak adna
(minimal) jadi bisa jadi hak waris yang didapat perempuan bisa setara dengan
laki-laki bahkan melebihi, hemat penulis 2:1 adalah konsep terbaik dalam
mengupayakan kesetaraan, karena sebagai tanggungjawab laki-laki untuk menafkahi
dan lebih bersifat memuliakan perempuan untuk tidak bekerja keras dalam
kehidupan berumahtangga. Oleh karena itu, keadilan adalah konsep yang sangat
mustahil untuk diciptakan karena bersifat relatif dan perspektif.
Daftar Pustaka
Abu Zayd, Nasr Hamid, Dawair al-Khawf Qiraat fi Khitab al-Marah
(Beirut: al- Markaz al-Tsaqafy al-Araby, cet. II, 2000).
Mustaqim, Abdul dan Syamsuddin, Sahron (ed.), Studi Al-Quran
Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2002)
al-Thabari, Ibn Jarir, Jami
al-Bayan fi Tafsir al-Quran (Beirut: Dar al-Fikri, 1984).
Faqih, Mansur, Analisis Gender dan Transformasi Sosial
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)
Shihab,
Quraish, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan 1996)
Umar,
Nasrudin, Argumen Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 2010)
Salim
Abdul Ghani, Ahkam al-Ahwal al-Syahsiyyah, li Muslimin f al-Gharb, (Beirut:
Daar Ibnu Hazm, 2002),
Busriyanti, Diskursus Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd,
dalam Jurnal al-Adâlah,Volume 16 Nomor 1 Mei 2013)
Faisol, M, Hermeneutika Gender, Perempuan dalam Tafsir Bahr
al-Muhith, (Malang: UIN Maliki Press, 2011).
Ali Enginer, Asghar, The Rights of Women in Islam, terj
Farid Wajidi dan Cici Farkha, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (LSPPA
Yayasan Prakarsa, 1994)
Shihab, Quraish, Membumikn al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007)
Syaltut, Mahmud, Min Taujihat al-Islam (Kairo: Daar al-Syuruq, 1983)
Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 997)
Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zayd Kritik Teks Keagamaan
(Yogyakarta: eLSAQ, 2003)
M.Muamar Arfan dkk, Studi Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017)
[2] Mansur Faqih, Analisis
Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),hlm.
130.
[3] M,Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan 1996), hlm 296-297.
[4] Nasrudin Umar,
Argumen Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 2010), hlm 122.
[5] Salim Abdul
Ghani, Ahkam al-Ahwal al-Syahsiyyah, li Muslimin f al-Gharb, (Beirut:
Daar Ibnu Hazm, 2002), hlm 105-106.
[6] Nasr Hamid Abu
Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi Khittab al-Mar’ah, (Beirut: al-Markaz
al-Tsaqafi al-Arabi, 2004)1
[7] Abdul Mustaqim
dan Sahiron Syamsudin, Studi al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 150.
[8] Busriyanti, Diskursus
Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, dalam Jurnal al-Adâlah,Volume
16 Nomor 1 Mei 2013)
[9]
Busriyanti, Diskursus
Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd
[10]
Abdul Wahid, Menyibak
Ketakutan Laki-laki pada Perempuan, dlm M.Muamar Arfan dkk, Studi
Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2017) hlm. 180
[11]
Busriyanti, Diskursus
Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, hlm 101
[12]
Abdul Wahid, Menyibak
Ketakutan Laki-laki pada Perempuan, hlm 181
[13]
Nasr Hamid Abu
Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi Khittab al-Mar’ah, (Beirut: al-Markaz
al-Tsaqafi al-Arabi, 2004), hlm 5.
[14] Fatwa dikutip
Nasr Hamid dari Majalah Ruz al-Yusuf, 24 Agustus 1998 (edisi 3663, tahun
73) lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi Khittab al-Mar’ah,
hlm.195
[15]
Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari
(Beirut: Daar al-Fikr, 1984) juz 1, hlm. 335.
[16] M Faisol, Hermeneutika
Gender, Perempuan dalam Tafsir Bahr al-Muhith, (Malang: UIN Maliki Press,
2011), hlm 38
[17] Asghar Ali
Enginer, The Rights of Women in Islam, terj Farid Wajidi dan Cici
Farkha, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (LSPPA Yayasan Prakarsa, 1994)
hlm. 28.
[19] Quraish Shihab, Membumikn al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007) hlm 270. Lihat Mahmut Syaltut, Min
Taujihat al-Islam, (Kairo: Daar al-Syuruq, 1983), hlm. 177.
[20] M Faisol, Hermeneutika
Gender, hlm 45.
[21] M Faisol, Hermeneutika
Gender, hlm 45 lihat juga Mahmut Syaltut, al-Islam Aqidah wa al-Syariah,
(Kairo: Daar al-Qalam, 1996), hlm 227.
[23]
Nasr Hamid Abu
Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi Khittab al-Mar’ah,
[24]
Nasr Hamid Abu
Zayd, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuaan dalam Islam, terj
Nur Ichwan dan Syamsul Hadi (Yogykrta: SAMHA, 2003) hlm. 181-183
[26] Busriyanti, Diskursus
Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, hlm
[27] Abdul Wahid, Menyibak
Ketakutan Laki-laki pada Perempuan, hlm 192
[29] Busriyanti, Diskursus
Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, hlm. 117
[31] Busriyanti, Diskursus
Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, hlm 116
Tidak ada komentar:
Posting Komentar