MUSLIM SEJATI DAN KEPEDULIAN LINGKUNGAN
DI ERA MODERN PRESPEKTIF SAYYID QUTB
Althaf Husein Muzakky (No.11 NIM: 15530045)
Pendahuluan
Islam merupakan
agama Allah, yang dibawa nabi Muhammad SAW. Sebagai nabi terakhir, penutup
segala nabi.[1]
Oleh karena itu saat nabi Muhammad yang telah wafat pada abad ke sepuluh
hijriyyah, yaitu pada 8 Juni 632 M.[2] Tetap
menuntun umatnya hingga saat ini dengan al-Qur’an dan Sunnahnya. Beliau tak
pernah sedikitpun lalai dan senantiasa menuntun umatnya agar kembali ke jalan
yang lurus, yaitu jalan yang diridlai oleh Allah SWT. Seperti dalam sebuah
hadist nabi:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا
تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Artinya;
kutinggalkan kalian dua perkara yang tidak akan membuat kalian tersesat apabila
kalian berpegang teguh kepada dua perkara tersebut, yaitu kitab allah dan
sunnah nabi.[3]
Itulah mengapa kajian al-Qur’an terus berkembang sampai sekarang, karena
sifatnya yang shalih likulli zaman wa makan.[4]
Perkembangan dalam dunia penafsiran merupakan bagian dari proses umat Islam
yang dari masa ke masa mencari kebenaran dan solusi dan jawaban dari sebuah
permasalahan yang sifatnya semakin kompleks seperti permasalahan sosial,
permasalan kemiskinan, bahkan juga persoalan yang rumit seperti etnis, dan hak
waris.[5]
Tidak hanya
itu, manusia yang merupakam komponen paling penting dalam sirkulasi
keberlangsungan dunia ini juga harus berkembang, apalagimanusi yang notabene
Islam, tentu juga harus berkembang, mengikuti arus zaman. Seperti halnya
komunitas muslim di bangsa Arab yang dikemukakan oleh fazlur rahman,
bahwasannya semuanya itu berkembang atas benyak faktor termasuk juga seorang
muslim yang kemudian menjadi komunitas muslim, itu tidak terjadi secara
tiba-tiba, akan tetapi ada tiga faktor yang melatarbelakanginya seperti faktor
al-Qur’an yang diwahyuukan dengan bahasa Arab, adanya Nabi Muhammad yang memang
menerima wahyu untuk orang arab pada zaman itu, yang terakhir yaitu nabi
Muhammad yang memang berkebangsaan Arab. Dalam hal ini maka koherensi dari
semua faktor kelompok muslim adalah sebuah proses yang panjang sehingga tidak
terjadi secara praktis.[6]
Umat islam
(Muslim) bukanlah manusia yang apatis atas daerah sekitarnya, oleh karena itu sudah
seharusnya umat muslim wajib memiliki etos atau ghirah atas kaum muslim
lainnya, seperti dalam al-Qur’an dijelaskan bahwasannya umat pada masa nabi
merupakan umat terbaik untuk manusia lainnya yakni QS. ali Imron 110.
كنتم خير أمة أخرجت للناس
Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah fi al-Ard yang memiliki
tanggung jawab besar, terutama seperti uraian Ali Syariati bahwasannya sikap
manusia selain beragama sesuai kodrat dari ilahi, maka dia harus melakukan tindakan
kemanusiaan (Humansime).[7]
Manusia diberi intelektual sebagai monitor atas segala yang baik dan buruk
dalam setiap lingkup kehidupannya, melalui Al-Qur’an yang merupakan sumber
segala petunjuk, firmanNYa yang dapat digunakan sebagai spirit kesolehan
spriritual maupun kesempurnaan moral sosial, yang semuanya itu dapat dicapai
lewat berdoa dan mengabdi akan kemaslahatan dunia.[8]
Dalam
hal ini posisi umat muslim sangatlah penting sebagai penggagas perubahan,
karena yang kita tahu bahwasannya umat muslim adalah penganut agama yang besar
sehingga macan yang sudah lama tertidur itu harus cepat dibangunkan agar gigi
tarinya tidak tumpul. Akan tetapi sering kali umat muslim diketahui terlena
dalam dunia spiritual saja, sehingga menurut Clifford Geertz dalam bukunya
abangan santri priyayi, kadang kurang adanya keselarasan bagi umat muslim
antara sholih sosial dan dan sholih Individual, semacam adanya sekat dalam umat
muslim yang hingga saat ini sekat itu masih berdiri kokoh membatasi dalam
segala aspek kehidupan baik, sosial, ekonomi, budaya, bahkan juga masalah
agama.[9]
David
memberikan sebuah uraian tentang sikap yang harus dijalani umat Muslim dalam
menyikapi kehidupan yaitu Islam yang progresif dalam gerakan sosial dawam
raharjo, beliau menyebutkan bahwa dalam dunia ini terjadi banyak penyimpangan
dan bperilaku yang dzalim, dari mulai kemiskinan, kebodohan
ketertinggalan dalam bidang teknologi, padahal Islam telah lahir melawati
banyak proses yang dahsyat, namun mengapa pemerataan kesejahteraan sosial
semacam utopis yang belum sepenuhnya terealisasi. Sehingga banyak dalam
pemikiran Islam memberikan solusi atas ketimpangan tersebut yang salah satunya
adalah Islam progresif.[10]
Sebuah
kemakmuran dalam Islam itu tidak tercipta dengan sendirinya, pergolakan
pemikiran atas solusi dari sebuah masalah sering kali terlalu kekanan menjadi
islamis, ataupun sangat kekiri menjadi sekulerisme, dengan kata lain semua yang
telah diupayakan adalah untuk satu tujuan yaitu sebuah solusi atas banyak hal,
semisal agama dan politik, penerapan agama, atau bahkan sistem isnstitusi
Khilafah, kebenaran yang sering dilupakan oleh umat Islam seakan kemakmuran itu
atas dasar kuasa tuhan, padahal kuasa tuhan itu perlu diupayakan.[11]
Oleh karena itu maka timbul sebuah pertanyaan yang besar, (1) bagaimana sikap
umat muslim pada abad modern (2) apa yang semestinya diupayakan dan dilakukan
oleh umat muslim di masa modern.
Pembahasan
Diskursus
teologis pemikiran dan pemikiran keagamaan pada umumnya telah memasuki dalam
dunia tafsir dan dunia ta’wil, seperti dalam surat al-A’anbiya: 107 bahwasannya
Nabi Muhammad Itu tidak diutus melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Melihat
dari ayat tersebut penulis memiliki gagasan polemik lalu bagaimana rahmatan
lil alamin itu dapat diwujudkan, sudah seharusnya dalam agama ini memiliki
pendekatan atas pengembangan mental spirit umat islam yang tidak jumud dan
selalu di nina bobokkan atas dunia sufistik belaka. Menurut Amin Abdullah harus ada pendekatan
Visi keindonesiaan Pembaharuan Pemikiran Islam yang dapat merombak pergolakan
umat Islam, bahwasannya selama kajian keislaman hanya terkungkung ke dalan
wilayah kalam, hermeneutika, tasawwuf dan falasafah teori-konseptual, dan
kurang tersalurkan atas manifestasi dalam kehidupan sosial-budaya maka umat
Islam hanya akan termakan oleh perkembangan zaman.[12]
Pembahasan
tentang perkembangan dalam agama Islam harus diawali dengan Tajdid yang digagas
oleh M. Abduh melalui pemikiran yang lebih rasional, Islam yang
berintelektual, Islam yang substansional, dan Islam transformatif,
melalui hal tersebut umat Islam dapat memiliki pola yang lebih luas dari pada
seputar norma-norma dan nilai keislaman saja. Menurut Amin abdullah bahwa akar
permasalahan dari kejumudan yang ada adalah terdapat pada umat muslim di era
sekarang yang seakan malas dan belum mampu menerima perkembangan zaman yang
semakin terang, seperti halnya mentalitas yang berhubungan dengan kebudayaan (
cara berpikir dan kemajuan teknologi) oleh karena itu manusia perlu di upgrade
menjadi muslim di era now. [13]
Dalam
al-Qur’an ada term ayat yaitu “al-mu’minu haqqa” yaitu muslim sejati, atau
sebenar-benarnya muslim yang ada. Jika kita tarik ulur tujuan dari pemahaman
Amin Abdullah yang di tuangkan dalam pemikirannya yaitu Islamic studies dengan term “al-mu’minu haqqa” pada zaman
sekarang adalah sebuah trobosan
pemikiran, yang kemudian timbul pertanyaan lantas bagaimana al-Mu’minuna haqqa
dipahami pada era millenial. Perlu diketahui bahwasannya sebenarnya sudah
banyak ulama’ yang menggagas atas pemikiran ini, mulai dari Abdul Karim Al-jili
yang memiliki teori Insan Kamil dengan menyadarkan manusia yang merupakan
makhluk sempurna dan aharus mengupayakan apa saja menjadi sempurna karena telah
diciptakan menjadi makhluk yang sempurna denga nakal dan fisik yang memadai, lantas
penulis juga ingin mengkaji hal yang setema insan al-kamil seperti yang
ditulis oleh Abdul Karim Al-Jili yaitu tema Al-Mu’minuna Haqqa.[14]
1.
Al-Mu’minuna Haqqa dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang paling otentik, dan
paling orisinil, suci dan terperi. Namun apakah hanya seperti itu al-Qur’an ada
dalam kehidupan manusia, tentunya tidak, menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an
merupakan al-Huda yaitu kitab petunjuk atas segala problem manusia,
artinya jika ada permasalahan dalam realita, maka sebuah konteks al-Qur’an
seharusnya mampu menjawabnya, hanya saja manusia kadang memiliki kapasitas
dalam memahami bahasa dan makna dalam al-Qur’an tersebut.[15]
Yang paling unik dari kitab al-Qur’an yang pada awal
masa penurunannya di bangsa Arab, dengan segala problematika pada awal
hijriyyah akan tetapi Al-Qur’an mampu menelurkan pemahaman yang merombak ke
dalam sosial budaya yang ada, ibarat yang ada adalah langit dan bumi dimanapun
ia berada maka semua akan cocok karena dalam dunia ini semua akan selalu
terjamah oleh al-Qur’an, akan tetapi al-Qur’an lebih dari luasnya langit dan
bumi tersebut, bahkan al-Qur’an dalam al-Manar disebutkan dengan selalu benar
dimanapun dan dalam keadaan apapun.[16]
Namun apakah sesederhana demikian memahami al-Qur’an,
tentunya banyak ilmuwan cendikiawan mencoba memahami al-Qur’an dengan berbagai
macam pendektan yang biasa disebut tafsir, namun tafsir siapa yang dapat
mencakup segala bentuk kelahiran permasalahn yang ada dalam masyarakat,
permasalahan yang ada dalam masyarakat kini semakin dinamis sedangkan al-Qur’an
bersifat statis. Sehingga khazanah penafsiran dan pemikiran adalah keilmuan
yang tak akan pernah sirna selagi problem masalah masih ada.[17]
Sehingga muncul beberapa ulama’ tafsir dari masa-kemasa
dari mulai masa klasik abad pertengahan dan abad kontemporer.[18]
Semua ulama’ tersebut sebenarnya gelisah dari mulai Ibnu Abbas, al-Zamakhsyari,
al-Razi, al-Suyuti, dari berbagai daerah berbagai keadaan berbagai ciri
penafsiran, mencoba mengupas hal-hal Musykilat yang sebenarnya dipecahkan dengan solusi
ilmiyyah lewat petunjuk tuhan yaitu al-Qur’an.[19]
Dan salah satu problem dalam masa modern seperti saat
ini adalah tentang apatisasi kaum muslimin akan masalah sosial yang ada, salah
satunya kebingungan mereka terhadap menjalani hidup sebagai semestinya umat
muslim yang sesungguhnya. dan adalam kesempatan berikutnya penulis akan
menjelaskan apa itu mu’min sejati dan apa yang harus dilakukan di abad modern
seperti sekarang.
Dalam kamus Mu’jam
al-mufahras li alfadz al-Qur’an menyebutkan bahwa lafadz Mu’minun dan
derifasinya terdapat 180 kali, sedangkan jika disandingkan dengan lafadz al-haqqa
maka hanya akan ada dua ayat. Yaitu dalam surat al-Anfal Ayat 4, dan al-Anfal
ayat 74.[20] Yaitu:
أُولَٰئِكَ
هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ
كَرِيمٌ
Artinya: “Itulah orang-orang yang
beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat
ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”
Dan juga Al-Anfal ayat 74:
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ
لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Artinya: Dan orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang
memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin),
mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan
dan rezeki (nikmat) yang mulia.
Jika ditinjau dari makna bahasa
makna almu’min berasal dar lafadz amana yu’minu imanan yang memiliki arti
percaya mempercayai kepercayaan sedangkan lafadz mu’minu menganut wazan isim
fail yaitu muf’ilun menjadi Mu’minun, yang memiliki faidah li taf’dlil
yaitu orang yang sangat percaya.[21]
Sedangkan makna Haqq menurut kamus
Mufradat li-Alfadz al-Quran mengatakan bahwa al-haqqu itu
bermakna, Muthabaqah, muwafaqah, atau bisa juga dimkanai dengan hikmah,
kebenaran atau petunujk, bisa juga dimaknai kepemilikan mutlaq.[22]
Oleh karena itu makna al-mu’minu haqqa dapat diartikan sebagai makna mu’min
yang sejati atau yang sebenarnya.
Sebelum
membahas pembahasan ulama’ modern yaitu sayyid Qutub, maka perlu ditinjau dulu
pemetaan dalam dunia penafsiran, jika dilihat dari periodesasi yang dilakukan
oleh Mustaqim maka akan terlihat jelas bahwa tafsir secara umum itu melewati
tiga dinamika sejarah tafsir, yaitu masa klasik, pertengahan dan kontemporer.[23] Oleh
karena itu ulama’ klasik dan ulama’ kontemporer itu memiliki perbedaaan gaya
penafsiran atau sederhananya, jika ulama’ klasik dan pertengahan memiliki gaya
makna tekstualis dan lebih buruknya dalam penafsirannya terdapat bias idiologi,
maka dalam ulama’ kontemporer mereka lebih bijaksana dalam menyikapi
perkembangan zaman, yaitu dengan menempatkan nalar kritis dalam epistemologis
secara kontekstualis, keluhan problem yang ada dalam aspek sosial maupun
budaya.[24]
Maka dalam kajian ini penulis akan menyampaikan uraian
pendapat ulama’ tafsir abad klasik dan pertengahan sehingga jelas penafsirannya
berbeda dengan ulama’ abad modern saat ini. Karena dalam sepak terjang dunia
penafsiran, pemahaman itu selalu nerkembang seiring dengan perkembangan zaman,
bukan berarti mengatakan bahwa tafsir abad klasik dan pertengahan itu salah,
akan tetapi dibutuhkan pemikiran-pemikran baru yang menjadikan antara pemahaman
dan kenyataan itu tidak tersekat oleh dinding kokoh yang tak bisa dijatuhkan,
akan tetapi dalam hal ini mencoba menselaraskan antara pemahaman lama dan
pemahaman baru guna terciptanya pemahaman yang progresif, konserfatif, juga
komprehensif.
Dalam tafsir Jami’ al Bayan an ta’wil Ay al-Qur’an
karya Ibn Jarir At-Thabari , dari basar berkata dari yazid berkata telah
mengabarkan kepada kita Said dari Qatadah, yang dimaksud dari ayat
أولئك هم المؤمنون حقًّا
“Orang yang memiliki iman secara iman yaitu melakukan
apa yang diperintahkan Allah dengan sebaik-baiknya.” Yaitu arti dari kebaikan
adalah yang dijelaskan dalam ayat sebelumnya yaitu orang-orang yang melakukan
sholat dan menginfaqkan rezeki mereka.[25]
Sedngakan dalam al-Anfal ayat 74 mengatakan
أولئك هم
أهل الإيمان بالله ورسوله حقًّا
Yaitu orang-orang yang memiliki keimanan kepad allah dan Rasulnya
secara benar.[26]
Menurut Muhammad Ibn Umar al-Ma’ruf Fakhruddin Al-Razi
bahwa makna al-mu’mununa haqqa dalam al-Anfal ayat 4 memiliki dua arti
bahwasannya yang pertama adalah tidak adanya keraguan dalam keimanan seseorang
tersebut (yaqin). Yang kedua yaitu adalah Mu’min yang telah miliki kelima sifat
yaitu, takut kepada Allah, ikhlas dalam agama Allah, Tawakkal kepada Allah,
mendatangi shalat ketika, zakat semerta-merta karena ridla kepada Allah. Itulah
penjelasan dari Al-Razi mengutip dari pendapat Imam Syafi’i bahwa haqq
itu dapat dimaknai tidak Syak (bimbang).[27]
Sedangkan menurut Fakhruddin Al-Razi dalam QS. Al-Anfal
ayat 74 memberika 4 uraian yaitu sebagai berikut:
1.
Sesungguhnya orang yang Iman kepada Allah, malaikat, kitab, Rasul,
hari akhir, menerima segala bentuk perintah kewajiban yang sudah di berikan
rasulullah dan juga menjauhi yang dilarang oleh rasul.
2.
Orang yang meninggalkan
kemewahannya menuju keridlaaan Allah.
3.
Menginfaqqakan zakat dan amal perbuatannya atas jalan Allah.
4.
Selalu melakukan perbuatan dan tindakan yang dapat taqwiyyah
al-Din (menguatkan agamanya).[28]
Jika ditinjau dari aspek permasalahan yang ada, maka
tidak cukup bagi seorang mu’min sejati hanya melakukan sebuah upaya yang hanya
notabene menuju kepada sholih terhadap alam eskatologi atau akhirat saja, tentu
dalam dunia ini permasalahan seperti alam yang dirusak, kemiskinan, korupsi,
permasalah idieologi negara, perpecahan umat, semua itu tidak bisa cukup hanya
dengan penafsiran yang dilakukan oleh ulama’ klasik seperti itu saja, yaitu
yang berkutat pada spiritual keimanan. Oleh karena itu perlu solusi penafsiran
dari ulama’ modern yang mengembangkan penafsairan dari ulama’ klasik tersebut.
Salah satunya yaitu sayyid Qutb.
2.
Sayyid Qutb
Nama lengkap beliau adalah Qutb Ibrahim Husain Shadili,
beliau lahir di mesir pada tanggal 9 oktober 1906, ayah dari sayyid Qutb
merupakan aktifis dalam partai Nasional Musthafa kamil dan juga giat dalam
penggerak pengelola majalah al-Liwa’, Sayyid Qutb adalah orang yang cerdas,
bahkan usia sepuluh tahun beliau sudah hafal al-Qur’an di luar kepala. Karir dalam
dunia akademiknya sangat gemilang sampai beliau masuk dalam universitas Dar
Ulum (universitas Mesir Modern) hingga memperoleh gelar sarjana dalam bidang Art.[29]
Di antara para ulama’ kontemporer yang sangta concern
terhadap penafsiran Al-Qur’an adalah Syyid Qutb (1906-1966 M.) salah seorang
ulama’ terkemuka terutama dalam organisasi masyarakat Ikhwanul Muslimin, mungkin
karena kiprah seorang ayahnya yang juga berkutat dalam hal tulis menulis, hal
ini tentunya sang anak yaitu Sayyid Qutb yang memiliki basic al-Qur’an
yang luar biasa, hal ini dibuktikan dengan gerakan literasinya yang sukses
menghasilkan sebuah kitab tafsir berjudul Fi Dzilal al-Qur’an, tafsir
ini memiliki keunikan karena anaslisi sosiologis yang kental dengan berbagai
macam uraian signikansi konteks ayat pada zaman sekarang, oleh karena itu
banyak muslim kontemporer merujuk kitab ini sebagai dasar bahan penelitian.[30]
Corak penafsiran Sayyid Qutb merupakan cora sastrawi
atau adab al-ijtima’i seperti yang dilakukan juga oleh Amin al-Khulli, beliau
juga merupakan salah satu tokoh yang disebut sebgai pencetus adanya tafsir
bercorak sastrawi yang meiliki beberapa murid terkemuka seperti Aisyah
Abdurrahman atau biasa dikenal dengan nama penanya yaitu Bintu Syati’, begitu
juga Tantowi jauhari, maupun Ahmad khalafallahh, yang kemudian diteruskan oleh
Nasr Hamid Abu zayd, hanya saja tafsir sayyid Qutb lebih diterima dengan nilai
positif dari pada Amin Al-Khulli(1895-1966) maupun Nasr Hamid Abu Zayd
(1943-2010).[31]
Sayyid Qutb mendapatkan sambutan yang hangat dalam
pemikirannya oleh masyarakat yang mayoritas sunni, bukan berarti mengatakan
kalau selain sunni tidak menerima pemikiran selain Sayyid Qutb hanya saja,
dibanding yang lain Sayyid Qutb memiliki posisi yang menarik dengan karyanya
tafsir fi dzilal al-Qur’an, memiliki corak yang lebih sejuk dengan bahasan yang
ditelaah beliau dari tafsir-tafsir lama kemudian memberikan uraian di masa
sekarang, seperti tafsiran al-Mukminuna Haqqa yang tekstualis beliau juga
menyebutkannya dalam tafsirnya, akan tetapi dalam pembahasan selanjutnya beliau
Sayyid Qutb melengkapi dengan kajian kontekstualis, lewat munasabah al-ayat dan
juga logika yang mendasar.[32]
Beliau memberi sebuah statment yang sangat
menarik, meskipun al-Qur’an yang diturunkan kepada masyarakat arab artinya
tertentu akan suatu masyarakat, akan tetapi keberlangsungan ajaran al-Qur’an
itu sepanjang zaman. Karena ibarat sebuah rel kereta al-Qur’an dapat dilewati
oleh gerbong kereta mana saja dan dapat menghatarkan kepada masa selanjutnya
dengan al-Huda dan al-Muttaqin secara benar dan tanpa kepentingan-kepentiangan.[33]
Perlu diketahui bahwasannya dalam setiap tafsir pasti
terdapat pra-konsepsi karena setiap manusia pasti memiliki bias dalam
kehidupannya masing-masing, jadi akan sia-sia jika mufassir mencoba untuk
menghindari istilah Subyektifis karena hal tersebut dapat merusak pemahaman
sang mufassir terhadap obyek penafsirannya yaitu al-Qur’an.[34] Akan
tetapi pra-konsepsi dalam dunia lain sering disebutkan dengan pra- pemahaman
atau sering disebut dengan Horizon, sehingga antara teks yang dibaca harus siap
dikritik sesuai dengan lingkup penjumpaaan teks.[35]
3.
Penafsiran Sayyid Qutb terhadap Al-Mu’minuna Haqqa
Dalam surat al-Anfal Ayat 4 sayyid Qutb menjelaskan bahwa yang
dimaksud dari Al-Mu’minuna Haqqa yaitu Al-Iman al-Kamil (keimanan yang sempurna). Dalil
tersebut menunjukkan yaitu muslim mukmin yang selalu mau berusaha merubah
keadaan menjadi lebih baik, artinya jika ada sebuah keadaan yang tidak baik
akan tetapi dia hanya berdiam saja itu namanya hanya muslim dan mu’min yang
biasa, bukan yang al-haqq.[36] Sayyid Qutb
memberikan ta’bir dengan perbandingan ayat yang lain yaitu pada surat Yunus
ayat 32:
فَما ذا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلالُ فَأَنَّى
تُصْرَفُونَ
Artinya: “Maka tidak ada itu setelah kebenaran melainkan
kesesatan. Maka mengapatan kamu berpaling?”. Maka jika manusia hanya
berdiam saja akan sebuah keadaan dan hanya menikmati kehidupannya tanpa
berusaha menuju lebih baik, maka dia belum menjadi Mu’min al-Kamil.[37]
Jika seperti itu, maka apabila ada sebuah ketidakadilan
yang dilakukan akan orang muslim tersebut, akan tetapi orang muslim tersebut
hanya diam saja dianiaya dan hanya memilih pasrah dipenjara dan lain macam
sebagainya, sebagai perlakuan yang tidak enak. Maka engkau boleh curiga akan
muslim tersebut, bagaimana bisa dia menyandang aqidah yang begitu kuat, syariat
Islam yang begitu kuat, tetapi hanya diam atas yindakan jahat.[38]
Salah satu faktor yang penyebab gagalnya menjadi
manusia kamil adalah memiliki intelektual separuh-separuh, hal itu dikarenakan
tidak adanya keselarasan antara pemahaman agama dan pemahaman sosial politik
dan budaya, yang mengakibatkan dia sulit menerima perubahan, dan prematur atas
sebuah upaya, setidaknya ketika da sebuah hal yang janggal khususnya pada
masyarakat seorang yang memiliki jiwa muslim harus menegakkan keadilan.[39]
Setelah Surat al-Anfal ayat 4 menerangkan signifikansi
yang berkaitan dengan upaya apa yang harus dilakukan muslimdalam menyikapi
problem sosial, maka pada ayat selanjutnya yang menyebutkan lafadz
al-Mu’minuna Haqqa adalah QS. Al-Anfal ayat 74, karena memang term Lafadz
al-mu’minuna Haqqa hanya ada dua[40]
yaitu:
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا
وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ
كَرِيمٌ
Artinya: Dan orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang
memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin),
mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan
rezeki (nikmat) yang mulia.
Dalam Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an
beliau mengatakan dengan lantang dan tegas bahwasannya, ayat ini adalah sebuah
gambaran bagaimana sebuah manusia yang harus memahami hakikat dari sebuah
agama, bahwasannya agama bukanlah hal yang melulu berkutat atas aqidah agama
yang menteorisasikan sesuatunya hingga terlihat nyata, atau melakukan
peribadatan sembahyang ubudiyyah dengan begitu menikmatinya, karena
sesungguhnya kehidupan adalah sebuah jalan hidup yang tidak bisa disamakan
dengan pekerjaan, kecuali kehidupan ini untuk bergerak atau merubah menuju hal
yang lebih baik, yaitu merubah hal yang baik pada masa sekarang (al-Harrakah
al-Waqi’iyyah).[41]
Lantas jika dipahami dan di lihat
dari kajian tafsir seluruh lafadz al-mu’minuna Haqqa ini berada dalam surat
al-Anfal yang memiliki arti Harta rampasan perang, yaitu memiliki makna pesan
beribadah dalam dua cermin sisi, bukan dalam satu sisi saja, seprti halnya
harta rampasan, seperti amal dunia dengan perang, padahal juga amal akhirat
dengan berani membela keislamannya, akan tetapi pahalanya juga diberikan di
dunia lewat al-ghanimah (Harta rampasan perang), begitu juga hal lil
akhirat.
إعلان عام لتحرير
«الإنسان» في «الأرض» من العبودية للعباد - ومن العبودية لهواه أيضا وهي من
العبودية للعباد - وذلك بإعلان ألوهية اللّه وحده - سبحانه - وربوبيته للعالمين أي الكامل على كل وضع في أرجاء الأرض
Yaitu memberikan pengumuman kepada kebanyakan umum atas posisi
manusia di bumi yang harus melakukan kewajiban beribadah sebagi hamba Allah,
begitu juga seruan Iluhiyyah Allah SWT yang menjadi rabb seluruh
alam yaitu seruan untuk menjadi al-Kamil (sempurna) atas seluruh tempat pijakan di dunia.[42]
Muslim sejati tidak boleh ahnya
berdiam, dia harus bersungguh-sungguh dalam urusan apapun, artinya Mu’min dapat
dikatakan menjadi al-Mu’minuna Haqqa jika dalam urusan Hukum syariat, Politik,
sosial dan budaya tidak acuh dan berdiam saja, atau malah hanya masuk
kenikmatan dalam dunia ibadah, seakan Islam baik-baik saja dan tidak terjadi
masalah apa-apa, ini menurut sayyid Qutub bukanlah hal yang tidak baik, muslim
tidak boleh hanya berdiam juga dalam rizki sebelum rizki tersebut diupayakan
dengan semaksimal mungkin dalam kehidupan. Lantas bagaimana seseorang dapat
menolong orang lain jika dirinya sendiri masih belum bisa mengatasi masalah
rizki, oleh karena itu berdiam bukanlah solusi untuk umat islam yang sejati.[43]
4.
Mu’min Sejati dan Kepedulian Lingkungan
Sebuah pembenaran bahwa sudah seharusnya umat muslim adalah umat
yang tidak boleh diam atas sebuah ketidakadilan, penindasan, krisis ekonomi,
bahkan juga terhadap pengrusakan alam sosial. Ibarat sebuah parasit sudah
seharusnya dihilangkan dari buah maupun tananaman kehidupan. Oleh karena itu
seperti yang dikatakan Sayyid Qutub yang dikemukakan oleh Eko Prasetyo
mengatakan bahwasannya Islam merupakan gerakan yang selalu mencita-citakan atas
revolusioner. Ia adalah sebuah sosok yang selalu melawan akan pendewasaan
manusia, melawan ketidakadilan, melawan bias prasangka politik, ekonomi yang
tidak seimbang, ras dan etnis karena dalam hakikat keimanan adalah
menghalangkan segala bentuk dan seluruh keturunannya dari sebuah penindasan,
sehingga perlawanan dalam sebuah keimanan adalah hal yang tak bisa
terhindarkan.[44]
Dalam ruang linkup manusia muslim, sering dikenal dengan dua kaum
yang saling bertolak belakang, dan menjadi kunci akan sebuah kegagalan akan
arti kata dari kemakmuran yang sering di elu-elukan oleh banyak pemimpin, yaitu
kaum Mustadhafin (orang-orang yang dilemahkan, atau tertindas), kemudian
yang kedua adalah Mustakbirin (orang-orang yang sombong) terbangun atas ruang
sosial yang tidak ekploitatif, karenanya sebuah keselarasan dalam dua kaum
tersebut harus di pupuk perlahan agar pertumbuhan antar kaum tidak terlalu
runcing. Dalam hal ini Asghar Ali Engineer memberikan sebuah uraian bahwa dalam
kehidupan berikutnya nabi telah menuntun umatnya agar tidak tersesat dalam
kegelapan, mungkin hal tersebut rasulullah disebut dengan Rahmatan Lil
Alamin, yaitu Implementasi dari keimanan sudah seharusnya konotasinya
terhadap ruang lingkup lingkungan sosial, Asghar Ali Engineer memberikan sebuah
konstruk atas Responsif Implementasi keimanan adalah dengan menyerukan Islam
Pembebasan, yaitu membangun dan menelurkan masyarakat yang memiliki mental yang
militan terhadap perubahan kehidupan akan tetapi bukan bersifat anarkis,
melainkan bersifat egaliter emansifatif dan empatif.[45]
Umat Islam sudah seharusnya memiliki kepedulian yang lebih, dan
kepekaan sosial tanpa pamrih seperti yang diajarkan rasulullah dengan
kelembutan namun tegas akan sebuah ketidakbenaran, artinya semua yang dilakukan
semata-mata adalah hati nurani yang tulus yang tidak diracuni dengan
eksploitatif, atau teror kompetitif, melainkan semua yang dilakukan muslim
adalah sebuah sensifitas yang reseptif atas segala bentuk dan model yang
dibangun atas cita-cita bersama dengan keinginan kehidupan yang memiliki peran
masyarakat inklusif bukan eksklusif, begitu juga tidak melakukan tindakan
anarkis dan radikalis, namun segala sesuatunya yang dilakukan umat islam harus
damai sejuk dengan nilai etis dan estetis.[46]
Perlu diketahui umat Islam dalam sebuah kepedulian sosial sering
kali dinina bobokkan akan kegiatan spiritual, mereka berlarut-larut akan
kegiatan sholih individual, padahal dalam hal urusan pewahyuan adalah
progresifitas.[47]
Sebuah kejumudan bila dilihat muslim yang ada selalu buta dan tuli akan
saudara-saudara nya yang tertimpa musibah diluar sana, mereka tetap tenang dan
tidak memahami realitas sosial, bisa jadi ketika saudara yang disana tertindas
kemudian berimbas pad esok hari muslim tersebut mengalami nasib yang sama pada
fase selanjutnya, katakanlah sebuah ekonomi global yang membunuh begitu banyak
pasar tradisional, hal ini seharusnya dipandang serius umat muslim dengan
mengkaji islam secara hormatif bukan hanya Islam historis, akan tetapi jika
keduanya diketahui maka itulah muslim sejati.[48]
Tentu sangat ”lucu dan wagu” jika dilihat dari beberapa
Islam Fundamentalis yang begitu yakin dengan keabsulutan sebuah hukum yang
kemudian dengan tiba-tiba seperti dalam film Harry Potter (film yang
menceritakan tentang sebuah kekuatan magic yang dengan tiba-tiba sesuatu halnya
depat tercapai dengan sendirinya atau dengan keyakinan semata), mereka selalu percaya bahkan terkadang taklid
buta akan sebuah doktrin yang terus dipegangnya dengan kokoh membabi buta.
Sayyid Qutb mengatakan bahwa hidup haruslah memahami kondisi sosial
yang ada, bahkan kitab suci al-Qur’an merupacan Pollitical Document,
artinya dalam menyikapi kehidupan haruslah disertai dengan kebijaksanaan dan
muslim sekarang jarang memiliki semua itu yaitu kebijaksanaan berpikir sacara
teoritis menggunakan akal sehat. Namun
kalau diketahui manusia muslim dalam dunia tidak seperti yang
dicita-citakan dalam al-Qur’an sebagai mana menjadi umat yang berada diantara
kedua kutub sekuler dan liberal namun
seharusnya lebih moderat dan progresif. [49]
Umat mu’min atau muslim saat ini seperti kembali dalam masa
jahiliyyah dimana mereka lebih mudah menganggapa berbagai persoalan secara
klaim sepihak, semisal jika mereka seorang muslim mengembangkan pemikiran barat
maka mereka dengan mudahnya menganggap dengan sekuler dan ateis, bahwasannya
dalam fase sekarang dunia barat (Western) adalah sebuah keniscayaan yang tidak
dapat ditolak, seharusnya upaya yang dilakukan adalah mengkonsep pola dunia
barat yang masuk dengan hal yang sesuai dengan koridor batas Islam, bukan malah
menolaknya secara mentah dan dibuangnya seperti sampah.[50]
Kesimpulan
Muslim pernah
berjaya dalam masa sejarah lalu, maka seruan untuk kembali bersaing dengan
dunia atas keterpurukan umat mu’min yang dinina bobokkan atas sebuah realita,
bahkan juga apatis akan sebuah keadaan sosial terlalu disibukkan dengan
kegiatan ibadah yang sifatnya individual belaka, sehingga ia lupa bahwa manusia
adalah zoon politicon yaitu makhluk yang senantiasa bijaksana dalam
menyikapi keadaan yang ada. Al-Qur’an sebagai pollitical Documen
seharusnya digunakan umat mu’min untuk berubah menjadi pribadi yang lebih
dahsyat.
Orang muslim zaman
dulu dan zaman sekarang tentu berbeda, upaya ibadah tanpa pemikiran yang kuat
akan pertikaian dan pergolakan perekonomian dunia dapat menjadikan umat mu’min
terpuruk dan tertindas terjajah bukan hanya soal materiil namun juga bisa secara
spiritual. Oleh karenanya dalam al-Qur’an jika dilihat ada al-Mu’minuna Haqqa
yang membuat penulis tergugah menjawab problem esensi kehidupan yang lama telah
duduk bersila, lewat pemikiran penafsiran yang tergolong modern yaitu Sayyid
Qutb dalam surat al-Anfal ayat 4 dan ayat 74 mengajarkan bahwa berdiam atas
keadaan tanpa merubahnya menjadi lebih sejahtera adalah tindakan dosa.
Oleh karena itu umat mu’min perlu
berbenah dalam setiap lini kehidupannya baik secara sosial, budaya, lingkungan,
ekonomi, moral bahkan juga agama, karena jika terlarut dalam keadaan yang
nyaman yaitu beribadah karena akhirat dan terhadap masalah realitas
permasalahan dunia tidak dilihat, maka umat islam tidak dapat dikatakan insan
kamil, muslim progresif atau hanya islam biasa dan bukan al-Mukminuna Haqqa,
padahal dalam al-Qur’an jelas bahwa menjajikan dalam al-An fal 74 yaitu “Mereka
memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.”
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
K. Hitti, Philip, 2006History of The
Arabs, (jakarta, Serambi).
Anas, Malik Ibn, 2004, Muwatto’ Imam Malik, (maktabah Syamilah:)
Juz 5
Mustaqim, Abdul, 2014 , Dinamika
Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press
Rachman, Iman.
2011, Islam Jawaban Swmua Masalah Hidup, (Surabaya :Erlangga).
Assa’idi, Sa’dullah.
2013Pemahaman Tematik Al-Qur’an menurut Fazlurrahman, (Yogyakarta, Pustakan
Pelajar:). Saduran dari Fazlur Rahman
Major of Themes.
Syariati, Ali.
1987Tugas cendekiawan Muslim, (jakarta, rajawali press).
Geertz,
Clifford, 1989 Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat jawa, (Jakarta, Pustaka
jaya) Cet. Ketiga
David, Ahmad. Islam
Progresif Dalam gerakan Sosial dawam raharjo, dalam Jurnal Pemberdayaan
Masyarakat. Vol 1 No. 1 (2017), ISSN; 2850-863X Hlm. 45.
Farag Fouda,
2003, kebenaran yang hilang, (Jakarta, Demokrasi Project).
Baqi, Fuad Abdul, 1998Mu’jam al-Mufahrasy Li al-Fadz al-Qur’an, (
Beirut, Dar Kutub al-Alamiyyah).Juz 1
Sayyid Qutb, Fi
Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3
Abdullah, Amin . 2012, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi
Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar) Cet. Ke 3
Busyro, Muhtarom. 2007, Shorof Krapyak, (Yogyakarta, Putera
mahkota).
al-Asyfihani, Al-Raghib.
1998, Mufradat Li-Alfadz al-Qur’an,
(Beirut, dar Ma’arif).
Abdul Karim
Al-Jilli, Al-Insan al-kamil Fi makrifah awaikhir wal Awail, (Beirut, dar Kutub
Al-Ilmiyyah: 1418)
Abduh, Muhammad, 1996 Tafsir Al-Manar (beirut, dar Ibnu Ashosoh).
Juz 1
Mustaqim, Abdul, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar: 2008).
Ibn Jarir At-Thabari, Jami al-Bayan Fi ta’wil
Al-Qur’an, (Beirut, dar Ibnu Ashashah: 2000).
Muhammad
Ibn Umar al-Ma’ruf Fakhruddin Al-Razi, mafatih Al-Ghaib, (Beirut, dar Ihya’).
Juz 15
Arif , Muhammad, 2002 Studi Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta,
Tiara Wacana)
Syamsuddin, Sahiron, 2009, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur’an, (Yogyakarta, Pesantren Nawapress). Hlm 29.
Sayyid Qutb, Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3
Yusuf Rahman, 2011,
Akidah Sayyid Qutb (1906-1966) dan penafsiran sastrawi terhadap al-Qur’an, ,
dalam jurnal Tsaqafah Vol 7, No. 1 (2011). 70
Sayyid Qutub, Fiqih Dakwah, (AL-Risalah:1970),
Eko Prasetyo, 2014 Islam Kiri: jalan menuju revolusi sosial,
(Yogyakarta, Resist Book).
Convulsions of Modern Times, Al-Banna Al-Mawdudi, Al-Qutb, 156 H.
Asghar Ali Engineer, 1999Asal Usul
dan perkembangan Islam, (Yogyakarta, Insist Press dan Pustaka Pelajar,)
Ashgar Ali
Enginer, 1999 Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar:)
essack, Farid, 2000 membebaskan
yang tertindas, (Yogyakarta, Mizan).
[1]QS. 9: 36.
30:30.
[2] Philip K.
Hitti, History of The Arabs, (jakarta, Serambi:2006) . Hlm. 150.
[3] Malik Ibn
Anas, Muwatto’ Imam Malik, (maktabah Syamilah: 2004) Juz 5 Hlm. 297
[4] Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2014 ,
Hlm.xii-xiv.
[5] Iman Rachman,
Islam Jawaban Swmua Masalah Hidup, (Erlangga: 2011). Hlm. Ix-x
[6] Sa’dullah
Assa’idi, Pemahaman Tematik Al-Qur’an menurut Fazlurrahman, (Yogyakarta, Pustakan Pelajar:
2013) .Hlm 241. Saduran dari Fazlur Rahman Major of Themes.
[7]Ali Syariati,
Tugas cendekiawan Muslim, (jakarta, rajawali press:1987). Hlm.7
[8]Ali Syariati,
Tugas Cendekiawan Muslim, hlm 18.
[9]Clifford
Geertz, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat jawa, (Jakarta, Pustaka
jaya:1989) Cet. Ketiga Hlm.6
[10] Ahmad David,
Islam Progresif Dalam gerakan Sosial dawam raharjo, dalam Jurnal Pemberdayaan
Masyarakat. Vol 1 No. 1 (2017), ISSN; 2850-863X Hlm. 45.
[11] Farag Fouda,
kebenaran yang hilang, (Jakarta, Demokrasi Project: 2003). Hlm x-xi
[12]Amin
Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar:2012) Cet. Ke 3 Hlm.245.
[13]
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif, Hlm. 246.-237.
[14]
Abdul Karim Al-Jilli, Al-Insan al-kamil Fi makrifah awaikhir wal Awail,
(Beirut, dar Kutub Al-Ilmiyyah: 1418) Hlm. 207
[15]
Tafsir Al-Manar, Muhammad Abduh, (beirut, dar Ibnu Ashosoh: 1996). Juz 1 Hlm. 4
[16]
Tafsir Al-Manar, Muhammad Abduh, Hlm. 6
[17]
Abdul Mustaqim,
Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2014 , Hlm. 12.
[18] Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2014 ,
Hlm.xii-xiv.
[19] Abdul
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2008).
Hlm. 98
[20] Fuad Abdul
Baqi, Mu’jam al-Mufahrasy Li al-Fadz al-Qur’an, ( Beirut, Dar Kutub
al-Alamiyyah: 1998).Juz 1 Hlm. 93-94.
[21]
Muhtarom Busyro, Shorof Krapyak, (Ypgyakarta, Putera mahkota:2007). Hlm. 82
[22]
Al-Raghib al-Astfihani, Mufradat Li-Alfadz al-Qur’an, (Beirut, dar Ma’arif: 1998).
Hlm. 246
[23] Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2014 ,
Hlm.xii-xiv.
[24] Abdul
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2008).
Hlm. vii
[25] Ibn Jarir At-Thabari, Jami al-Bayan Fi ta’wil Al-Qur’an,
(Beirut, dar Ibnu Ashashah: 2000). Juz 13. Hlm 387
[26]
Ibn Jarir At-Thabari, Jami al-Bayan Fi ta’wil Al-Qur’an, (Beirut,
dar Ibnu Ashashah: 2000). Juz 14. Hlm 88
[27]
Muhammad Ibn Umar al-Ma’ruf Fakhruddin Al-Razi, mafatih Al-Ghaib,
(Beirut, dar Ihya’). Juz 15 Hlm 453
[28]
Muhammad Ibn Umar al-Ma’ruf Fakhruddin Al-Razi, mafatih Al-Ghaib,
(Beirut, dar Ihya’). Juz 15 Hlm 516
[29]Studi
Al-Qur’an Kontemporer,Muhammad Arif , (Yogyakarta, Tiara Wacana:2002) Hlm. 111
[30]
Studi Al-Qur’an Kontemporer,Muhammad Arif , (Yogyakarta, Tiara Wacana:2002)
Hlm. 110
[31]
Yusuf Rahman, Akidah Sayyid Qutb (1906-1966) dan penafsiran sastrawi terhadap
al-Qur’an, , dalam jurnal Tsaqafah Vol 7, No. 1 (2011). 70
[32]
Sayyid Qutb, Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3 Hlm 1560.
[33]
Sayyid Qutub, Fiqih Dakwah, (AL-Risalah:1970), Hlm. 17
[34]
Bultman, “The problem of Hermeneutic”, Hlm. 241-242 yang di kutip oleh Yusuf
Rachman, Akidah Sayyid Qutb dan penafsiran sastrawi dalam al-Qur’an, dalam
Jurnal Tsaqofah, vol. 7 No.1 April 2011.
[35]
Sahiron syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta,
Pesantren Nawapress; 2009). Hlm 29.
[36]Sayyid
Qutb, Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3 Hlm 1474
[37]
Sayyid Qutb, Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3 Hlm 1474
[38]
Beberapa Studi tentang Islam, (Dar Fath:1372 H.) Hlm. 23
[39] Ali Syariati,
Tugas cendekiawan Muslim, (jakarta, rajawali press:1987). Hlm.242
[40] Fuad Abdul
Baqi, Mu’jam al-Mufahrasy Li al-Fadz al-Qur’an, ( Beirut, Dar Kutub
al-Alamiyyah: 1998).Juz 1 Hlm. 93-94.
[41] Sayyid Qutb,
Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3 Hlm 1560.
[42]
Sayyid Qutb, Fi
Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3 Hlm 1433.
[43] Sayyid Qutb,
Fi Dzilal Al-Qur’an, (Beirut. Dar As-Syuruq). Juz 3 Hlm 1560.
[44] Eko Prasetyo,
Islam Kiri: jalan menuju revolusi sosial, (Yogyakarta, Resist Book: 2014). Hlm.
305
[45]Asghar Ali
Engineer, Asal Usul dan perkembangan Islam, (Yogyakarta, Insist Press dan
Pustaka Pelajar, 1999) Hlm. 30.
[46] Ashgar Ali
Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1999) Hlm.
23-24.
[47]Farid essack,
membebaskan yang tertindas, (Yogyakarta, Mizan: 2000). Hlm. 20
[48] Amin Abdullah,
Islamic Studies di Perguruan Tinggi, ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2006). Hlm.
45
[49] Yusuf Rahman,
Akidah Sayyid Qutb (1906-1966) dan penafsiran sastrawi terhadap al-Qur’an, ,
dalam jurnal Tsaqafah Vol 7, No. 1 (2011).
69
[50] Convulsions of
Modern Times, Al-Banna Al-Mawdudi, Al-Qutb, 156 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar