Minggu, 07 Januari 2018

HAK-HAK PEREMPUAN DALAM AL-QUR’AN (Studi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dalam Kitab Dawair al-Khauf Qira’ah fi Khittab al-Mar’ah)



 HAK-HAK PEREMPUAN DALAM AL-QUR’AN
(Studi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dalam Kitab Dawair al-Khauf Qira’ah fi Khittab al-Mar’ah)
Muhammad Munif      (PTK C No 20/15530076)[1]
Pendahuluan
Perkembangan zaman menjadi tantangan tersendiri bagi Al-Qur’an sebagai pedoman umat muslim diseluruh penjuru dunia. Al-Qur’an sebagai otorits tertinggi rujukan umat Muslim selalu mendapat predikat buruk apabila tidak dapat mengatasi isu-isu yang berkembang era modern saat ini.  Al-Qur’an turun kurang lebih 14 abad lalu pada ruang,waktu, sosial dan budaya. Waktu tidak berhenti begitu saja begitupun persoalan kehidupan, dunia dengan segala fitur didalamnya akan membawa teks suci untuk menyelami derasnya gelombang kehidupan di era modernisasi, sebagai teks yang shalih li kulli zaman wa makan, sudah seharusnya al-Qur’an memperkenalkan kepada dunia bahwa inilah teks suci yang tetap relevan untuk mengatasi persoalan-persoalan umat. Di era modern kontemporer al-Qur’an selalu dibenturkan dengan permasalahan umat khususnya persoalan gender, persoalan ini menjadi salah satu penyebab kegaduhan yang tidak ada hentinya bahkan lebih tragisnya lagi, teks suci (al-Qur’an) dianggap sebagai penyebab masalah.
Adanya diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan yang menimpa perempuan menimbulkan budaya patriarki yang bersifat men oriented (berpusat pada kekusaaan laki-laki). Budaya patriarki menjdi semakin kuat tatkala mendapat dukungan teologis dari agama Islam melalui kitab suci al-Qur’an. Padahal al-Qur’an sebagai pedoman masyarakat mengakui bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, karena mereka diciptakan dari satu nafs, dimana yang satu tidak memiliki keunggulan satu dengan yang lain.[2]
Fakta sejarah telah membuktikan sebelum Islam datang, bahwa perempuan dalam posisi yang sangat memprihatinkan serta jauh dari nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), perempun tidak memiliki kehidupan yang layak, dalam peradaban romawi misalnya perempuan sepenuhnya berada dibawah kekuasaan sang ayah, setelah kawin kekuasaan tersebut beralih kepada suami. Kekuasaan tersebut meliputi beberapa aspek, seperti kewenangan untuk menjual, mengusir, menganiaya bahkan membunuh, segala hasil usaha wanita menjadi hak milik laki-laki, melihat potret kehidupan perempuan seperti itu, menempatkan perempuan pada posisi yang serendah-rendahnya bahkan nyaris tidak ada bedanya dengan hewan dan barang yang dapat diperlakukan sesuka hati oleh pemiliknya[3] Sejarah masyarakat Makkah di masa Jahiliyyah seorang ayah diperbolehkan dan memiliki kewenangan untuk membunuh anaknya sendiri ketika lahir perempuan, pada saat itu mereka berkeyakinan bahwa anak perempuan yang lahir akan membawa bencana.[4] Setelah masa peradaban Islam (masa Qur’ani) lahir, perempuan diberikan tempat yang cukup layak dimasanya seperti diberikanya hak waris[5], meskipun telah mengalami perubahan dari masa ke masa persoalan gender masih diperselisihkan hingga saat ini, oleh karena itu tulisan ini mencoba membaca dan mengungkapkan pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd terhadap hak-hak perempuan yang harus di penuhi karena merupakan sebuah persoalan yang harus di selesaikan di era modern kontemporer, sebagai upaya terpenuhinya kesetaraan dan keadilan bagi kaum perempuan dalam bukunya “ Dawair al-Khauf: Qira’ah fi Khittab al-Mar’ah
Biografi Nasr Hamid Abu Zayd
            Nasr Hamid Abu Zayd beliau lahir di sebuah desa kecil yang bernama Qahafah dekat kota Thanta, Ibu kota Provinsi al-Gharbiyah, Mesir pada tanggal 10 Juli 1943 dari keluarga taat beragama, maka tidak heran sejak kecil beliau ditempa pendidikan keagaaman dari pengajaran di lingkungan keluarganya.[6] Sekitar umur 4 tahun beliau belajar al-Qur’an di Kuttab di Desa Qahafah, dan pada usia 8 tahun beliau berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’an 30 juz. [7]
Nasr Hamid Abu Zayd menyelesaikan karir pendidikan pada tahun 1960 di Sekolah Teknik Thanta, kemudian beliau melanjutkan rihlah ilmiahnya di Universitas Kairo pada tahun 1968 jurusan Bahasa dan Sastra Arab, dengan kegigihan dan ketekunannya akhirnya beliau mendapatkan gelar kesarjanaan pada tahun 1972, dan pada tahun 1977 beliau menyelesaikan progr   am Magister dengan karyanya berjudul “al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat al-Majaz fi al-Qur’an inda al-Mu’tazilah” karya fenomenalnya ini kemudian dipublikasikan pada tahun 1982. Pada tahun 1981 beliau meraih gelar Ph.D dalam bidang Islamic Studies dengan fokus kajian Al-Qur’an dan Tafsir. Beliau menulis disertasi berjudul “Falsafah al-Ta’wil : Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an inda Muhy al-Din Ibnu Arabi”.[8]
Pada tahun 1975-1977 Nasr Hamid Abu Zayd mendapatkan beasiswa dan penghargaan dalam mengembangkan studi keislaman, beliau mendapatkan bantuan dana beasiswa dari Ford Foundation Fellowship untuk belajar di Universitas Amerika. Berkat kecemerlangannya dalam bidang studi keislaman, pada tahun berikutnya sekitar 1978-1980 beliau mendapat penghargaan yang sama di Center Middle East Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia, USA. Disitulah Nasr Hamid mulai akrab dengan pemikiran hermeneutika barat, dengan dibuktikan hasil penelitiannya dalam bentuk artikel yang berjudul “al-Hermeniyyuthiqa wa Mu’dhilat Tafsir al-Nash ( Hermeneutika dan Problem Penafsiran Teks)”[9].
Karir pendidikan beliau yang mentereng sejak tahun 1985 sam pai 1989 beliau mendapatkan kehormatan menjadi professor tamu di Osaka University of Foreign Studies, Jepang. Melihat gaya pemikirannya yang cukup nyentrik Nasr Hamid Abu Zayd merupakan salah satu Pemikir Islam Kontemporer dan pemikir revolusioner. Keinginan beliau mengabdikan diri untuk tanah kelahirannya mendapat penolakan keras, ketika beliau mempromosikan profesor di Universitas Kairo beliau mendapat kecaman karena dianggap pemikirannya yang kontroversional, karyanya tidak bermutu bahkan menyimpang dan merusak ajaran Islam, Belakangan ini beliau divonis “Murtad” oleh sebagaian oknum. Semenjak kejadian tersebut beliau memantapkan hatinya untuk tinggal di Belanda bersama Istrerinya. Sejak 26 juli 1995 beliau mendapat kehormatan menjadi prosfessor tamu studi Islam di Universitas Leiden, Belanda hingga 27 Desember 2000, dan saat itu juga beliau ditetapkan menjadi dosen tetap di Universitas tersebut. Meskipun mendapat kecaman dan penolakan Nasr Hamid tidak pernah melupakan kampung halamanya beliau sering berkunjung ke Mesir untuk sekedar mengunjungi keluarga dan saudara-saudaranya.[10] Nasr Hamid Abu Zayd menghembuskan napas terakhir pada hari Senin, 5 Juli 2010, akibat serangan virus yang cukup langka dan  kabarnya virus tersebut didapatkan sejak kepulangannya dari Indonesia, akan tetapi menurut isteri beliau bahwa Nasr Hamid sudah mengidap penyakit sejak sebelum kunjungannya ke Indonesia. [11]
            Sepanjang perjalanan ilmiahnya Nasr Hamid merupakan ilmuawan muslim yang sangat produktif terbukti sekitar kurang lebih 29 tahun, sejak 1964 hingga 1999 beliau telah menuliskan karya dalam bentuk, buku, artikel ataupun jurnal yang sudah dipublikasikan. Diantara karya-karya beliau adalah :
1.      The al-Qur’an: God and Man and Communication (Leiden, 2000)
2.      Al-Khittab wa al-Ta’wil (Daar al-Beida, 2000)
3.      Dawair al-Khaouf: Qira’ah fi Khittab al-Mar’ah (Daar al-Beida, 1999)
4.       Al-Nashal-Sulthoh al-Haqiqah: al-Fikr al-Dini bayna Iradat al-Ma’rifah wa Iradat al-Haymanah.
5.      Al-Tafkir fi Zaman al-Takfir: Didda al-Lahl wa al-Zayf wa al-Khurafat (Cairo, 1995)
6.      Naqd Khittab al-Dini (Cairo, 1994)
7.      Mafhum al-Nash : Dirasah fi Ulum al-Qur’an ( Cairo 1994)
8.      Falsafah al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyi al-Din Ibn Araby (Beirut: 1993)
9.      Al-Ittijah al-Aqli al-Tafsir: Dirasah Qadhiyyat al-Majaz fi al-Qur’an ‘inda Mu’tazilah (Beirut, 1982)
10.  Al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sis al-Aidiulujiyyah al-Wasathaniyyah.[12]
Kegelisahan Nasr Hamid Abu Zayd
            Nasr Hamid Abu Zayd menjadi salah satu sosok yang merasakan kejamnya dunia akdemik, meskipun berbagai kritikan dan kecaman beliau tetap mempertahankan dan memperjuangkan keyakinan yang dianggapnya benar. Dalam menjalani kehidupan yang sering kali menggetirkan, hujatan dan cacian dari berbagai kalangan ( terutama dari kalangan tekstualis-tradisionalis yang masih dibawah payung fantisme dan belenggu hadlarah al-nas dan belum dapat memposisikan dirinya secara baik terhadap teks ), segala curahan hati dan kegundahannya  terhadap paradigma pemikiran yang jumud beliau tuangkan dalam judul dan pengantar karyanya “Dawair al-Khaouf: Qira’ah fi Khittab al-Mar’ah”[13]
Kegelisahan tersebut semakin membuatnya tertantang dalam upaya melakukan pembaharuan. Karen baginya, berpikir bukanlah merupakan sebuah kejahatan, maka segala bentuk produk pemikirn, yakni berijtihad merupkan sebuh kewjiban yang selalu menyelimuti hatinya. Bebas berpikir dan berijtihad sepertinya sudah menjadi nutrisi kehidupanya, tidak ada seorang pun yang dapat membatasi, membelenggu dan mengekang setiap individu untuk mencurahkan segala pemikirannya. Nasr Hamid tidak rela dan marah tatkala al-Qur’an dan Hadis diperkosa dijadikan tameng dan senjata untuk menyenangkan kepuasan individu atau kelompok untuk meninds orang lain. aL-Qur’an sebagai firman Allah harus mampu untuk terus berdilog dan menjawab situsi kapanpun dan dimanpun sesuai tuntutan zaman. Bentuk dan upaya menjaga al-Qur’an (Hifdzu al-Qur’an) tidak hanya dengan menghafalnya saja. Lebih dri itu penjagaan al-Qur’an salahsatunya menjaga keaslian teks agar dapat berguna dan bermanfaat bagi manusia di zaman yang berbeda dengan situasi dan kondisi dimana al-Qur’an itu diturunkan hingga hari kiamat nanti (shalil li kulli zaman wa makan).
Oleh karena itu, ketika Nasr Hamid menemukan model pembacaan teks yang dapat merugikan atau bahkan menindas individu atau kelompok bahkan cenderung distordif beliau terpanggil untuk berijtihad dan berijtihad, maka perlu adanya pembacaan teks yang produktif ( al-Qira’ah al-muntijah) bukan hanya pembacaan terhadap teks yang berulang-ulang (al-Qira’ah al-mutakarrirah). Termasuk persoalan yang harus dapat dibaca secara produktif adalah masalah ketertindasan kaum perempuan dan hilangnya hak-hak perempuan, adanya deskriminasi antara laki-laki dan perempuan, inilah penyebab pincangnya relasi laki-laki dan perempuan sehingga timbul sifatsubordinatif; yang satu menguasai yang lain, yang satu boleh yang satu tidak, yang satu tinggi dan mulia dan yang satu rendah dan hina, alasanya hanya pada gender.
Dalam karya Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi Khittab al-Mar’ah, beliau sangat geram ketika fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga Kajian dan Fatwa, Syekh Abdul Aziz bin Baz di Saudi Arabia, yang mengatakan bahwa:
ان احرج المراة من بيتها الذي هومملكتها ومنطلقهاالحيوي في هذه الحياة احرج لها عما تقضيه فطرتها وطبيعتها التي جبلها لله عليها. فالدعوة الى نزول المراة الى الميادين التي تخص الرجل امر خطير على المجتمع الاسلامى ومن اعظم اثاره الاحتلاط الذي يعتبر من اعظم وسائل الزنا الذي فتك بالمجتمع ويهدم قيمه اخلاقه.[14]

Mengelurkan wanita dari rumah yang merupakan tempat tinggalnya, hal ini merupakan suatu tindakan yaag dapat mengeluarkan wanita dari sifat fitrah dan tabi’iatnya yang sudah diciptakan oleh Allah. Ajakan wanita untuk terjun kedalam medan pekerjaan laki-laki merupakan suatu persoalan yang sangat berbahaya bagi masyarakat Islam dang berpengaruh pada percampuran (antara laki-laki dan perempuan), hal ini dianggap sebagai jalan yang menjerumuskan perzinaan yang dapat menghancurkan masyarakat beserta nilai-nilai dan norma.”
            Fatwa ini membuat Nasr Hamid geram karena sangat menyudutkan perempuan. Pada kasus ini mendiskriminasikan kepada kaum perempuan bahwa setiap kali terdapat kasus perzinaan perempun menjadi target kesalahan, padahal perzinaan merupakan hubungn antara kedua belah pihak antara laki-laki dan perempuan, dan lagi-lagi perempuan yang harus menerima imbasnya.
            Dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, salah satu bentuk persoalan yang mendasar pada terkekangnya wanita karena fakta sejarah, tragedi keluarnya Nabi Adam dari surga juga ikut memicu buruknya pandangan terhadap perempuan. Tafsir-tafsir klasik tidak luput dari pandangan Abu Zayd ketika menafsirkan tentang kisah Adam dan Hawa, terusirnya Adam dari surga sering digambarkan sebagai sebuah kesalahan besar yang dilakukan oleh istrnya (Hawa). Hawa diilustrasikan sebagai perempuan penggoda, bersama Iblis, bahkan digambarkan bahwa Hawa merayu Adam untuk memakan buah yang terlarang tersebut dengan rayuan yang bersifat biologis. Didalam tafsir tersebut diceritakan: maka Adam memanggil Hawa untuk memenuhi hasrat biologisnya. Hawa berkata: “Tidak, kecuali engkau dating ke sini”. Maka ketika Adam mendekat, Hawa berkata: “Tidak, kecuali engkau memakan  buah dari pohon itu”. Maka, kemudian Adam pun memakan buah itu, dan tersingkaplah aurat mereka.[15]. Lagi-lagi, perempuan terkena dampaknya dan dipersalahkan dengan sendirinya, perempuan dilukiskan dengan makhluk misoginik (pembawa sial). Luka sejarah inilah yang terus mengalir hingga saat ini, terutama dikalangan individu atau sekelompok yang taklid buta dan fanatisme terhadap tafsir-tafsir klasik, sementara persoalan dan waktu tidak hanya berhenti disitu saja.
Histori Perempuan
1.      Perempuan di Era Pra Islam
Derajat dan kedudukan perempuan dalaam Islam akan dapat dipahami secara jelas dan proporsional apabila ditinjau dari konteks historis era pra Islam. Hal ini untuk menunjukan bahwa Islam (al-Qur’an) diturunkan sebagai bentuk revolusi sosio-keagamaan bagi umat manusia. Jauh sebelum Islam datang terdapat banyak peradaban-peradaban besar dari berbagai macam belahan dunia, seperti Romawi, Yunani, India dan Cina, begitu pula terdapat agama-agama besar seperti Nasrani, Yahudi, Majusi dan lain sebagainya.
Dalam kalangan elit Yunani perempuan-perempuan disekap ditempatkan dalam istana-istana, sedangkan perempuan dari kasta bawah mendapatkan perlakuan yang lebih keji dan menyedihkan. Mereka diperjual belikan bagi mereka yang belum berumah tangga, sedangkan mereka yang sudah memiliki suami, sepenuhnya dibawah kekuasaan sang laki-laki. Mereka tidak memiliki hak sipil, bahkan hak waris pun mereka tidak ada. Pada puncak peradabannya, masayarakat Yunani memberikan kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera laki-laki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap sebagai bentuk pelanggaran norma sosial.[16]
Sementara dalam peradaban Romawi, perempuan sepenuhnya dalam kekuasaan laki-laki, yaitu Ayah dan Suami. Kekuasaan tersebut meliputi hak untuk memperjual belikan perempuan, mengusir, menganiaya dan bahkan membunuh.
Didalam ajaran Yahudi dan Nasrani pun perempuan mendapatkan kedudukan yang kurang baik, martabat perempuan setara dengan pembantu, mereka dianggap sebagai bencana, sumber laknat karena menyebabkan terusirnya Adam dari surga. Wnita dalam ajaran agama juga diperumpmkn dengn senjt Iblis yng senntis menyestkn mnusi. Bahkan pada sekitar abad ke 6 Masehi seorang pemuka agama Nasrani mengadakan pertemun guna membahas apakah wanita merupakan jelmaan manusia. Dari pertemun tersebut menyimpulkan bahwa wanita merupakan ciptaan Tuhan yang semata-mata untuk melayani hasrat lelaki.
Sedangkan posisi perempuan pada masa pra Islam (zaman jahiliyyah) tidak kalah buruk dan menyedihkan dari agama-agama yang lain. Kaum perempuan saat itu dianggap tidak lebih berharga dari sebuah komoditi. Mereka tidak hanya diperbudak tetapi mereka juga dinggap seperti harta benda yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Bahkan setelah mewarisi istri ayahnya seorang anak-anak laki-laki dapat mengawininya. Dikatakan oleh Ashgar Ali Enginer bahwa “ di kalangan masyarakat Arab pra Islam, apabila seorang laki-laki meninggal dunia, putranya yang lebih tua atau anggota keluarga lainnya berhak untuk memilki janda atau janda-jandanya, mengawini mereka jika mereka suka, tanpa memberikan mas kawin, mengawinkannya dengan orang lain, atau melarang mereka kawin sama sekali.[17]
2.      Perempuan dalam Islam
Masuknya Islam pada bangsa Arab memberikan angin segar, sebagai agama revolusioner Islam terbukti dapat mengatasi dan menghapuskan nilai-nilai ketidakmusiaan pada bangsa Arab, khususnya perihal perempuan. Kedudukan perempuan pada masa Islam (al-Qur’an) terbukti memberikan perhatidan yang sangat besar terhadap kedudukan dan posisi perempuan, landasan al-Qur’an bahwa tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah swt pada (QS al-Hujurat 13).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan , dan Kami jadikan kamu berbnagsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesunguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa.
            Secara eksplisit ayat tersebut membicarakan tentang asal asul kejadian manusia yang hakikatnya terdiri dari laki-laki perempuan, suku dan bangsa, sedangkan substansi dasar bahwaa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling mulia dan senantiasa diperintahkan untuk bertakwa kepada-Nya.
            Ayat lain menegaskan, pada QS ali-Imran 195
أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى
Sesungguhnya Aku tidak menyiayiakan amal orang-orang yang beramal,baik laki-laki maupun perempuan”
            Menurut M.Quraish Shihab esensi ayat ini adalah upaya al-Qur’an untuk mengikis habis segala pandangan yang membedakan laki-laki dengan perempuan, terkhusus dalam bidang kemanusiaa.[18]  Semangat perubahan Islam yang dibawa melalui spirit al-Qur’an dalam mengangkat kaum perempun pada derajat yang sangat diimpikan sebagaimana pendapat Mahmut Syaltut yang dikutip oleh Quraish Shihab:
“Tabi’at kemanusiaan antara laki-laki dan perempun hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan, sebagaimana menganugerahkan laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggungjawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktifitas-aktifitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum syariatpun meletakan kedunya dalam satu kerangka. Yang laki-laki menjual dan perempun membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan , dan perempun juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan”.[19]
Al-Qur’an tidak berhenti hanya disitu dalam memberikan informasi terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Melainkan al-Qur’an juga hadir dengan membawa kabar berita berkaitan dengan hak-hak yang dapat diakses oleh kaum perempuan sebagai bukti bahwa Islam benar-benar menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum perempuan. Al-Qur’an membicarakan perempun dalam berbagai surah yang menyangkut berbagai sisi kehidupan, menyangkut perempuan sebagai hamba Tuhan, sebagai seorang istri ataupun seorang ibu.[20] Bahkan salah satu bentuk apresiasi dan emansipsi dalam menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang perempun dengan lahirnya nama-nama surah al-Qur’an berdimensi feminim seperti surah al-Nisa’, al-Thalaq, al-Baqarah, al-Maidah, An-Nur, al-Ahzab, al-Mujadilah, al-Mumtahanah dan al-Tahrim. Surah-surah tersebut sebagian besar membicarakan tentang hak-hak dan tanggung jawab seorang perempun.[21]
Pembacaan Menuju Tafsir Pembebasan
Pembacaan terhadap permasalahan-permasalahan tradisi keagamaan adalah salah satu unsur pokok dalam memahami suatu teks, model pembacaan inilah yang disebut dengan “al-Qirah al-Siyaqiyah”. Upaya melakukan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan tidak akan berhenti seiring dengan realitas persoalan kemanusiaan yang senantiasa berubah (al-waqi’ al-mutaghayyir). Oleh karena itu tiada penafsiran yang memiliki kebenaran mutlak.[22] Metode pembacaan kontekstual (al-Qirah al-Siyaqiyah) adalah pengembangan dari metode metode ushul fiqh tradisional yang kelanjutannya diadopsi pada pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan Amin al-Khulli. Pembacaan kontekstual jika ulama klasik merupakan konsep asbab an-nuzul untuk memahami suatu makna. Pembacaan kontekstual akan memandang suatu permasalahan menjadi lebih luas karena selain memandang konteks sosio-historis pada masa turunnya al-Qur’an juga harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman, maka dari itu pembacaan kontekstual membuat perbedaan antara “makna” historis yang diperoleh dari suatu konteks pada satu sisi, dan signifikasi “maghza” yang diindikasikan oleh makna dalam konteks sosio-historis yang penafsiran. seperti halnya persoalan hak-hak perempuan.[23]
Metode pembacaan kontekstual menurut Nasr Hamid terdapat beberapa level konteks lain yang harus diperhatikan selain keseluruhan konteks sosio-historis pada masa turunnya al-Qur’an. Adapun level konteks yang perlu diperhatikan antara lain adalah:
1.      Konteks Runtutan Pewahyuan ( siyaq tartib al-nuzul)
Konteks historis-kronologis pewahyuan. Konteks ini diperuntukn untuk mengetahui bahwa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan respon dan kesejarahannya. Mengetahui konteks runtutan ayat bukan hanya mengungkap secara detail urutan turunnya ayat demi ayat, tetapi mengungkap pengaruh psikologi atas prosesi pewahyuaan al-Qur’an sebagai sapaan atas problematika bangsa Arab. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena kata-kata al-Qur’an tidaklah bermakna tunggal dan statis, sebab al-Qur’an telah mengalami perkembangan kurang lebih 20 thun dari masa pewahyuaanya. Oleh sebab itu pembacaan kontekstual atas runtutan wahyu ini, adalah dengan konsistensi menjaga pemahaman atas kesejarahan teks berikut dengan maknanya.
2.      Konteks Naratif (siyaq as-sard)
Kandungn al-Qur’an yang berupa perintah ataupun larangan syara’, dari kedua hal tersebut penting adanya pemahaman konteks naratif untuk mendiskripsikan dan menggambarkan secara luas terkait dengan cerita-cerita, seperti contoh kehidupan sosial umat terdahulu, kaum musyrikin, tantangan dakwah Nabi Muhammad dan al-Qur’an, dan lain sebagainya. Hal ini tidak lain bertujun untuk memantapkan dan membedakan antara teks yang diperlakukan sebagai syari’at atau hanya teks yang hanya mengungkap teladan, pitutur, tahdid dan lain sebagainya, (tidak termasuk syari’at)
3.      Struktur Kebahasaan ( tartib al-lughowi)
Struktur bahasa merupakan aspek yang sangat penting dalam memahami suatu teks. Menurut Nasr Hamid struktur kebahasaan adalah level yang lebih kompleks dibandingkan dengan susunan gramatikal. Gramatikal bahasa yang tersusun dari berbagai macam disiplin ilmu (ilmu nahwu, sharaf , balaghah dan lain sebaginya), akan tetapi tidak hanya pada itu saja, maka perlu adanya pemahaman terhadap relasi-relasi suatu teks, seperti fasl (pemisah) dan wasl (penyambung), relasi antara taqdim (pendahuluan) dan ta’khir (pengakhiran), idzmar (penyembunyian) dan idzhar (penampakan) dan lain sebagainya. Semua itu merupakan komponen dasar untuk menyingkap tabir suatu makna yang terkandung dalam teks. Akan tetapi juga harus ditopang dengan penggunaan ilmu-ilmu yang berkembang di era modern kontemporer. [24]
Hak-Hak Perempuan
1.      Pernikahan dan Talak
Persoalan pernikahan dan talak menjadi persoalan sub ordinat ketika ditarik pada contoh kasus poligami dan talak. Pertanyannya kenapa laki-laki boleh melakukan poligami dan perempun tidak? dan kenapa laki-laki bisa mentalak istri sedangkan istri tidak?. Dalam  menjelaskan persoalan ini Nasr Hamid  menanggapi argumen yang dilontarkan oleh  Profesor Muhammad at-Talibi yang bertitik tolak dari pandangan bahwa poligami adalah perbuatan asing namun mana yang lebih baik memperbaiki hal-hal yang asing dengan cara memperbolehkan zina atau pembolehan poligami. Argumen yang diajukan ini alasannya  adalah bahwa laki-laki memiliki libido seks yang lebih daripada perempuan. Pemahaman inilah yang dirasakan Nasr Hamid terdapat kekeliruan karena jika hanya terpaku pada penfsiran tekstual maka tidak akan membebaskan dari nilai-nilai kemanusiaan, khususnya bagi perempuan[25]. Oleh karena itu menurut Nasr Hamid kebolehan poligami harus dipahami secara kritis karena hal tersebut adalah tabiat hubungan laki-laki dan perempuan dalam ruang lingkup sosial Arab pra Islam. Kebolehan poligami juga dikhusukan pada Nabi karena pada situasi dan kondisi yang mengharuskannya, dan poligami yang dilakukan Nabi juga bisa katakan sebagai syari’at untuk umatnya. Poligami dipandang tidak mudah karena untuk menciptakan keadilan merupakan hal yang sulit diciptakan oleh manusia.[26]
2.      Kepemimpinan
Persolan kepemimpin tidak luput dari pandangan Nasr Hamid, menurut beliau persoalan ini adalah konteks memahami ayat tentang kepemimpinn (qawwamah) laki-laki atas perempuan yang dipahami sebagai tanggungjawab laki-laki terhadap perempuan dengan segala implikasinya dari hal kesewenang-wenangan, sehingga seolah-olah laki-laki bebas menghukum, mendiamkan dan memukul terhadap istrinya.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“kaum laki-laki adalah pemimpin (qawwamun) bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shaleh, adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. oleh karena itu Allah memilhara mereka, perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan nusuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan mereka ditempat tidur mereka dan pukulah mereka. Kemudin jika menaatimu maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya, sesengguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar.
Pemaknaan terhadap qawamah menurut Nasr Hamid bukanlah sebuah tasyri’ karena ayat tersebut hanya mendiskripsikan atas suatu kondisi, dan kelebihan laki-laki atas perempuan, hal ini bukanlah kodrat Illahi, maka dari itu dengan realitas yang berkembang, perlu diubah demi mewujudkan kesetaraan dan keadilan yang hakiki. Jadi qawamah adalah tanggungjawab yang ditanggung oleh orang yang mampu dari kedua belah pihak( laki-laki atau perempuan).[27]
3.      Waris
Konsep pewarisan menjadi persoalan menarik untuk diperbincangkan ketika didialogkan dengan kasus gender. Pemaknaa tekstulis pewarisan yaitu  2:1 antara laki-laki dan perempuan, pemahaman tekstualis menjadi sebuah argumen ketidakadilan antara kaum lali-laki dan perempuan. Nasr Hamid mengatakan konsep al-Quran tentang keadilan salah satunya adalah mendistribusikan harta dan kekayaan jangan sampai harta itu berputar di kalangan orang-orang kaya. Di dalam kerangka umum inilah analisis tentang makna mawaris dalam al-Quran menjadi niscaya, kemudian setelah itu bergeser dari makna kontestual historis kepada signifikansi. Setelah melakukan analisis terhadap ayat waris dari sisi makna dan signifikansi menurut pandangan Nasr Hamid bahwa konteks ayat menjelaskan bahwa sasaran al- Quran sebenarnya adalah memberikan batasan atas bagian anak laki-laki.  Maka disini laki-laki terdapat batasan maksimal (hadd aqsa). Sedangkan bagi perempuan ayat itu adalah batasan minimal (hadd adna) yang selama ini tidak mendapat bagian sekurangnya mendapat bagian seperdua dari bagian anak laki-laki. Ini akan lebih sesuai dengan tujuan universal dari hukum Islam untuk mewujudkan persamaan. Persamaan disini dikarenkan batasan tadi, misal laki-laki mendapatkan batas maksimal 2, dan perempuan mendapat batas minimal 1, maka sejatinya perempuan bisa mendapatkan 1 atau lebih bahkan sampai 2[28]. Penyamaan ini juga meliputi seluruh bidang yang dapat dipahami secara implisit yang bertitik tolak dari nilai perempuan setengah laki- laki, seperti masalah persaksian dan perempuan berkarir dalam posisi- posisi yang dapat dikuasainya melalui proses belajar, seperti menjadi hakim. Ayat al-Quran mengenai persaksian perempuan merupakan bentuk pendeskripsian atas kondisi saat itu, bukan tasyri abadi. Saat ini ketika perempuan telah mulai bekerjasama dalam segala bidang kehidupan, dan keahliaanya telah setara bahkan lebih dengan keahlian laki-laki, dalam bidang-bidang tertentu,  maka pendapat yang menyatakan saksi perempuan bernilai setengah menjadi tidak berarti, disinilah hak perempuan atas laki-laki harus di tegakkan.[29]
4.      Hijab dan Aurat
Persoalan hijab dewasa ini tidak luput dalam pandangan Nasr Hamid, Persoalan aurat menurut beliau terbagi menjadi 2 (dua). Yaitu, Pertama. Bahwa aurat perempuan secara dhohir yaitu, sesuatu yang melekat pada jasad perempuan seperti, kepala, badan, tangan kaki dan lain sebagainya (aurat pada umumnya). Kedua, yaitu aurat secara batin adalah sesuatu hal yang berkaitan dengan akhlak. Hemat penulis menurut pandangan Nasr Hamid bahwa aurat merupakan sebuah kebudayaan, misal kebudayaan Arab yang menggunakan pakaian gamis dan tertutup, itu dianggap aurat apabila tidak sesuai dengan kebudayaan yang berlaku di daerah tersebut.[30] Nasr Hamid menyatakan bahwa konsep aurat bukanlah konsep yang terpisah dari strutur kebudayaan di dalam konteks sosio historisnya. Ia bukan konsep yang universal, statis dan permanen dalam kesadaran kolektif manusia sebagaimana diduga oleh sementara orang.[31]
Penutup (Catatan Penulis)
            Berdasarkan pemaparan di atas bahwa kegelisahan Nasr Hamid terhadap diskriminsinya hak-hak perempuan karena terkekang pada model pembacaan teks keagamaan tradisionalis dan bersifat ideologis, pemaksaan gagasan qur’ani bermotif kepentingan pribadi membuat teks keagamaan sebagai senjata untuk menindas kaum perempuan. Cara pandang seperti ini jelas berlawanan dengan pengakuan dan kesepakatan kaum muslimin atas prinsip universalitas Islam kesetaraan dan keadilan universal.
Kegelisahan terhadap realita sosial mendorong Nasr Hamid untuk merumuskan formulasi revolusiner sebagai upaya membebaskan kaum perempuan dari ketidakadilan, yaitu dengan metode penafsiran historis-kontekstual, dengan pengamatan secara cerdas terhadap kandungan al-Qur’an, berani mengkritik secara tajam terhadap kebudayaan Arab yang seharusnya perlu direkontruksi agar tidak terbawa dalam pandangan masa depan. Teks suci harus dapat dipahami secara transformtif menuju arah pembebasan manusia dari tradisi-tradisi ketidakmanusiawian, yang menindaas, mengurung, merampas hak-hak individu.
Hak-hak menbicarakan tentang, banyak dengan sedikit, boleh dengan tidak dan hal semacamnya. Nasr Hamid Abu Zayd berjihad untuk menegakkan persamaan (al-musawah) dan keadilaan (al-adalah) terhadap dua gender yang berbeda. Hemat penulis, berkaitan dengan persoalan waris, pernikahan, kepemimpinan dan aurat, tidak semua perbedaan harus adanya musawah (kesetaraan) sebagai solusi untuk menciptakan keadilan, seperti persoalan waris, dimana dalam upaya pemerataan, hak perempuan adalah hak adna (minimal) jadi bisa jadi hak waris yang didapat perempuan bisa setara dengan laki-laki bahkan melebihi, hemat penulis 2:1 adalah konsep terbaik dalam mengupayakan kesetaraan, karena sebagai tanggungjawab laki-laki untuk menafkahi dan lebih bersifat memuliakan perempuan untuk tidak bekerja keras dalam kehidupan berumahtangga. Oleh karena itu, keadilan adalah konsep yang sangat mustahil untuk diciptakan karena bersifat relatif dan perspektif.







Daftar Pustaka
Abu Zayd, Nasr Hamid, Dawair al-Khawf Qiraat fi Khitab al-Marah (Beirut: al- Markaz al-Tsaqafy al-Araby, cet. II, 2000).
Mustaqim, Abdul dan Syamsuddin, Sahron (ed.), Studi Al-Quran Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002)
            al-Thabari, Ibn Jarir, Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran (Beirut: Dar al-Fikri, 1984).
Faqih, Mansur, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)
Shihab, Quraish, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan 1996)
Umar, Nasrudin, Argumen Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 2010)
Salim Abdul Ghani, Ahkam al-Ahwal al-Syahsiyyah, li Muslimin f al-Gharb, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 2002),
Busriyanti, Diskursus Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, dalam Jurnal al-Adâlah,Volume 16 Nomor 1 Mei 2013)
Faisol, M, Hermeneutika Gender, Perempuan dalam Tafsir Bahr al-Muhith, (Malang: UIN Maliki Press, 2011).
Ali Enginer, Asghar, The Rights of Women in Islam, terj Farid Wajidi dan Cici Farkha, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (LSPPA Yayasan Prakarsa, 1994)
Shihab, Quraish, Membumikn al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007)
Syaltut, Mahmud, Min Taujihat al-Islam (Kairo: Daar al-Syuruq, 1983)
Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 997)
Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zayd Kritik Teks Keagamaan (Yogyakarta: eLSAQ, 2003)
M.Muamar Arfan dkk, Studi Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017)






[1]Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Prodi Ilmu Al-qur’an dan Tafsir tahun 2015
[2] Mansur Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),hlm. 130.
[3] M,Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan 1996), hlm 296-297.
[4] Nasrudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 2010), hlm 122.
[5] Salim Abdul Ghani, Ahkam al-Ahwal al-Syahsiyyah, li Muslimin f al-Gharb, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 2002), hlm 105-106.
[6] Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi Khittab al-Mar’ah, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 2004)1
[7] Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, Studi al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 150.
[8] Busriyanti, Diskursus Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, dalam Jurnal al-Adâlah,Volume 16 Nomor 1 Mei 2013)
[9] Busriyanti, Diskursus Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd
[10] Abdul Wahid, Menyibak Ketakutan Laki-laki pada Perempuan, dlm M.Muamar Arfan dkk, Studi Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017) hlm. 180
[11] Busriyanti, Diskursus Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, hlm 101
[12] Abdul Wahid, Menyibak Ketakutan Laki-laki pada Perempuan, hlm 181
[13] Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi Khittab al-Mar’ah, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 2004), hlm 5.
[14] Fatwa dikutip Nasr Hamid dari Majalah Ruz al-Yusuf, 24 Agustus 1998 (edisi 3663, tahun 73) lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi Khittab al-Mar’ah, hlm.195
[15] Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari (Beirut: Daar al-Fikr, 1984) juz 1, hlm. 335.
[16] M Faisol, Hermeneutika Gender, Perempuan dalam Tafsir Bahr al-Muhith, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm 38
[17] Asghar Ali Enginer, The Rights of Women in Islam, terj Farid Wajidi dan Cici Farkha, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (LSPPA Yayasan Prakarsa, 1994) hlm. 28.
[18] Quraish Shihab, Wacana Al-Qur’an, hlm 302.
[19] Quraish Shihab, Membumikn al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007) hlm 270. Lihat Mahmut Syaltut, Min Taujihat al-Islam, (Kairo: Daar al-Syuruq, 1983), hlm. 177.
[20] M Faisol, Hermeneutika Gender, hlm 45.
[21] M Faisol, Hermeneutika Gender, hlm 45 lihat juga Mahmut Syaltut, al-Islam Aqidah wa al-Syariah, (Kairo: Daar al-Qalam, 1996), hlm 227.
[22] Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi Khittab al-Mar’ah, hlm. 18.
[23] Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi Khittab al-Mar’ah,
[24] Nasr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuaan dalam Islam, terj Nur Ichwan dan Syamsul Hadi (Yogykrta: SAMHA, 2003) hlm.  181-183

[26] Busriyanti, Diskursus Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, hlm
[27] Abdul Wahid, Menyibak Ketakutan Laki-laki pada Perempuan, hlm 192
[28] Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi Khittab al-Mar’ah, hlm 234-235
[29] Busriyanti, Diskursus Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, hlm. 117
[30] Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qiraah fi Khittab al-Mar’ah, hlm 237.
[31] Busriyanti, Diskursus Gender dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, hlm 116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar